Hasil survey yang digelar YLKI menyatakan 67 % apotik tidak penggunakan tenaga apoteker. Jadi hanya 33 Persen saja apotek yang menggunakan Apoteker.
Berdasarkan pengaduan pelanggan apotek tentang seringnya terjadi penggantian komposisi obat oleh petugas apotek atau pemberian obat yang melebihi dosis, YLKI pun bergerak. Survei digelar. Riset ini dilakukan terhadap pelayanan kefarmasian di 33 apotek di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dengan melibatkan 110 responden. Agar hasilnya oke, survei dilakukan selama dua kali yakni periode Juni-September 2005 dan periode Maret-Mei 2006.
Dari hasil survei YLKI menemukan fakta bahwa beberapa apotek menolak memberikan obat keras karena konsumen harus membeli dengan resep. Padahal obat tersebut termasuk dalam daftar obat wajib apotek (DOA), yang memperingan kocek konsumen.
Yang menarik, hasil survei juga menunjukan hanya 33 persen apotek yang memiliki apoteker. 64 Persen apotek hanya mengandalkan petugas apotek, sedangkan 3 persen apotek hanya dilayani tenaga PKL alias magang. Hal ini jelas mempengaruhi kualitas pelayanan apotek.
"Kualitas pelayanan dengan apoteker akan lebih baik dibandingkan tanpa apoteker," kata staf riset YLKI, Ida Marlinda, dalam jumpa pers di Hotel Maharani, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,
YLKI juga menemukan satu apotek yang tidak menyediakan obat generik. "Masih ada petugas apotek yang mengatakan obat generik kerjanya lambat dan tidak semua apotek paham bahwa obat TBC untuk bulan kedua dapat dibeli tanpa resep dokter," beber Ida.
Hasil survei juga menunjukkan, ada 12 apotek yang petugasnya tidak mampu menjelaskan efek samping suatu obat. Petugas itu malah menyarankan pelanggan untuk bertanya kepada dokter.
"Tingkat kejelasan dalam memberi informasi hanya 64 persen, berarti sekitar 36 persen konsumen masih merasa kabur dalam menerima informasi di apotek. Maka tidak heran jika masih ada konsumen yang lari ke toko obat," ungkap Ida.***(Int.Net) Riau terkini
Berdasarkan pengaduan pelanggan apotek tentang seringnya terjadi penggantian komposisi obat oleh petugas apotek atau pemberian obat yang melebihi dosis, YLKI pun bergerak. Survei digelar. Riset ini dilakukan terhadap pelayanan kefarmasian di 33 apotek di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dengan melibatkan 110 responden. Agar hasilnya oke, survei dilakukan selama dua kali yakni periode Juni-September 2005 dan periode Maret-Mei 2006.
Dari hasil survei YLKI menemukan fakta bahwa beberapa apotek menolak memberikan obat keras karena konsumen harus membeli dengan resep. Padahal obat tersebut termasuk dalam daftar obat wajib apotek (DOA), yang memperingan kocek konsumen.
Yang menarik, hasil survei juga menunjukan hanya 33 persen apotek yang memiliki apoteker. 64 Persen apotek hanya mengandalkan petugas apotek, sedangkan 3 persen apotek hanya dilayani tenaga PKL alias magang. Hal ini jelas mempengaruhi kualitas pelayanan apotek.
"Kualitas pelayanan dengan apoteker akan lebih baik dibandingkan tanpa apoteker," kata staf riset YLKI, Ida Marlinda, dalam jumpa pers di Hotel Maharani, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,
YLKI juga menemukan satu apotek yang tidak menyediakan obat generik. "Masih ada petugas apotek yang mengatakan obat generik kerjanya lambat dan tidak semua apotek paham bahwa obat TBC untuk bulan kedua dapat dibeli tanpa resep dokter," beber Ida.
Hasil survei juga menunjukkan, ada 12 apotek yang petugasnya tidak mampu menjelaskan efek samping suatu obat. Petugas itu malah menyarankan pelanggan untuk bertanya kepada dokter.
"Tingkat kejelasan dalam memberi informasi hanya 64 persen, berarti sekitar 36 persen konsumen masih merasa kabur dalam menerima informasi di apotek. Maka tidak heran jika masih ada konsumen yang lari ke toko obat," ungkap Ida.***(Int.Net) Riau terkini