Makanan lezat dan penampilam yang mengundang selera menjadi daya tarik tersendiri bagi restoran besar atau kafe. Yang sibuk mewujudkan hal itu adalah koki. Supriyadi, salah satu koki di Hard Rock Cafe, mengungkapkan, tugasnya sehari-hari adalah mengawasi kualitas resep makanan yang disajikan. Bertindak sebagai supervisor kitchen, pria asal Jakarta yang hampir 10 tahun menggeluti dunia kuliner ini bekerja mengontrol hasil dan memberi resep sentuhan akhir pada makanan. ''Saya harus melakukan pengecekan ganda agar kualitas terjaga,'' ujarnya. Sedangkan Susilo, wakil chef di Hard Rock Cafe, menangani sentuhan akhir makanan dan mengawasi resep produksi makanan dingin dan panas, seperti resep pembuatan sup, daging, dan ayam.
Selain mengawasi alur makanan hingga siap saji, keduanya pun turut memikirkan resep-resep baru. ''Kami mengeluarkan menu baru hampir enam bulan sekali,'' ujar Susilo. Selain itu, resep masakan yang tersaji pun harus disesuaikan dengan lidah Indonesia. Misalnya saja, resep ayam ala internasional kerap tidak menggunakan garam. Tapi, kata Susilo, untuk menyesuaikan lidah Indonesia garam pun perlu dibubuhkan.
Susilo mengaku menggeluti profesi koki sejak 1996. Awalnya, ia sempat mengambil kuliah perhotelan Buena Wisata di Yogyakarta. Sedangkan Supriyadi sudah lama bekerja di berbagai restoran. Susilo dan Supri tidak menampik bahwa profesi koki sebagian besar dipegang oleh kaum pria. ''Ini lebih karena pekerjaan ini beritme cepat dan keras. Perempuan biasanya bekerja di bagian pastry (kue-kue kering - red),'' ujar Supriyadi.
Susilo menuturkan, suasana serba sibuk dan cepat terjadi ketika kafenya ramai pengunjung, terutama pada Sabtu dan Minggu. Bila suasana ini terjadi, kerja cepat dan tepat yang paling dibutuhkan. ''Ini berbeda dengan situasi kerja di hotel,'' ujar Susilo.
Menurutnya, ada perbedaan mendasar sistem kerja di hotel dan kafe. Menurutnya, untuk hotel dengan beragam tamu yang datang, variasi makanan yang disiapkan pun lebih banyak. Berbeda dengan kafe yang lebih spesifik. Jam kerja di hotel dan kafe pun berbeda jauh. ''Jam kerja di kafe juga lebih padat. Waktu delapan jam habis untuk bekerja. Lain dengan hotel yang bisa lebih santai,'' lanjut Susilo.
Bagi mereka, profesi koki sungguh menyenangkan. Tapi, keduanya menekankan pentingnya rasa cinta pada profesi agar sukses. ''Kalau tidak, kami sulit untuk maju,'' kata keduanya nyaris bersamaan. Selain itu, profesi koki harus pula didukung dengan pengalaman atau dasar pendidikan yang terkait.
Sementara itu, Mamat menggeluti profesi koki berbekal pegalaman. Selepas SMA, ia langsung terjun ke dunia kuliner. Kini dengan pengalaman hampir 15 tahun, pria kelahiran Jakarta ini telah singgah di berbagai restoran seperti Sizzler, Temptation, Hotel Sahid, dan terakhir di Marcae, restoran berlisensi Austria.
Mamat juga terbiasa menangani beragam masakan asing seperti Eropa, Jepang, Meksiko, dan Timur Tengah. Serupa dengan Susilo dan Supri, Mamat juga mengaku senang dengan profesi koki. ''Menyenangkan, terutama ketika kami dapat menyajikan pada tamu dan melakukan atraksi sendiri,'' ujarnya.
Soal penghasilan tiap bulan, Susilo dan Supri sepakat tutup mulut. Keduanya hanya menyebut gaji yang mereka peroleh telah cukup memadai. Terlebih dengan adanya bonus, insentif, dan gaji ke-13. ''Kalau mau gaji lebih, seharusnya lebih memilih kerja di kapal pesiar,'' ujar Susilo.
Berbeda dari mereka, Mamat dengan cepat menyebut gaji yang diterimanya sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Namun, ia menyebutkan gaji koki sebenarnya amat bergantung pada pengalaman dan kemampuan yang bersangkutan. ''Makin tua, makin mahal,'' ujarnya. Untuk para pemula, Mamat menyebutkan penghasilan yang diperoleh amat bergantung pada besar kecilnya tempat. ''Apalagi bisnis restoran di tengah situasi krisis seperti ini,'' ujarnya. ***
Selain mengawasi alur makanan hingga siap saji, keduanya pun turut memikirkan resep-resep baru. ''Kami mengeluarkan menu baru hampir enam bulan sekali,'' ujar Susilo. Selain itu, resep masakan yang tersaji pun harus disesuaikan dengan lidah Indonesia. Misalnya saja, resep ayam ala internasional kerap tidak menggunakan garam. Tapi, kata Susilo, untuk menyesuaikan lidah Indonesia garam pun perlu dibubuhkan.
Susilo mengaku menggeluti profesi koki sejak 1996. Awalnya, ia sempat mengambil kuliah perhotelan Buena Wisata di Yogyakarta. Sedangkan Supriyadi sudah lama bekerja di berbagai restoran. Susilo dan Supri tidak menampik bahwa profesi koki sebagian besar dipegang oleh kaum pria. ''Ini lebih karena pekerjaan ini beritme cepat dan keras. Perempuan biasanya bekerja di bagian pastry (kue-kue kering - red),'' ujar Supriyadi.
Susilo menuturkan, suasana serba sibuk dan cepat terjadi ketika kafenya ramai pengunjung, terutama pada Sabtu dan Minggu. Bila suasana ini terjadi, kerja cepat dan tepat yang paling dibutuhkan. ''Ini berbeda dengan situasi kerja di hotel,'' ujar Susilo.
Menurutnya, ada perbedaan mendasar sistem kerja di hotel dan kafe. Menurutnya, untuk hotel dengan beragam tamu yang datang, variasi makanan yang disiapkan pun lebih banyak. Berbeda dengan kafe yang lebih spesifik. Jam kerja di hotel dan kafe pun berbeda jauh. ''Jam kerja di kafe juga lebih padat. Waktu delapan jam habis untuk bekerja. Lain dengan hotel yang bisa lebih santai,'' lanjut Susilo.
Bagi mereka, profesi koki sungguh menyenangkan. Tapi, keduanya menekankan pentingnya rasa cinta pada profesi agar sukses. ''Kalau tidak, kami sulit untuk maju,'' kata keduanya nyaris bersamaan. Selain itu, profesi koki harus pula didukung dengan pengalaman atau dasar pendidikan yang terkait.
Sementara itu, Mamat menggeluti profesi koki berbekal pegalaman. Selepas SMA, ia langsung terjun ke dunia kuliner. Kini dengan pengalaman hampir 15 tahun, pria kelahiran Jakarta ini telah singgah di berbagai restoran seperti Sizzler, Temptation, Hotel Sahid, dan terakhir di Marcae, restoran berlisensi Austria.
Mamat juga terbiasa menangani beragam masakan asing seperti Eropa, Jepang, Meksiko, dan Timur Tengah. Serupa dengan Susilo dan Supri, Mamat juga mengaku senang dengan profesi koki. ''Menyenangkan, terutama ketika kami dapat menyajikan pada tamu dan melakukan atraksi sendiri,'' ujarnya.
Soal penghasilan tiap bulan, Susilo dan Supri sepakat tutup mulut. Keduanya hanya menyebut gaji yang mereka peroleh telah cukup memadai. Terlebih dengan adanya bonus, insentif, dan gaji ke-13. ''Kalau mau gaji lebih, seharusnya lebih memilih kerja di kapal pesiar,'' ujar Susilo.
Berbeda dari mereka, Mamat dengan cepat menyebut gaji yang diterimanya sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Namun, ia menyebutkan gaji koki sebenarnya amat bergantung pada pengalaman dan kemampuan yang bersangkutan. ''Makin tua, makin mahal,'' ujarnya. Untuk para pemula, Mamat menyebutkan penghasilan yang diperoleh amat bergantung pada besar kecilnya tempat. ''Apalagi bisnis restoran di tengah situasi krisis seperti ini,'' ujarnya. ***