Dalam etika pergaulan senantiasa terbukti bahwa hanya dalam harmoni yang baik, dalam skala masyarakat kecil keluarga maupun publik dan bisnis, maka rasa saling mempercayai dapat tumbuh secara langgeng.
Hal itu sangat esensial, apalagi dalam keterbatasan lingkungan hidup dan upaya interaksi, serta inter-relasi dalam harmoni, respek terhadap sesama, dan tetap menghayati budaya rasa malu (shame culture) kalau sampai bertindak tanpa berperikemanusiaan. Misalnya, apa seseorang masih memiliki budaya rasa malu saat berbuta hati nurani dengan memberi karena terpaksa atau bahkan menerima uang pelicin yang termasuk tindak korupsi?
Sekalipun tidak ekspilisit, semua pihak yang ingin membangun saling percaya dalam era keterbukaan masyarakat berskala kecil sampai internasional pun semakin sulit dan rumit. Hal yang seringkali menonjol adalah saling mencurigai (mutual distrust), antar-pelaku bisnis, antar-pelaku dengan birokrasi dan antar-masyarakat pasar dengan bisnis, walau dipolesi senyum simpul.
Bila menelaah ke sejumlah dasar kehidupan manusia, maka langkah utamanya adalah mereformasi diri, tanpa banyak gebyar-gebyar atau publisitas polesan . Mungkinkah dari perilaku saling mencurigai membangun rangkaian saling mempercayai (from a series of distrust to a network of trust) juga dalam antar-relasi dan interaksi sisi persediaan supply side dan sisi permintaan demand side ekonomi?
Banyak orang/pihak di negeri ini agaknya harus mau menyadari bahwa perilaku yang salah (misconducts) dari kalangan para politisi dan birokrat, seperti terungkapnya serangkaian skandal dalam perusahaan yang menggejala tidak hanya di negara maju bukanlah yang patut ditiru.
Dalam era yang banyak didengung-dengungkan sebagai era globalisasi dengan arah gejala mendunia, maka yang paling jelas adalah bahwa globalisasi tidak berarti uniformitas menurut tafsiran pencetusnya istilah tersebut, yakni kalangan elit Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi teori mereka, maka istilah kebajikan, moralitas, sistem nilai dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah (seperate meanings), dan budaya malu tidak ada dalam kamus Barat.
Hal itu berbeda dengan pemahaman Asia Timur, Jepang, China, Korea dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia, yang selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar budayanya. Jelas terlihat bahwa di AS umumnya tidak ada budaya dasar malu layaknya di Asia.
Dalam keadaan ketidakteraturan dan atau ketakutan tersembunyi (hidden fear), maka isunya adalah apakah individualisme yang sehat dapat tumbuh berkelanjutan? Sekalipun terungkap bahwa pemahaman yang sehat sebagai tanggapan, tetapi hanya beberapa anggota masyarakat yang memahami dan menjadikan kenyataan dalam perilaku kesehariannya. Oleh karena, istilah individualisme menurut interpretasi Barat ala AS berbeda makna dengan masyarakat di Timur atau Benua Asia.
Masyarakat Barat, khususnya AS, menafsirkan individualisme dalam aslinya sebagai suatu keseimbangan antara hak hak dasar invidual akan kebebasan (liberty), persamaan (equality) dan tanggung jawab publik. Jadi, bagi mereka akar dasar gotong royong juga dalam interaksi dan antar-relasi ekonomi supply side dan demand side tidak dikenal, karena dalam tafsiran individualisme Barat yang baku adalah liberalisme, dan kini menjadi neo-liberalisme politik/ekonomi.
Merasionalkan egoisme Barat mereka tafsirkan sebagai "untuk saya dulu untungnya dan manfaatnya, anda nanti-nanti saja, atau anda biar menderita saja". Apakah hal tersebut, yang juga menggejala di negeri ini, dapat biarkan dalam masyarakat kota hingga menjalar ke pinggiran kota (sub-urbans) dan desa?
Jika menelusuri sikap hidup (way of life) dan falsafah hidup masyarakat China dan Jepang, maka ada falsafah kuno Konfusianisme yang berasal dari China yang termasuk banyak diserap para pendidik besar Jepang, seperti Baigan Ishido yang hidup dalam eranya Edo (1600-1867). Ishido memperjelas konsep "rinri" yang jiwanya dari China kuno. Konfusianisme di Jepang dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam keseharian bisnis. Ishida menunjuk tegas pada petuah "seorang pengusaha sejati harus memperoleh laba untuk dirinya dan untuk orang lain". Jadi, bagi mereka bukan egoistik dasarnya.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang meskipun tidak eksplisit. Hal yang terhitung dalam "rinri" adalah pemahaman Jepang tentang respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis antara pengusaha dan masyarakat pasar. Pada gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas sebagai manusia yang minimal sekali (minimum quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam hidup sebagai banyak dipraktekkan Barat sangat berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life) China dan Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam berbisnis merupakan kesalahan fatal. Konfusius mengungkapkan secara halus: "kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya" (the real fault is to have faults and not to amend it).
Dalam lokasi pasar yang makin meluas, maka tenggang rasa pada orang lain merupakan salah satu kunci berbisnis yang lebih bermutu. Namun, realita dunia yang makin terbuka menggugat diri setiap individu, terutama yang hidup di kawawan kota dan pinggiran kota. Bagaimana pun, semuanya membangun prospek individualisme yang menjunjung tinggi harmoni dan etika dalam era globalisasi dan inovasi yang serba cepat. Jelas tidak ada tanggapan atau jawaban yang "instan" sifatnya.
Dengan kata lain, salah satu hal yang perlu diingat bahwa budaya kebarat-baratan makin banyak dilandasi mistrust, curiga dan mau menang sendiri. Selain itu, para pemimpin bisnis dan publik harus berani membangun kembali sikap pandang saling mempercayai sebagai peranan dan tanggung jawab/kewajiban sosial. Melalui sikap pandang itulah, maka masyarakat yang dilayani merasa dipercayai dan sebagai timbal baliknya mempercayai mutu pemimpin yang jauh dari segala manuver tidak etis. (*)
*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi dan Bisnis Asia; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).
Hal itu sangat esensial, apalagi dalam keterbatasan lingkungan hidup dan upaya interaksi, serta inter-relasi dalam harmoni, respek terhadap sesama, dan tetap menghayati budaya rasa malu (shame culture) kalau sampai bertindak tanpa berperikemanusiaan. Misalnya, apa seseorang masih memiliki budaya rasa malu saat berbuta hati nurani dengan memberi karena terpaksa atau bahkan menerima uang pelicin yang termasuk tindak korupsi?
Sekalipun tidak ekspilisit, semua pihak yang ingin membangun saling percaya dalam era keterbukaan masyarakat berskala kecil sampai internasional pun semakin sulit dan rumit. Hal yang seringkali menonjol adalah saling mencurigai (mutual distrust), antar-pelaku bisnis, antar-pelaku dengan birokrasi dan antar-masyarakat pasar dengan bisnis, walau dipolesi senyum simpul.
Bila menelaah ke sejumlah dasar kehidupan manusia, maka langkah utamanya adalah mereformasi diri, tanpa banyak gebyar-gebyar atau publisitas polesan . Mungkinkah dari perilaku saling mencurigai membangun rangkaian saling mempercayai (from a series of distrust to a network of trust) juga dalam antar-relasi dan interaksi sisi persediaan supply side dan sisi permintaan demand side ekonomi?
Banyak orang/pihak di negeri ini agaknya harus mau menyadari bahwa perilaku yang salah (misconducts) dari kalangan para politisi dan birokrat, seperti terungkapnya serangkaian skandal dalam perusahaan yang menggejala tidak hanya di negara maju bukanlah yang patut ditiru.
Dalam era yang banyak didengung-dengungkan sebagai era globalisasi dengan arah gejala mendunia, maka yang paling jelas adalah bahwa globalisasi tidak berarti uniformitas menurut tafsiran pencetusnya istilah tersebut, yakni kalangan elit Amerika Serikat (AS). Dalam tradisi teori mereka, maka istilah kebajikan, moralitas, sistem nilai dan etika, dari individu memberi makna yang terpisah (seperate meanings), dan budaya malu tidak ada dalam kamus Barat.
Hal itu berbeda dengan pemahaman Asia Timur, Jepang, China, Korea dan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia, yang selama berabad-abad mengetengahkan bahwa budaya malu sudah mendasar budayanya. Jelas terlihat bahwa di AS umumnya tidak ada budaya dasar malu layaknya di Asia.
Dalam keadaan ketidakteraturan dan atau ketakutan tersembunyi (hidden fear), maka isunya adalah apakah individualisme yang sehat dapat tumbuh berkelanjutan? Sekalipun terungkap bahwa pemahaman yang sehat sebagai tanggapan, tetapi hanya beberapa anggota masyarakat yang memahami dan menjadikan kenyataan dalam perilaku kesehariannya. Oleh karena, istilah individualisme menurut interpretasi Barat ala AS berbeda makna dengan masyarakat di Timur atau Benua Asia.
Masyarakat Barat, khususnya AS, menafsirkan individualisme dalam aslinya sebagai suatu keseimbangan antara hak hak dasar invidual akan kebebasan (liberty), persamaan (equality) dan tanggung jawab publik. Jadi, bagi mereka akar dasar gotong royong juga dalam interaksi dan antar-relasi ekonomi supply side dan demand side tidak dikenal, karena dalam tafsiran individualisme Barat yang baku adalah liberalisme, dan kini menjadi neo-liberalisme politik/ekonomi.
Merasionalkan egoisme Barat mereka tafsirkan sebagai "untuk saya dulu untungnya dan manfaatnya, anda nanti-nanti saja, atau anda biar menderita saja". Apakah hal tersebut, yang juga menggejala di negeri ini, dapat biarkan dalam masyarakat kota hingga menjalar ke pinggiran kota (sub-urbans) dan desa?
Jika menelusuri sikap hidup (way of life) dan falsafah hidup masyarakat China dan Jepang, maka ada falsafah kuno Konfusianisme yang berasal dari China yang termasuk banyak diserap para pendidik besar Jepang, seperti Baigan Ishido yang hidup dalam eranya Edo (1600-1867). Ishido memperjelas konsep "rinri" yang jiwanya dari China kuno. Konfusianisme di Jepang dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tetapi juga dalam keseharian bisnis. Ishida menunjuk tegas pada petuah "seorang pengusaha sejati harus memperoleh laba untuk dirinya dan untuk orang lain". Jadi, bagi mereka bukan egoistik dasarnya.
Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang meskipun tidak eksplisit. Hal yang terhitung dalam "rinri" adalah pemahaman Jepang tentang respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis antara pengusaha dan masyarakat pasar. Pada gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas sebagai manusia yang minimal sekali (minimum quality of a human being).
Keberingasan dan kekejaman dalam hidup sebagai banyak dipraktekkan Barat sangat berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life) China dan Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam berbisnis merupakan kesalahan fatal. Konfusius mengungkapkan secara halus: "kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya" (the real fault is to have faults and not to amend it).
Dalam lokasi pasar yang makin meluas, maka tenggang rasa pada orang lain merupakan salah satu kunci berbisnis yang lebih bermutu. Namun, realita dunia yang makin terbuka menggugat diri setiap individu, terutama yang hidup di kawawan kota dan pinggiran kota. Bagaimana pun, semuanya membangun prospek individualisme yang menjunjung tinggi harmoni dan etika dalam era globalisasi dan inovasi yang serba cepat. Jelas tidak ada tanggapan atau jawaban yang "instan" sifatnya.
Dengan kata lain, salah satu hal yang perlu diingat bahwa budaya kebarat-baratan makin banyak dilandasi mistrust, curiga dan mau menang sendiri. Selain itu, para pemimpin bisnis dan publik harus berani membangun kembali sikap pandang saling mempercayai sebagai peranan dan tanggung jawab/kewajiban sosial. Melalui sikap pandang itulah, maka masyarakat yang dilayani merasa dipercayai dan sebagai timbal baliknya mempercayai mutu pemimpin yang jauh dari segala manuver tidak etis. (*)
*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi dan Bisnis Asia; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).