Memalukan! Itulah kata yang paling tepat untuk mengomentari kerusuhan yang terjadi di Stadion Brawijaya, Kediri, Jawa Timur, Rabu (16/1) malam lalu saat berlangsung pertandingan sepakbola Grup A Babak Delapan Besar Liga Djarum Indonesia 2007, Persiwa Wamena versus Arema Malang.
Sebenarnya kata memalukan tersebut bukanlah yang pertama kali dilontarkan dalam konteks persepakbolaan nasional. Tindakan yang memalukan sering terjadi dalam pertandingan sepakbola di negeri ini. Oleh karena itu, tampaknya kalangan penggemar sepakbola di Indonesia melihat chaos di Stadion Brawijaya itu sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, secara ekstrem penggemar sepakbola itu akan bingung kalau suatu pertandingan tidak dibumbui oleh bentrokan di lapangan. Ada yang bilang ibarat sayur tanpa garam.
Sebenarnya kata memalukan tersebut bukanlah yang pertama kali dilontarkan dalam konteks persepakbolaan nasional. Tindakan yang memalukan sering terjadi dalam pertandingan sepakbola di negeri ini. Oleh karena itu, tampaknya kalangan penggemar sepakbola di Indonesia melihat chaos di Stadion Brawijaya itu sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, secara ekstrem penggemar sepakbola itu akan bingung kalau suatu pertandingan tidak dibumbui oleh bentrokan di lapangan. Ada yang bilang ibarat sayur tanpa garam.
Pada Rabu malam itu suasana di Stadion Brawijaya membara. Api menyala di berbagai sudut stadion. Bahkan tiang gawang, yang menjadi incaran para pemain untuk menembuskan “si kulit bundar” pada saat pertandingan, tak luput dari api. Papan dan kursi yang biasanya menjadi tempat menyenangkan untuk menikmati pertandingan, berterbangan pada malam itu.
Lapangan hijau Brawijaya menjadi arena kemarahan sebagian pendukung tim Arema Malang, yang disulut oleh ulah seorang suporter yang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya infrastruktur Stadion Brawijaya yang menjadi korban, tetapi juga harta benda penduduk yang tinggal di dekat lapangan olahraga itu tidak luput dari amukan massa. Dikabarkan, satu mobil yang sedang diparkir di dalam garasi rumah tak jauh dari stadion, dihancurkan. Ya, itu benar-benar perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Sekali lagi, tampaknya itulah potret persepakbolaan di Indonesia. Potret yang menggambarkan ketertinggalan dan ketidakpahaman akan arti sebuah pertandingan yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas atau fair play.
Kalangan penggemar sepakbola di negeri ini sepertinya sudah tidak bisa membedakan mana yang adil dan tidak adil. Sang pengadil di lapangan hijau, wasit, yang sebenarnya sudah bekerja dengan benar dan berusaha seadil-adilnya, tetap dinilai tidak adil oleh kalangan penonton. Fenomena itu terjadi sebagai efek dari kesalahan demi kesalahan yang terjadi sebelumnya dan mengakar sampai saat ini. Siapa tokoh dari kesalahan itu? Jawabannya, kalangan pelaku sepakbola itu sendiri. Dengan kata lain, tidak bakal ada asap kalau tak ada api.
Berkaitan dengan kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di lapangan sepakbola yang akan dikedepankan di sini adalah benar atau tidaknya kesalahan dilakukan oleh wasit maka dalam suatu pertandingan wasit harus dihormati. Kalau pun seorang wasit salah atau dinilai tidak adil dalam memimpin jalannya pertandingan maka sudah ada pihak yang akan mengadilinya, sehingga tidak perlu dihakimi oleh pihak lain. Wasit juga manusia biasa yang bisa saja salah.
Mereka yang sudah memahami falsafah pertandingan, yaitu bisa menerima kemenangan dan bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, pasti hanya bisa mengelu-elus dada melihat kejadian memalukan di Stadion Brawijaya tersebut. Tetapi yang jelas, di bumi Indonesia ini masih banyak orang yang bercita-cita agar sepakbola Indonesia maju dari segala aspek, mulai prestasi tim nasional hingga kompetisinya. Hanya untuk bisa mencapai itu dibutuhkan kesabaran dan keberanian mengambil risiko yang terberat sekalipun. Semua itu diperlukan untuk menjadikan sepakbola nasional membanggakan dan sebagai hiburan yang tidak pernah membosankan.
Suara Pembaruan
Lapangan hijau Brawijaya menjadi arena kemarahan sebagian pendukung tim Arema Malang, yang disulut oleh ulah seorang suporter yang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya infrastruktur Stadion Brawijaya yang menjadi korban, tetapi juga harta benda penduduk yang tinggal di dekat lapangan olahraga itu tidak luput dari amukan massa. Dikabarkan, satu mobil yang sedang diparkir di dalam garasi rumah tak jauh dari stadion, dihancurkan. Ya, itu benar-benar perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Sekali lagi, tampaknya itulah potret persepakbolaan di Indonesia. Potret yang menggambarkan ketertinggalan dan ketidakpahaman akan arti sebuah pertandingan yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas atau fair play.
Kalangan penggemar sepakbola di negeri ini sepertinya sudah tidak bisa membedakan mana yang adil dan tidak adil. Sang pengadil di lapangan hijau, wasit, yang sebenarnya sudah bekerja dengan benar dan berusaha seadil-adilnya, tetap dinilai tidak adil oleh kalangan penonton. Fenomena itu terjadi sebagai efek dari kesalahan demi kesalahan yang terjadi sebelumnya dan mengakar sampai saat ini. Siapa tokoh dari kesalahan itu? Jawabannya, kalangan pelaku sepakbola itu sendiri. Dengan kata lain, tidak bakal ada asap kalau tak ada api.
Berkaitan dengan kerusuhan atau bentrokan yang terjadi di lapangan sepakbola yang akan dikedepankan di sini adalah benar atau tidaknya kesalahan dilakukan oleh wasit maka dalam suatu pertandingan wasit harus dihormati. Kalau pun seorang wasit salah atau dinilai tidak adil dalam memimpin jalannya pertandingan maka sudah ada pihak yang akan mengadilinya, sehingga tidak perlu dihakimi oleh pihak lain. Wasit juga manusia biasa yang bisa saja salah.
Mereka yang sudah memahami falsafah pertandingan, yaitu bisa menerima kemenangan dan bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, pasti hanya bisa mengelu-elus dada melihat kejadian memalukan di Stadion Brawijaya tersebut. Tetapi yang jelas, di bumi Indonesia ini masih banyak orang yang bercita-cita agar sepakbola Indonesia maju dari segala aspek, mulai prestasi tim nasional hingga kompetisinya. Hanya untuk bisa mencapai itu dibutuhkan kesabaran dan keberanian mengambil risiko yang terberat sekalipun. Semua itu diperlukan untuk menjadikan sepakbola nasional membanggakan dan sebagai hiburan yang tidak pernah membosankan.
Suara Pembaruan