Ulah Ani sangat menjengkelkan orang tuanya. Selama liburan, siswi sekolah menengah umum ini amat sering melakukan interlokal ke luar kota hanya untuk mengobrol dengan teman-temannya yang sedang pulang ke rumah masing-masing. Akibatnya, pemakaian pulsa telepon amat banyak dan tagihan biayanya melonjak tinggi.
Biasanya tagihan telepon per bulan tak pernah lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah. Namun untuk bulan itu, biaya telepon melonjak tiga kali lipat, sampai hampir empat ratus lima puluh ribu rupiah. Oleh karena itu, ayah dan ibu marah-marah, dan jengkel pada anaknya yang dianggap memboroskan pulsa tanpa faedah.
Setiap hari Ani selalu kesepian di rumah. Apalagi pada masa liburan seperti itu. Biasanya, dia bisa berkomunikasi akrab dengan beberapa kawan baiknya di sekolah. Ayahnya bekerja di luar rumah dari pagi sampai petang. Sifat sang ayah yang pendiam, membuatnya jarang bercanda ria dengan anak-anaknya. Kalaupun terjadi pembicaraan antara ayah dan anak, lebih banyak berupa instruksi atau semacam perintah jangan begini - begitu, atau harus melakukan ini dan itu. Sebaliknya, ibunya memang berada di rumah sepanjang hari. Namun kalau berbicara dengan Ani lebih banyak melontarkan kritik, memberi petuah, bahkan tak jarang juga cacian yang menyakitkan hati.
Perasaan gadis manis ini semakin tersiksa kalau melihat perlakuan kedua orang tuanya terhadap sang adik. Menurut Ani, kedua orang tuanya lebih menyayangi adiknya ketimbang dirinya. Setiap kali ibu dan ayah memuji sang adik selalu dengan mencemoohkan dirinya. Ani merasa dibanding-bandingkan dengan adiknya. Setiap pembandingan sangat menyakitkan hatinya.
Di depan konselor Ani mengaku, betapa dirinya tidak krasan tinggal di rumah. Di tengah keluarganya ia selalu dicekam kesepian. Keadaan itu membuatnya tak bisa konsentrasi belajar dan malas. Akibatnya, nilai-nilai ulangannya hampir semuanya jelek.
“Dalam perjalanan pulang ke rumah, hatiku selalu amat gelisah. Ada rasa ngeri. Semakin mendekati rumah, jantungku berdetak lebih keras. Aku sering berhenti beberapa meter sebelum mencapai rumah. Di sana aku merasakan takut pulang.” Demikian pengakuan gadis yang malang ini.
Ani adalah contoh seorang penderita ansietas, yakni suatu kondisi jiwa yang selalu dicekam kecemasan mendalam. Lantas, mengapa dia menghabiskan pulsa telepon di hari-hari liburnya? Jawaban yang sederhana, karena dia merasa amat kesepian. Namun ternyata Ani juga menuturkan jawaban lain. Dia memboroskan uang untuk interlokal karena tak tahu lagi hal apa yang baik untuk dilakukan. Ia merasa selama ini segala sesuatu yang ia lakukan tidak pernah baik, karena ayah dan ibunya hampir selalu menyalahkan sikap dan tindakannya. Ani mengaku, sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas dua, orang tuanya sering memarahi bahkan mencaci maki dirinya. “Aku sudah terbiasa dengan cacian-cacian itu. Oleh sebab itu aku nekat melakukan suatu pelanggaran, karena aku tidak peka lagi pada kritik, cacian, cercaan, dan kemarahan ayah dan ibu. Biar saja aku melanggar. Toh nanti ‘cuma’ dicaci maki.
Sepertinya aku sudah kebal pada kata-kata pahit yang diucapkan ayah dan ibuku sendiri,” ujar Ani sambil meneteskan air mata. Wajahnya menyiratkan kesedihan mendalam.
Pada suatu hari sang konselor menemui orang tua Ani. Dalam pertemuan itu, ayah dan ibu Ani banyak bercerita tentang “kebrengsekan” anaknya. Mereka tidak berbohong. Konselor percaya, Ani memang telah melakukan berbagai perbuatan yang menjengkelkan kebanyakan orang tua. Misalnya, dia sering tidak segera pulang ke rumah setelah sekolah usai. Acap kali Ani langsung dolan ke rumah sahabatnya. Di sana mereka ngobrol dan bercanda. Menjelang petang hari, Ani baru pulang ke rumah.
Dalam perbincangan itu juga tampak betapa orang tua suka membandingkan Ani dan adiknya. “Adik Ani memang lebih cerdas, nilai-nilai ulangannya jauh lebih baik. Kelakuannya juga jauh lebih manis. Dia memang anak baik dan penurut,” kata ayah Ani.
Namun ayah dan ibu Ani sangat terkejut tatkala konselor berkata, “Memang Ani menjengkelkan Bapak dan Ibu. Namun pernahkah Bapak dan Ibu mendengarkan keluhannya? Ani berulang mengeluh kepada saya, bahwa segala perbuatannya selalu dianggap salah. Maka dia sengaja melakukan banyak pelanggaran, karena sudah tak tahu lagi, perbuatan apa yang baik dan perbuatan apa yang buruk. Pernahkah Bapak dan Ibu membayangkan, betapa Ani tidak krasan tinggal di rumah, sangat cemas, dan sangat takut setiap kali mau memasuki rumahnya sendiri?”
Kasus Ani adalah sebuah contoh korban painful comparison games. Suatu permainan pembandingan yang mengakibatkan rasa nyeri jiwani, yang secara sadar maupun tak sadar banyak dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya. Rasa nyeri tersebut diperparah oleh cacian, dan berulangnya kritik pedas yang secara kronis diucapkan oleh ayah dan ibunya. Pada akhirnya dia terbiasa hidup dalam rasa nyeri jiwani yang seolah merupakan bagian dari “hidup normal”-nya sehari-hari. Itulah sebabnya, tanpa disadari makin lama Ani makin “membutuhkan” rasa nyeri jiwani tersebut. Maka dia suka memprovokasi timbulnya rasa nyeri, justru dengan menampilkan berbagai sikap dan tindakan yang menjengkelkan orang tuanya. Tanpa disadari rasa nyeri kian menumpuk dalam jiwa Ani. Yang menjadi masalah, siapa bisa bertahan dengan terpaan rasa nyeri jiwani yang sedemikian akumulatif? Ani pun tak tahan. Akhirnya dia mengidap ansietas, yang memurukkan kualitas hidupnya dan menghancurkan kualitas belajarnya sebagai murid sekolah.
Manusia memang membutuhkan kritik. Karena sesungguhnya kritik itu seperti cermin gratis yang membantu manusia mengamati sikap dan perilakunya. Namun biasanya dia tak butuh cercaan. Karena cercaan justru akan menyakitkan hati dan akibatnya lebih bersifat negatif ketimbang positif. Agaknya setiap insan memang perlu berupaya tidak mencerca orang lain. Demi relasi antarinsan yang baik dan sehat.
(dr. Limas Sutanto DSJ, pengamat psikososial dari STFT Widya Sasana, Malang)
Biasanya tagihan telepon per bulan tak pernah lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah. Namun untuk bulan itu, biaya telepon melonjak tiga kali lipat, sampai hampir empat ratus lima puluh ribu rupiah. Oleh karena itu, ayah dan ibu marah-marah, dan jengkel pada anaknya yang dianggap memboroskan pulsa tanpa faedah.
Setiap hari Ani selalu kesepian di rumah. Apalagi pada masa liburan seperti itu. Biasanya, dia bisa berkomunikasi akrab dengan beberapa kawan baiknya di sekolah. Ayahnya bekerja di luar rumah dari pagi sampai petang. Sifat sang ayah yang pendiam, membuatnya jarang bercanda ria dengan anak-anaknya. Kalaupun terjadi pembicaraan antara ayah dan anak, lebih banyak berupa instruksi atau semacam perintah jangan begini - begitu, atau harus melakukan ini dan itu. Sebaliknya, ibunya memang berada di rumah sepanjang hari. Namun kalau berbicara dengan Ani lebih banyak melontarkan kritik, memberi petuah, bahkan tak jarang juga cacian yang menyakitkan hati.
Perasaan gadis manis ini semakin tersiksa kalau melihat perlakuan kedua orang tuanya terhadap sang adik. Menurut Ani, kedua orang tuanya lebih menyayangi adiknya ketimbang dirinya. Setiap kali ibu dan ayah memuji sang adik selalu dengan mencemoohkan dirinya. Ani merasa dibanding-bandingkan dengan adiknya. Setiap pembandingan sangat menyakitkan hatinya.
Di depan konselor Ani mengaku, betapa dirinya tidak krasan tinggal di rumah. Di tengah keluarganya ia selalu dicekam kesepian. Keadaan itu membuatnya tak bisa konsentrasi belajar dan malas. Akibatnya, nilai-nilai ulangannya hampir semuanya jelek.
“Dalam perjalanan pulang ke rumah, hatiku selalu amat gelisah. Ada rasa ngeri. Semakin mendekati rumah, jantungku berdetak lebih keras. Aku sering berhenti beberapa meter sebelum mencapai rumah. Di sana aku merasakan takut pulang.” Demikian pengakuan gadis yang malang ini.
Ani adalah contoh seorang penderita ansietas, yakni suatu kondisi jiwa yang selalu dicekam kecemasan mendalam. Lantas, mengapa dia menghabiskan pulsa telepon di hari-hari liburnya? Jawaban yang sederhana, karena dia merasa amat kesepian. Namun ternyata Ani juga menuturkan jawaban lain. Dia memboroskan uang untuk interlokal karena tak tahu lagi hal apa yang baik untuk dilakukan. Ia merasa selama ini segala sesuatu yang ia lakukan tidak pernah baik, karena ayah dan ibunya hampir selalu menyalahkan sikap dan tindakannya. Ani mengaku, sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas dua, orang tuanya sering memarahi bahkan mencaci maki dirinya. “Aku sudah terbiasa dengan cacian-cacian itu. Oleh sebab itu aku nekat melakukan suatu pelanggaran, karena aku tidak peka lagi pada kritik, cacian, cercaan, dan kemarahan ayah dan ibu. Biar saja aku melanggar. Toh nanti ‘cuma’ dicaci maki.
Sepertinya aku sudah kebal pada kata-kata pahit yang diucapkan ayah dan ibuku sendiri,” ujar Ani sambil meneteskan air mata. Wajahnya menyiratkan kesedihan mendalam.
Pada suatu hari sang konselor menemui orang tua Ani. Dalam pertemuan itu, ayah dan ibu Ani banyak bercerita tentang “kebrengsekan” anaknya. Mereka tidak berbohong. Konselor percaya, Ani memang telah melakukan berbagai perbuatan yang menjengkelkan kebanyakan orang tua. Misalnya, dia sering tidak segera pulang ke rumah setelah sekolah usai. Acap kali Ani langsung dolan ke rumah sahabatnya. Di sana mereka ngobrol dan bercanda. Menjelang petang hari, Ani baru pulang ke rumah.
Dalam perbincangan itu juga tampak betapa orang tua suka membandingkan Ani dan adiknya. “Adik Ani memang lebih cerdas, nilai-nilai ulangannya jauh lebih baik. Kelakuannya juga jauh lebih manis. Dia memang anak baik dan penurut,” kata ayah Ani.
Namun ayah dan ibu Ani sangat terkejut tatkala konselor berkata, “Memang Ani menjengkelkan Bapak dan Ibu. Namun pernahkah Bapak dan Ibu mendengarkan keluhannya? Ani berulang mengeluh kepada saya, bahwa segala perbuatannya selalu dianggap salah. Maka dia sengaja melakukan banyak pelanggaran, karena sudah tak tahu lagi, perbuatan apa yang baik dan perbuatan apa yang buruk. Pernahkah Bapak dan Ibu membayangkan, betapa Ani tidak krasan tinggal di rumah, sangat cemas, dan sangat takut setiap kali mau memasuki rumahnya sendiri?”
Kasus Ani adalah sebuah contoh korban painful comparison games. Suatu permainan pembandingan yang mengakibatkan rasa nyeri jiwani, yang secara sadar maupun tak sadar banyak dilakukan para orang tua terhadap anak-anaknya. Rasa nyeri tersebut diperparah oleh cacian, dan berulangnya kritik pedas yang secara kronis diucapkan oleh ayah dan ibunya. Pada akhirnya dia terbiasa hidup dalam rasa nyeri jiwani yang seolah merupakan bagian dari “hidup normal”-nya sehari-hari. Itulah sebabnya, tanpa disadari makin lama Ani makin “membutuhkan” rasa nyeri jiwani tersebut. Maka dia suka memprovokasi timbulnya rasa nyeri, justru dengan menampilkan berbagai sikap dan tindakan yang menjengkelkan orang tuanya. Tanpa disadari rasa nyeri kian menumpuk dalam jiwa Ani. Yang menjadi masalah, siapa bisa bertahan dengan terpaan rasa nyeri jiwani yang sedemikian akumulatif? Ani pun tak tahan. Akhirnya dia mengidap ansietas, yang memurukkan kualitas hidupnya dan menghancurkan kualitas belajarnya sebagai murid sekolah.
Manusia memang membutuhkan kritik. Karena sesungguhnya kritik itu seperti cermin gratis yang membantu manusia mengamati sikap dan perilakunya. Namun biasanya dia tak butuh cercaan. Karena cercaan justru akan menyakitkan hati dan akibatnya lebih bersifat negatif ketimbang positif. Agaknya setiap insan memang perlu berupaya tidak mencerca orang lain. Demi relasi antarinsan yang baik dan sehat.
(dr. Limas Sutanto DSJ, pengamat psikososial dari STFT Widya Sasana, Malang)