Sumpah, sebuah kata sederhana yang memiliki kekuatan magis. Sumpah pocong lalu menjadi salah satu upaya hukum yang “sakti” guna menyelesaikan kasus-kasus perdata semacam sengketa tanah, utang-piutang, dan sebagainya, di mana masing-masing pihak sama-sama lemah dalam hal saksi dan bukti. Pihak mana yang kemudian dianggap memenangkan perkara, ikuti paparan berikut ini.
Akhir Juni lalu, suasana di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, Kalimantan Barat, nampak lain dari biasa. Ribuan orang memenuhi tak hanya pekarangan, bahkan meluber hingga jalanan di depannya. Jauh berbeda dengan suasana di luar yang riuh oleh kerumunan massa, suasana khidmat menyelimuti ruang dalam masjid.
Tepat di depan mimbar khotbah, di hadapan saksi para tokoh agama setempat, tubuh Kunan Sutan Sinaro (70) yang dipocong kain kafan persis mayat - kecuali bagian wajah dibiarkan terbuka - berdiri dalam posisi menghadap kiblat.
Mendadak keheningan pecah, ketika bibir sosok berpocong tersebut melafalkan, “Apabila saya berdusta, saya bersedia tidak akan menerima kesenangan dalam kehidupan selama satu turunan, dan bersedia dilaknat Tuhan Yang Maha Esa.” Getar suara kakek bercucu lima tersebut serentak disambut kalimat-kalimat yang mengaminkan, memohon Tuhan menunjukkan keadilan.
Di balik suasana khusyuk ritual sumpah pocong yang dipimpin oleh Hakim M. Yusuf Naif, S.H., tak dinyana muncul reaksi yang mengherankan, sejumlah penonton secara perlahan beringsut mundur menjauhi Kunan. “Kalau terlalu dekat, saya takut kena bala,” kata seorang pengunjung.
Kunan mengaku berani disumpah pocong karena yakin akan kebenaran gugatannya, ia juga merasa lega setelah bersumpah. Masih dengan suara terbata-bata ia menceritakan ihwal permintaannya untuk melakukan sumpah pemutus dengan menggunakan medium sumpah pocong.
Sumpah Pocong atau Sumpah Mimbar
Sumpah tersebut lahir karena sengketa tanah seluas 904 m2 yang terletak di Desa Kalinilam, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (tergugat). Bermula pada tahun 1980, tutur Kunan, ketika Labek berkali-kali membujuk Kunan agar menjual tanahnya yang berada persis di depan bioskop milik Labek, di jalan utama Ketapang. Meski semula menolak, akhirnya Kunan mau juga melepaskan tanah itu setelah Labek berjanji memberikan penukar berupa tanah di samping bioskop. Selain itu ia mensyaratkan pengurusan sertifikat dan ongkos-ongkos yang lain ditanggung Labek.
Kunan pun menyerahkan surat tanah, yang hanya berupa keterangan dari pemuka adat, tanpa tanda terima. Entah bagaimana, tahun 1983 sertifikat tanah milik Kunan (di depan bioskop) dan tanah tukaran milik Labek (di samping bioskop) keluar atas nama Labek Hadi. Malah, di atas tanah Kunan itu dibangun ruko. Tak hanya itu, Labek juga membantah pernah menerima titipan surat tanah dari Kunan.
Penderitaan Kunan belum berakhir. Kunan, pedagang benda antik itu, dituduh menyerobot tanah milik labek. Akibatnya, pada 1988 Kunan dihadapkan ke pengadilan dan divonis 9 bulan penjara.
Namun, Kunan masih juga bernyali untuk menguasai kembali tanahnya. Akhir 1995, Kunan menggugat perdata Labek. Tuntutannya, agar Labek mengembalikan tanahnya. Perjalanan kasus itu tersendat. Selain karena tidak sepenuhnya bisa menyodorkan bukti kepemilikan tanah tersebut, Kunan hanya memiliki kesaksian lisan dari pemuka adat. Posisi Kunan lemah, lantaran hanya memiliki keterangan lisan tanpa didukung bukti tertulis.
Untuk membuktikan kepemilikannya, Kunan pun memohon dilakukan sumpah pemutus berbentuk Sumpah Pocong. Hakim Yusuf Naif, S.H. ternyata menerima permohonan sumpah pocong karena kedua pihak yang berperkara tidak ada yang memiliki bukti kuat. (Gatra, 6 Juli 1996)
Berlandaskan pada Pasal 156 HIR dan pasal 1920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Yusuf, kedua belah pihak harus mengangkat sumpah. Karenanya, hakim pun meminta kesediaan tergugat Labek untuk menjalani sumpah pocong.
Jangankan mengangkat sumpah, ke Masjid Agung pun Labek tidak datang. “Padahal, dalam sidang April lalu kami sudah minta sampai tiga kali pada Labek untuk disumpah. Kenyataannya, ia tidak bersedia,” tutur Yusuf sambil menambahkan bahwa jika lawan perkara tidak mau mengangkat sumpah pemutus, biasanya dialah yang dikalahkan.
Namun ketidakbersediaan Labek pun didasari pada sejumlah alasan yang menurut pengacara Labek, Junaidi, S.H., “Kami sebenarnya protes karena hakim tidak memeriksa bukti-bukti yang dimiliki klien kami, selain rasa ngeri.”
Rasa ngeri saat menjalankan ritual sumpah pocong, sebutan yang sebenarnya hanya dikenal dalam istilah adat, tak diingkari acapkali melanda para pelakunya. Penyebabnya, bisa jadi selain sumpah diucapkan langsung ke hadirat Tuhan, juga dilakukan di tempat ibadah yang mengandung konotasi tempat yang suci. Menurut Hakim Yusuf Naif, S.H., alasan diselenggarakan di mesjid, karena yang meminta sumpah pemutus itu biasanya menghendaki kesakralan tempat. “Sepanjang itu menambah keyakinan akan keampuhan sumpah tersebut, apakah itu di mesjid, gereja, atau kelenteng, sih tidak apa-apa,” ujarnya.
Pendapat Yusuf Naif dibenarkan oleh Ali Boediarto, S.H., Kepala Pengadilan Jakarta Utara, dengan memaparkan kasus yang pernah ditanganinya. “Tidak mengucap sumpah di mesjid, melainkan di kelenteng. Karena gugatan utang-piutang terjadi antara sesama penganut kepercayaan tersebut,” kenangnya.
Ali Boediarto menggambarkan, karena saling percaya kalangan masyarakat Cina pedagang sering kali dengan mudah melakukan pinjam meminjam uang dengan hanya mencatatnya di secarik kertas bon. “Mungkin saja si pemberi pinjaman, karena sembrono, kehilangan bon catatan pinjaman. Sementara pihak yang lain benar-benar lupa telah membayar atau belum. Tapi mungkin, ada pihak yang memang nakal, entah si pemberi pinjaman atau sebaliknya. Sungguh sulit menentukan siapa yang benar dalam kasus seperti ini.”
Seperti halnya kasus Kunan-Labek, perselisihan tersebut muncul karena tidak ada bukti-bukti dan saksi yang kuat. Akhirnya hakim memutuskan perlu dilakukan ritual sumpah mimbar atau sumpah pemutus.
Di hadapan meja sembahyang di sebuah kelenteng, sambil berdoa pelaku pengucap sumpah menggenggam erat sebilah pisau lalu memotong leher ayam hidup. Sementara harum dupa merebak ke segenap ruangan menusuk hidung serta kucuran darah ayam deras mengalir ke mangkuk, si pelaku segera mengucapkan kalimat-kalimat sumpah. Sesaat setelah unggas tersebut meregang nyawa, darahnya yang memenuhi mangkuk segera dioles-oleskan ke tubuh pelaku sumpah. Pada intinya tersimpan makna, bila yang diucapkan ternyata dusta maka pengucap sumpah akan mati sebagaimana ayam tersebut.
Ajukan dalil tanpa bukti
Meski jarang dilakukan, sumpah ini mewakili wajah masyarakat kita yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah yang ternyata dikenal di berbagai kota tersebut tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah pocong. Sumpah berarti suatu pernyataan khidmat tentang keterangan atau janji, yang diucapkan di hadapan hakim dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman Tuhan. Sedangkan pocong berarti mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi, Sumpah Pocong berarti sumpah yang dilakukan seorang penganut agama Islam, dengan cara dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal.
Sumpah pocong, yang mulai marak dipraktekkan di lingkungan peradilan sejak pertengahan 1970-an, biasa dikenal dalam proses acara perdata. Secara implisit sumpah pocong memang tidak diatur dalam serangkaian peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. “Sumpah pocong memang merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata,” ujar Ali Boediarto sambil menjelaskan bahwa istilah sumpah pocong yang beredar di masyarakat sebenarnya dalam istilah pengadilan disebut sumpah mimbar.
Sama dengan sumpah-sumpah lainnya, menurut Ali yang juga sekjen Ikatan Hakim Indonesia, sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat. “Gugatan yang diajukan penggugat ke pengadilan ini bermacam-macam masalahnya, bisa berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.”
Selanjutnya, dalam pemeriksaan di pengadilan menurut Hukum Acara Perdata ditentukan, setiap orang yang mengemukakan sesuatu dalil, harus bisa membuktikan kebenaran dalil gugatannya di muka pengadilan wajib.
“Dalil itu hanya berupa pengakuan, misalnya, pihak penggugat mengaku sebidang tanah X miliknya, maka pihak yang mengeluarkan dalil itu berkewajiban membuktikan kepada hakim perdata akan kebenaran dalilnya,” kata Ali mencontohkan sambil menyebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) pasal 163 yang menyebutkan, orang yang menyatakan mempunyai suatu barang atau menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa maka untuk meneguhkan haknya itu atau membantah haknya orang lain, orang itu harus membuktikan adanya haknya dia.
Sebaliknya, pihak yang menyangkal bahwa tanah itu bukan milik penggugat, melainkan milik tergugat, juga mengeluarkan suatu dalil yang harus pula dibuktikan kebenarannya di muka hakim perdata. Di sinilah hakim mempunyai dasar hukum untuk memeriksa perkara itu dengan menerima bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat untuk mendukung dalil gugatannya ataupun bukti-bukti yang diajukan oleh pihak lawan atau tergugat untuk mendukung dalil sangkalannya. Kemudian hakim akan mempertimbangkan bukti mana yang lebih kuat, apakah yang diajukan oleh penggugat atau justru tergugat. Adapun bukti-bukti yang layak diajukan, “Sesuai dengan HIR pasal 164 yang pertama adalah bukti surat dan bukti saksi,” jelas Ali Boediarto, S.H.
Namun kadang-kadang bukti surat dan bukti saksi tersebut tidak bisa dipenuhi oleh kedua belah pihak tersebut, “Bisa jadi pihak penggugat hanya memiliki bukti berupa sepotong surat yang tidak bisa langsung jadi alat pembuktian tanah itu miliknya. Sedangkan tergugat hanya punya satu saksi tanpa surat-surat.” kembali Ali mengisahkan banyak kasus yang tidak memiliki bukti lengkap untuk bisa meyakinkan hakim dalam mencari fakta yang benar.
Pada situasi tertentu, bisa saja terjadi bukti-bukti itu sulit untuk diperoleh karena peristiwa itu sudah terlampau lama terjadi. Misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam situasi tidak ada bukti surat dan bukti saksi, menurut HIR pasal 164 dilakukan bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Meski demikian Ali Boediarto menilai bukti persangkaan agak rawan dilakukan.
Bukti keempat menurut Hukum Acara Perdata adalah pengakuan, “Namanya saja selisih, tentunya tidak ada pengakuan yang saling membenarkan antara pihak penggugat dengan tergugat,” ujar Ali sambil menunjuk pada bukti terakhir atau yang kelima yaitu sumpah.
Agar keputusan tak berlarut-larut
Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim.
Hal ini terjadi karena perkara itu sudah harus selesai, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai bertahun-tahun, karena kedua belah pihak yang bersengketa masih coba-coba mencari bukti dan saksi lain. Dalam keadaan tertentu hakim mungkin masih menimbang-nimbang seandainya mungkin mendapatkan bukti yang lain. Namun, kalau sudah buntu sama sekali, hakim akan langsung merujuk ke bukti sumpah.
Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah.
“Bukti-bukti permulaan bisa berupa sepotong surat sebagai penunjuk atau mungkin satu saksi yang cukup memberikan petunjuk ke arah suatu kebenaran,” Ali Boediarto memberikan contoh. Bila sudah ada permulaan bukti seperti itu, maka cukup dilakukan sumpah suppletoir yaitu sumpah untuk menguatkan saksi yang hanya satu orang tersebut.
Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. “Biasanya kedua pihak hanya bisa bicara, bersikukuh pada dalil masing-masing,” Ali Boediarto menggambarkan perselisihan yang tanpa didukung bukti. Meski begitu, tidak jarang kedua pihak yang bersengketa tersebut mengajukan bukti, “Sayangnya, bukti-bukti itu tidak langsung berkaitan dengan pokok perkara, hanya nyerempet sedikit-sedikit. Misalnya catatan notes yang tidak berharga sebagai bukti,” ujarnya lagi.
Gagasan untuk melakukan sumpah mimbar bisa ditawarkan oleh hakim, meski tidak tertutup kemungkinan inisiatif justru diajukan penggugat yang merasa sangat yakin berada di pihak yang benar. Dalam keadaan begini, penggugat pun bisa meminta sumpah dibebankan pada dirinya atau pada lawan. Bila penggugat meminta hakim membebankan pada pihak lawan, maka pihak lawan pun bisa kembali melemparkan agar sumpah dilakukan oleh si penggugat. “Kalau sudah begini, bisa bolak-balik, saling melempar siapa yang harus bersumpah. Maka hakim harus memberikan putusan yang disebut putusan sela untuk menentukan siapa yang harus dibebani sumpah, pihak penggugat atau tergugat,” Ali Boediarto memaparkan kemungkinan pembebanan sumpah yang jadi berlarut-larut.
Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. “Hal ini sangat rawan untuk membenarkan pernyataan seseorang, karena banyak orang cukup berani untuk melanggarnya. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tapi tidak tertutup pula dusta. Sementara di sisi lain, hakim harus segera memutuskan kasus yang tidak lengkap bukti-buktinya,” Ali Boediarto menceritakan dilema pemutusan dengan Sumpah Mimbar.
Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan Sumpah pocong. “Artinya, dalam bersumpah ia berhadapan langsung dengan Tuhan, jadi harus mengatakan yang benar. Kalau bohong, konsekuensinya ia akan menerima hukuman langsung dari Tuhan,” Ali Boediarto menjelaskan bahwa sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.
Berkaitan dengan Tuhan Yang Mahaesa maka sumpahnya pun disebut sumpah mimbar. Artinya, pihak yang dibebani sumpah akan dibawa ke muka mimbar rumah ibadah. “Setelah ditetapkan hari untuk bersumpah, pelaku akan dibawa ke depan mimbar mesjid jami di kota, mesjid terbesar di kota itu,” kenang Ali Boediarto yang pernah menerapkan cara serupa dalam sebuah kasus sengketa tanah. Setelah bersuci, di muka mimbar mesjid ia akan diupacarakan seperti orang meninggal, diiringi doa-doa. Dihadapan seorang kyai dan kelilingi para saksi yang terdiri atas semua majelis, panitera, pembela, para ulama, ia pun mengucapkan sumpah hasil rumusan hakim yang isinya membenarkan gugatan atau sangkalannya. Usai upacara akan dibuat berita acara oleh para panitera pengadilan, majelis, serta hakim yang menyaksikan, yang menjelaskan segala sesuatu tentang pelaksanaan sumpah.
Segera berita acara yang telah diterima pengadilan diproses untuk menyusun putusan. Dengan pembuktian menggunakan sumpah mimbar maka yang berani mengucapkan sumpah adalah yang menang.
Sanksi yang tidak lebih ringan
Tata cara tersebut ditempuh untuk mencegah orang melakukan sumpah palsu, karena ada orang yang bersedia melanggar demi kemenangan. Meski dalam undang-undang telah dicantumkan, “Barang siapa memberikan keterangan yang tidak benar di muka pengadilan bisa dituntut.”
Bagi pengadilan melakukan sumpah di ruang sidang atau di depan mimbar tempat suci sebetulnya sama saja. Yang diharapkan, semua yang diucapkan adalah benar. Karenanya, diupayakanlah tata cara yang berhubungan langsung dengan keimanannya pada Tuhan, meskipun sanksinya pun tidak langsung akan diterimanya.
Ali Boediarto menceritakan pengalamannya mengenai kasus sengketa tanah 20 tahun lalu di Pengadilan Negeri Malang yang ia putuskan dengan sumpah mimbar. Setahun kemudian Ali mendengar kabar, si pengucap sumpah meninggal dunia.
Tapi karena berita ini tidak diterima resmi - karena memang tidak ada keharusan pelaku melapor ke pengadilan - Ali Boediarto tidak bisa memastikan apa penyebab kematiannya. Mungkin saja beban psikologis yang diterimanya begitu berat, bisa karena sebelumnya ia telah mengidap penyakit kronis. Namun tidak tertutup kemungkinan, ia meninggal karena termakan sumpahnya. “Sulit dibuktikan, apakah sumpah itu benar-benar mujarab, kata-katanya bertuah,” Ali Boediarto mencoba menghitung beberapa kemungkinan penyebabnya sambil mengingatkan kembali akan kemahakuasaan Tuhan yang mengetahui segala-galanya.
Prof. Loebby Loqman, S.H., Ahli Hukum Perkara Pidana UI, memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai sumpah yang kental dengan nilai sakral. “Bila sampai bersumpah tidak benar, hukumannya tidak akan diterima di dunia, tapi di akhirat. Bagi masyarakat beragama hal ini tentu sangat menakutkan, sebisa mungkin dihindari hukuman di akhirat.”
Risiko sumpah pocong atau sumpah mimbar besar sekali. Tidak semua orang, lebih-lebih kalau orang itu orang yang beriman, mau nekat melakukannya. Kecuali kalau orang itu memang sudah memiliki niat penipu, atau sifat buruk lainnya.
“Paling repot kalau menghadapi seorang psikopat atau sosiopat yang tidak memiliki rasa bersalah bila melanggar sumpah. Norma-norma penderita kepribadian terbelah itu biasanya sudah kacau balau,” ujar psikolog Sartono Mukadis yang memberikan contoh bahwa seorang sosiopat tidak akan merasakan beban psikologis bila harus mengucapkan sumpah apa pun.
Karena itu hakim harus berhati-hati sebelum membebankan sumpah mimbar pada salah satu pihak. Harus diteliti benar, apakah orang tersebut dapat dipercaya, bagaimana tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di rumah, lingkungan maupun pekerjaan, juga kehidupan beragamanya. “Hakim tidak akan langsung mengizinkan seseorang melakukan sumpah hanya karena ia berucap berani mati. Jangan sampai keputusan dilakukan dengan cepat, namun nantinya banyak menimbulkan kekeliruan-kekeliruan,” ujar Ali Boediarto.
Hakim harus mempertimbangkan matang-matang untuk tidak meminta satu pihak mengucapkan bersumpah, sementara hakim itu tidak yakin bahwa pihak yang ditunjuknya tidak akan melakukan sumpah palsu. Dengan kata lain, hakim jangan sampai bertindak mendorong orang melakukan sumpah palsu karena keinginan memenangkan perkara dengan sanksi yang sangat fatal.
Sumpah mimbar memang lebih sering dipraktekkan untuk perkara perdata yang mengkondisikan selalu ada yang kalah dan ada yang menang. Meski untuk perkara perdata masih bisa ditempuh jalan keluar lain, misalnya musyawarah untuk mencapai perdamaian. Satu kasus bisa terselesaikan cukup dengan memberikan penggugatnya biaya untuk naik haji, maka kedua pihak pun merasa puas.
Sumpah pocong memang bukan sumpah biasa, karena risikonya sangat berat. Beban tanggung jawab tidak hanya dipikul di dunia, tapi juga akhirat. Bayangkan, bagaimana orang yang masih segar bugar secara fisik dan psikologis harus seperti orang mati, karena dipocongi, masuk di dalam keranda mayat, kemudian mengucapkan sumpah, “Saya pada tanggal sekian mengucapkan sumpah mimbar disaksikan oleh … dan disaksikan Allah SWT bahwa apa yang saya ucapkan di depan Hakim adalah sejujur-jujurnya. Dengan permohonan kepada Allah SWT bilamana saya berdusta, biarlah Tuhan yang Mahakuasa menimpakan azab, laknat, siksa, dan kutuk dalam kehidupan saya.” (Shinta Teviningrum)
dari : intisari
Akhir Juni lalu, suasana di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, Kalimantan Barat, nampak lain dari biasa. Ribuan orang memenuhi tak hanya pekarangan, bahkan meluber hingga jalanan di depannya. Jauh berbeda dengan suasana di luar yang riuh oleh kerumunan massa, suasana khidmat menyelimuti ruang dalam masjid.
Tepat di depan mimbar khotbah, di hadapan saksi para tokoh agama setempat, tubuh Kunan Sutan Sinaro (70) yang dipocong kain kafan persis mayat - kecuali bagian wajah dibiarkan terbuka - berdiri dalam posisi menghadap kiblat.
Mendadak keheningan pecah, ketika bibir sosok berpocong tersebut melafalkan, “Apabila saya berdusta, saya bersedia tidak akan menerima kesenangan dalam kehidupan selama satu turunan, dan bersedia dilaknat Tuhan Yang Maha Esa.” Getar suara kakek bercucu lima tersebut serentak disambut kalimat-kalimat yang mengaminkan, memohon Tuhan menunjukkan keadilan.
Di balik suasana khusyuk ritual sumpah pocong yang dipimpin oleh Hakim M. Yusuf Naif, S.H., tak dinyana muncul reaksi yang mengherankan, sejumlah penonton secara perlahan beringsut mundur menjauhi Kunan. “Kalau terlalu dekat, saya takut kena bala,” kata seorang pengunjung.
Kunan mengaku berani disumpah pocong karena yakin akan kebenaran gugatannya, ia juga merasa lega setelah bersumpah. Masih dengan suara terbata-bata ia menceritakan ihwal permintaannya untuk melakukan sumpah pemutus dengan menggunakan medium sumpah pocong.
Sumpah Pocong atau Sumpah Mimbar
Sumpah tersebut lahir karena sengketa tanah seluas 904 m2 yang terletak di Desa Kalinilam, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (tergugat). Bermula pada tahun 1980, tutur Kunan, ketika Labek berkali-kali membujuk Kunan agar menjual tanahnya yang berada persis di depan bioskop milik Labek, di jalan utama Ketapang. Meski semula menolak, akhirnya Kunan mau juga melepaskan tanah itu setelah Labek berjanji memberikan penukar berupa tanah di samping bioskop. Selain itu ia mensyaratkan pengurusan sertifikat dan ongkos-ongkos yang lain ditanggung Labek.
Kunan pun menyerahkan surat tanah, yang hanya berupa keterangan dari pemuka adat, tanpa tanda terima. Entah bagaimana, tahun 1983 sertifikat tanah milik Kunan (di depan bioskop) dan tanah tukaran milik Labek (di samping bioskop) keluar atas nama Labek Hadi. Malah, di atas tanah Kunan itu dibangun ruko. Tak hanya itu, Labek juga membantah pernah menerima titipan surat tanah dari Kunan.
Penderitaan Kunan belum berakhir. Kunan, pedagang benda antik itu, dituduh menyerobot tanah milik labek. Akibatnya, pada 1988 Kunan dihadapkan ke pengadilan dan divonis 9 bulan penjara.
Namun, Kunan masih juga bernyali untuk menguasai kembali tanahnya. Akhir 1995, Kunan menggugat perdata Labek. Tuntutannya, agar Labek mengembalikan tanahnya. Perjalanan kasus itu tersendat. Selain karena tidak sepenuhnya bisa menyodorkan bukti kepemilikan tanah tersebut, Kunan hanya memiliki kesaksian lisan dari pemuka adat. Posisi Kunan lemah, lantaran hanya memiliki keterangan lisan tanpa didukung bukti tertulis.
Untuk membuktikan kepemilikannya, Kunan pun memohon dilakukan sumpah pemutus berbentuk Sumpah Pocong. Hakim Yusuf Naif, S.H. ternyata menerima permohonan sumpah pocong karena kedua pihak yang berperkara tidak ada yang memiliki bukti kuat. (Gatra, 6 Juli 1996)
Berlandaskan pada Pasal 156 HIR dan pasal 1920 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Yusuf, kedua belah pihak harus mengangkat sumpah. Karenanya, hakim pun meminta kesediaan tergugat Labek untuk menjalani sumpah pocong.
Jangankan mengangkat sumpah, ke Masjid Agung pun Labek tidak datang. “Padahal, dalam sidang April lalu kami sudah minta sampai tiga kali pada Labek untuk disumpah. Kenyataannya, ia tidak bersedia,” tutur Yusuf sambil menambahkan bahwa jika lawan perkara tidak mau mengangkat sumpah pemutus, biasanya dialah yang dikalahkan.
Namun ketidakbersediaan Labek pun didasari pada sejumlah alasan yang menurut pengacara Labek, Junaidi, S.H., “Kami sebenarnya protes karena hakim tidak memeriksa bukti-bukti yang dimiliki klien kami, selain rasa ngeri.”
Rasa ngeri saat menjalankan ritual sumpah pocong, sebutan yang sebenarnya hanya dikenal dalam istilah adat, tak diingkari acapkali melanda para pelakunya. Penyebabnya, bisa jadi selain sumpah diucapkan langsung ke hadirat Tuhan, juga dilakukan di tempat ibadah yang mengandung konotasi tempat yang suci. Menurut Hakim Yusuf Naif, S.H., alasan diselenggarakan di mesjid, karena yang meminta sumpah pemutus itu biasanya menghendaki kesakralan tempat. “Sepanjang itu menambah keyakinan akan keampuhan sumpah tersebut, apakah itu di mesjid, gereja, atau kelenteng, sih tidak apa-apa,” ujarnya.
Pendapat Yusuf Naif dibenarkan oleh Ali Boediarto, S.H., Kepala Pengadilan Jakarta Utara, dengan memaparkan kasus yang pernah ditanganinya. “Tidak mengucap sumpah di mesjid, melainkan di kelenteng. Karena gugatan utang-piutang terjadi antara sesama penganut kepercayaan tersebut,” kenangnya.
Ali Boediarto menggambarkan, karena saling percaya kalangan masyarakat Cina pedagang sering kali dengan mudah melakukan pinjam meminjam uang dengan hanya mencatatnya di secarik kertas bon. “Mungkin saja si pemberi pinjaman, karena sembrono, kehilangan bon catatan pinjaman. Sementara pihak yang lain benar-benar lupa telah membayar atau belum. Tapi mungkin, ada pihak yang memang nakal, entah si pemberi pinjaman atau sebaliknya. Sungguh sulit menentukan siapa yang benar dalam kasus seperti ini.”
Seperti halnya kasus Kunan-Labek, perselisihan tersebut muncul karena tidak ada bukti-bukti dan saksi yang kuat. Akhirnya hakim memutuskan perlu dilakukan ritual sumpah mimbar atau sumpah pemutus.
Di hadapan meja sembahyang di sebuah kelenteng, sambil berdoa pelaku pengucap sumpah menggenggam erat sebilah pisau lalu memotong leher ayam hidup. Sementara harum dupa merebak ke segenap ruangan menusuk hidung serta kucuran darah ayam deras mengalir ke mangkuk, si pelaku segera mengucapkan kalimat-kalimat sumpah. Sesaat setelah unggas tersebut meregang nyawa, darahnya yang memenuhi mangkuk segera dioles-oleskan ke tubuh pelaku sumpah. Pada intinya tersimpan makna, bila yang diucapkan ternyata dusta maka pengucap sumpah akan mati sebagaimana ayam tersebut.
Ajukan dalil tanpa bukti
Meski jarang dilakukan, sumpah ini mewakili wajah masyarakat kita yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah yang ternyata dikenal di berbagai kota tersebut tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah pocong. Sumpah berarti suatu pernyataan khidmat tentang keterangan atau janji, yang diucapkan di hadapan hakim dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman Tuhan. Sedangkan pocong berarti mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi, Sumpah Pocong berarti sumpah yang dilakukan seorang penganut agama Islam, dengan cara dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal.
Sumpah pocong, yang mulai marak dipraktekkan di lingkungan peradilan sejak pertengahan 1970-an, biasa dikenal dalam proses acara perdata. Secara implisit sumpah pocong memang tidak diatur dalam serangkaian peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. “Sumpah pocong memang merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata,” ujar Ali Boediarto sambil menjelaskan bahwa istilah sumpah pocong yang beredar di masyarakat sebenarnya dalam istilah pengadilan disebut sumpah mimbar.
Sama dengan sumpah-sumpah lainnya, menurut Ali yang juga sekjen Ikatan Hakim Indonesia, sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat. “Gugatan yang diajukan penggugat ke pengadilan ini bermacam-macam masalahnya, bisa berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.”
Selanjutnya, dalam pemeriksaan di pengadilan menurut Hukum Acara Perdata ditentukan, setiap orang yang mengemukakan sesuatu dalil, harus bisa membuktikan kebenaran dalil gugatannya di muka pengadilan wajib.
“Dalil itu hanya berupa pengakuan, misalnya, pihak penggugat mengaku sebidang tanah X miliknya, maka pihak yang mengeluarkan dalil itu berkewajiban membuktikan kepada hakim perdata akan kebenaran dalilnya,” kata Ali mencontohkan sambil menyebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) pasal 163 yang menyebutkan, orang yang menyatakan mempunyai suatu barang atau menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa maka untuk meneguhkan haknya itu atau membantah haknya orang lain, orang itu harus membuktikan adanya haknya dia.
Sebaliknya, pihak yang menyangkal bahwa tanah itu bukan milik penggugat, melainkan milik tergugat, juga mengeluarkan suatu dalil yang harus pula dibuktikan kebenarannya di muka hakim perdata. Di sinilah hakim mempunyai dasar hukum untuk memeriksa perkara itu dengan menerima bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat untuk mendukung dalil gugatannya ataupun bukti-bukti yang diajukan oleh pihak lawan atau tergugat untuk mendukung dalil sangkalannya. Kemudian hakim akan mempertimbangkan bukti mana yang lebih kuat, apakah yang diajukan oleh penggugat atau justru tergugat. Adapun bukti-bukti yang layak diajukan, “Sesuai dengan HIR pasal 164 yang pertama adalah bukti surat dan bukti saksi,” jelas Ali Boediarto, S.H.
Namun kadang-kadang bukti surat dan bukti saksi tersebut tidak bisa dipenuhi oleh kedua belah pihak tersebut, “Bisa jadi pihak penggugat hanya memiliki bukti berupa sepotong surat yang tidak bisa langsung jadi alat pembuktian tanah itu miliknya. Sedangkan tergugat hanya punya satu saksi tanpa surat-surat.” kembali Ali mengisahkan banyak kasus yang tidak memiliki bukti lengkap untuk bisa meyakinkan hakim dalam mencari fakta yang benar.
Pada situasi tertentu, bisa saja terjadi bukti-bukti itu sulit untuk diperoleh karena peristiwa itu sudah terlampau lama terjadi. Misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam situasi tidak ada bukti surat dan bukti saksi, menurut HIR pasal 164 dilakukan bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Meski demikian Ali Boediarto menilai bukti persangkaan agak rawan dilakukan.
Bukti keempat menurut Hukum Acara Perdata adalah pengakuan, “Namanya saja selisih, tentunya tidak ada pengakuan yang saling membenarkan antara pihak penggugat dengan tergugat,” ujar Ali sambil menunjuk pada bukti terakhir atau yang kelima yaitu sumpah.
Agar keputusan tak berlarut-larut
Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim.
Hal ini terjadi karena perkara itu sudah harus selesai, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai bertahun-tahun, karena kedua belah pihak yang bersengketa masih coba-coba mencari bukti dan saksi lain. Dalam keadaan tertentu hakim mungkin masih menimbang-nimbang seandainya mungkin mendapatkan bukti yang lain. Namun, kalau sudah buntu sama sekali, hakim akan langsung merujuk ke bukti sumpah.
Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah.
“Bukti-bukti permulaan bisa berupa sepotong surat sebagai penunjuk atau mungkin satu saksi yang cukup memberikan petunjuk ke arah suatu kebenaran,” Ali Boediarto memberikan contoh. Bila sudah ada permulaan bukti seperti itu, maka cukup dilakukan sumpah suppletoir yaitu sumpah untuk menguatkan saksi yang hanya satu orang tersebut.
Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. “Biasanya kedua pihak hanya bisa bicara, bersikukuh pada dalil masing-masing,” Ali Boediarto menggambarkan perselisihan yang tanpa didukung bukti. Meski begitu, tidak jarang kedua pihak yang bersengketa tersebut mengajukan bukti, “Sayangnya, bukti-bukti itu tidak langsung berkaitan dengan pokok perkara, hanya nyerempet sedikit-sedikit. Misalnya catatan notes yang tidak berharga sebagai bukti,” ujarnya lagi.
Gagasan untuk melakukan sumpah mimbar bisa ditawarkan oleh hakim, meski tidak tertutup kemungkinan inisiatif justru diajukan penggugat yang merasa sangat yakin berada di pihak yang benar. Dalam keadaan begini, penggugat pun bisa meminta sumpah dibebankan pada dirinya atau pada lawan. Bila penggugat meminta hakim membebankan pada pihak lawan, maka pihak lawan pun bisa kembali melemparkan agar sumpah dilakukan oleh si penggugat. “Kalau sudah begini, bisa bolak-balik, saling melempar siapa yang harus bersumpah. Maka hakim harus memberikan putusan yang disebut putusan sela untuk menentukan siapa yang harus dibebani sumpah, pihak penggugat atau tergugat,” Ali Boediarto memaparkan kemungkinan pembebanan sumpah yang jadi berlarut-larut.
Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. “Hal ini sangat rawan untuk membenarkan pernyataan seseorang, karena banyak orang cukup berani untuk melanggarnya. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tapi tidak tertutup pula dusta. Sementara di sisi lain, hakim harus segera memutuskan kasus yang tidak lengkap bukti-buktinya,” Ali Boediarto menceritakan dilema pemutusan dengan Sumpah Mimbar.
Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan Sumpah pocong. “Artinya, dalam bersumpah ia berhadapan langsung dengan Tuhan, jadi harus mengatakan yang benar. Kalau bohong, konsekuensinya ia akan menerima hukuman langsung dari Tuhan,” Ali Boediarto menjelaskan bahwa sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.
Berkaitan dengan Tuhan Yang Mahaesa maka sumpahnya pun disebut sumpah mimbar. Artinya, pihak yang dibebani sumpah akan dibawa ke muka mimbar rumah ibadah. “Setelah ditetapkan hari untuk bersumpah, pelaku akan dibawa ke depan mimbar mesjid jami di kota, mesjid terbesar di kota itu,” kenang Ali Boediarto yang pernah menerapkan cara serupa dalam sebuah kasus sengketa tanah. Setelah bersuci, di muka mimbar mesjid ia akan diupacarakan seperti orang meninggal, diiringi doa-doa. Dihadapan seorang kyai dan kelilingi para saksi yang terdiri atas semua majelis, panitera, pembela, para ulama, ia pun mengucapkan sumpah hasil rumusan hakim yang isinya membenarkan gugatan atau sangkalannya. Usai upacara akan dibuat berita acara oleh para panitera pengadilan, majelis, serta hakim yang menyaksikan, yang menjelaskan segala sesuatu tentang pelaksanaan sumpah.
Segera berita acara yang telah diterima pengadilan diproses untuk menyusun putusan. Dengan pembuktian menggunakan sumpah mimbar maka yang berani mengucapkan sumpah adalah yang menang.
Sanksi yang tidak lebih ringan
Tata cara tersebut ditempuh untuk mencegah orang melakukan sumpah palsu, karena ada orang yang bersedia melanggar demi kemenangan. Meski dalam undang-undang telah dicantumkan, “Barang siapa memberikan keterangan yang tidak benar di muka pengadilan bisa dituntut.”
Bagi pengadilan melakukan sumpah di ruang sidang atau di depan mimbar tempat suci sebetulnya sama saja. Yang diharapkan, semua yang diucapkan adalah benar. Karenanya, diupayakanlah tata cara yang berhubungan langsung dengan keimanannya pada Tuhan, meskipun sanksinya pun tidak langsung akan diterimanya.
Ali Boediarto menceritakan pengalamannya mengenai kasus sengketa tanah 20 tahun lalu di Pengadilan Negeri Malang yang ia putuskan dengan sumpah mimbar. Setahun kemudian Ali mendengar kabar, si pengucap sumpah meninggal dunia.
Tapi karena berita ini tidak diterima resmi - karena memang tidak ada keharusan pelaku melapor ke pengadilan - Ali Boediarto tidak bisa memastikan apa penyebab kematiannya. Mungkin saja beban psikologis yang diterimanya begitu berat, bisa karena sebelumnya ia telah mengidap penyakit kronis. Namun tidak tertutup kemungkinan, ia meninggal karena termakan sumpahnya. “Sulit dibuktikan, apakah sumpah itu benar-benar mujarab, kata-katanya bertuah,” Ali Boediarto mencoba menghitung beberapa kemungkinan penyebabnya sambil mengingatkan kembali akan kemahakuasaan Tuhan yang mengetahui segala-galanya.
Prof. Loebby Loqman, S.H., Ahli Hukum Perkara Pidana UI, memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai sumpah yang kental dengan nilai sakral. “Bila sampai bersumpah tidak benar, hukumannya tidak akan diterima di dunia, tapi di akhirat. Bagi masyarakat beragama hal ini tentu sangat menakutkan, sebisa mungkin dihindari hukuman di akhirat.”
Risiko sumpah pocong atau sumpah mimbar besar sekali. Tidak semua orang, lebih-lebih kalau orang itu orang yang beriman, mau nekat melakukannya. Kecuali kalau orang itu memang sudah memiliki niat penipu, atau sifat buruk lainnya.
“Paling repot kalau menghadapi seorang psikopat atau sosiopat yang tidak memiliki rasa bersalah bila melanggar sumpah. Norma-norma penderita kepribadian terbelah itu biasanya sudah kacau balau,” ujar psikolog Sartono Mukadis yang memberikan contoh bahwa seorang sosiopat tidak akan merasakan beban psikologis bila harus mengucapkan sumpah apa pun.
Karena itu hakim harus berhati-hati sebelum membebankan sumpah mimbar pada salah satu pihak. Harus diteliti benar, apakah orang tersebut dapat dipercaya, bagaimana tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di rumah, lingkungan maupun pekerjaan, juga kehidupan beragamanya. “Hakim tidak akan langsung mengizinkan seseorang melakukan sumpah hanya karena ia berucap berani mati. Jangan sampai keputusan dilakukan dengan cepat, namun nantinya banyak menimbulkan kekeliruan-kekeliruan,” ujar Ali Boediarto.
Hakim harus mempertimbangkan matang-matang untuk tidak meminta satu pihak mengucapkan bersumpah, sementara hakim itu tidak yakin bahwa pihak yang ditunjuknya tidak akan melakukan sumpah palsu. Dengan kata lain, hakim jangan sampai bertindak mendorong orang melakukan sumpah palsu karena keinginan memenangkan perkara dengan sanksi yang sangat fatal.
Sumpah mimbar memang lebih sering dipraktekkan untuk perkara perdata yang mengkondisikan selalu ada yang kalah dan ada yang menang. Meski untuk perkara perdata masih bisa ditempuh jalan keluar lain, misalnya musyawarah untuk mencapai perdamaian. Satu kasus bisa terselesaikan cukup dengan memberikan penggugatnya biaya untuk naik haji, maka kedua pihak pun merasa puas.
Sumpah pocong memang bukan sumpah biasa, karena risikonya sangat berat. Beban tanggung jawab tidak hanya dipikul di dunia, tapi juga akhirat. Bayangkan, bagaimana orang yang masih segar bugar secara fisik dan psikologis harus seperti orang mati, karena dipocongi, masuk di dalam keranda mayat, kemudian mengucapkan sumpah, “Saya pada tanggal sekian mengucapkan sumpah mimbar disaksikan oleh … dan disaksikan Allah SWT bahwa apa yang saya ucapkan di depan Hakim adalah sejujur-jujurnya. Dengan permohonan kepada Allah SWT bilamana saya berdusta, biarlah Tuhan yang Mahakuasa menimpakan azab, laknat, siksa, dan kutuk dalam kehidupan saya.” (Shinta Teviningrum)
dari : intisari