Indonesia bakal masuk dalam buku rekor dunia (Guinness World Records) 2008 yang dirilis September tahun ini. Sayang, rekor yang diukir kali ini memalukan karena disebut sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.
Indonesia dianggap negara dengan tingkat kehancuran hutan paling cepat di antara 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen dari luas hutan di dunia.
"Tentu ini sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan," kata Hapsoro, juru kampanye hutan
Green Peace Asia Tenggara, kepada wartawan di Hotel Millenium Jakarta, kemarin. Green Peace-lah yang mengirimkan surat resmi ke Guinness World Records tentang kondisi hutan di Indonesia.
"Ternyata direspons cepat. Minggu lalu mereka memberikan konfirmasi dan rekor itu akan muncul dalam buku rekor dunia 2008 yang diluncurkan September tahun ini," jelasnya.
Sertifikat untuk rekor itu kemarin ditunjukkan kepada wartawan. Tertulis dalam sertifikat itu: Of the 44 countries which collectively account for 90 per cent of the world's forests, the country which pursues the highest annual rate of deforestation is Indonesia with 1,8 million ha ( 4.447.896 acres) of forest destroyed each year between 2000-2005; a rate of 2 per cent annually or 51 km2 (20 miles2) destroyed every day.
(Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, negara yang laju deforestasi tahunan tertinggi di dunia adalah Indonesia, dengan 1,8 juta hektare hutan dihancurkan per tahun antara 2000 hingga 2005. Ini setara dengan kehancuran hutan 2 persen setiap tahun, atau 51 kilometer persegi per hari).
Indonesia dianggap negara dengan tingkat kehancuran hutan paling cepat di antara 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen dari luas hutan di dunia.
"Tentu ini sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan," kata Hapsoro, juru kampanye hutan
Green Peace Asia Tenggara, kepada wartawan di Hotel Millenium Jakarta, kemarin. Green Peace-lah yang mengirimkan surat resmi ke Guinness World Records tentang kondisi hutan di Indonesia.
"Ternyata direspons cepat. Minggu lalu mereka memberikan konfirmasi dan rekor itu akan muncul dalam buku rekor dunia 2008 yang diluncurkan September tahun ini," jelasnya.
Sertifikat untuk rekor itu kemarin ditunjukkan kepada wartawan. Tertulis dalam sertifikat itu: Of the 44 countries which collectively account for 90 per cent of the world's forests, the country which pursues the highest annual rate of deforestation is Indonesia with 1,8 million ha ( 4.447.896 acres) of forest destroyed each year between 2000-2005; a rate of 2 per cent annually or 51 km2 (20 miles2) destroyed every day.
(Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, negara yang laju deforestasi tahunan tertinggi di dunia adalah Indonesia, dengan 1,8 juta hektare hutan dihancurkan per tahun antara 2000 hingga 2005. Ini setara dengan kehancuran hutan 2 persen setiap tahun, atau 51 kilometer persegi per hari).
Data tersebut berdasarkan laporan FAO, Global Forest Resources Assessment 2005.
Hapsoro menjelaskan, deforestasi (penurunan luas hutan) yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga hal utama. Yakni illegal logging, legal logging, dan kebakaran hutan. "Jelas, selain pembalakan liar, hancurnya hutan karena penebangan yang mendapat izin pemerintah melalui HPH (hak pengelolaan hutan) dan HTI (hutan tanaman industri)," paparnya.
Juru kampanye hutan Green Peace lainnya, Bustar Maitar, menambahkan, deforestasi yang tinggi juga memberikan dampak pada sumbangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang mengakibatkan pemanasan global. Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga dunia penyumbang emisi GRK terbesar di bawah Amerika Serikat dan Tiongkok. Sebesar 25 persen dari emisi GRK disebabkan oleh pembukaan lahan hutan.
Jika dibiarkan, lanjut Bustar, dalam waktu 50 tahun hutan di Indonesia akan habis. "Biodiversitas yang kita miliki juga akan hilang secara perlahan," katanya.
Karena itu, Green Peace meminta pemerintah menahan laju kehancuran hutan tersebut melalui penghentian penebangan sementara (moratorium) . Dijelaskan Hapsoro, selama masa istirahat tebang, pemerintah juga harus melakukan upaya lain. Di antaranya meninjau kembali status hutan di Indonesia, memperkuat penegakan hukum, meninjau tata ruang kehutanan, dan mengkaji status keanekaragaman hayati.
Berapa lama waktu istirahat itu? Menurut Bustar, yang terpenting bukan lamanya, melainkan langkah-langkah yang dilakukan selama pemberlakuan moratorium. "Penanaman kembali yang dilakukan pemerintah memang penting. Tapi, perlu dipastikan bahwa pohon itu benar-benar hidup," terangnya. (fal)
Tulisan Dari JawaPos