Brisbane, 23/4 (ANTARA News) - Tim peneliti Universitas New South Wales (UNSW) Australia berhasil mengungkap rahasia komodo (varanus komodoensis) sebagai salah satu "mesin pembunuh" berbahaya, sekalipun gigitan reptilia asal Pulau Komodo itu sama "lemahnya" dengan gigitan kucing.
Keberhasilan tim peneliti Australia dalam mengungkap rahasia kedahsyatan binatang yang memiliki panjang dua hingga tiga meter dan berat hingga 70 kilogram ini didukung oleh prinsip-prinsip teknik yang biasa digunakan dalam uji tabrakan alat transportasi.
Menurut laporan riset UNSW yang diterima ANTARA dari Konsultan Komunikasi Internasional UNSW, Louise Williams, di Brisbane, Rabu, komodo itu bisa dengan mudah membunuh buruannya, termasuk kerbau, tanpa menggunakan kekuatan besar.
Kadal raksasa ini tumbuh menjadi mesin pembunuh yang hebat dengan cara mengangkat rahangnya yang lemah dengan menggunakan otot-otot leher dan badan untuk menarik binatang yang menjadi korbannya pada saat menggigit.
Dengan gigi-gigi tajam dan bergerigi, satu kali gigitan komodo bisa merobek sebungkah daging binatang buruannya dalam sekali sergap.
Peneliti UNSW Dr Stephen Wroe dalam laporan riset itu menjelaskan bagaimana serangan komodo dapat menimbulkan luka serius di tubuh binatang buruannya, termasuk invertebrata, burung, mamalia, termasuk kerbau.
Dalam kondisi binatang buruannya yang terluka, komodo kembali menyantap sebongkah daging, lalu berhenti dan menunggu sampai korbannya mati kehabisan darah, katanya.
Dari penelitian itu terbukti komodo memiliki cara membunuh yang sangat efektif, terutama dibandingkan dengan jenis kucing besar yang harus menggunakan tenaga besar dan beresiko terluka saat mencekik mati buruannya, kata Dr.Wroe.
Ia lantas menganalogikan teknik membunuh komodo dengan hiu putih Australia yang juga suka membiarkan binatang buruannya, seperti anjing laut, mati dengan sendirinya tanpa ia harus mengeluarkan tenaga tambahan.
Dalam hasil penelitian itu, terungkap pula bagaimana tim riset UNSW ini bekerja.
Dalam penelitiannya, mereka menggunakan model-model komputer teknik yang biasa dipakai untuk mengukur kekuatan dalam simulasi uji kecelakaan pesawat terbang, kereta api, maupun mobil.
Mereka membangun apa yang disebut predator digital tiga dimensi sesuai dengan data yang mereka peroleh dari "CT Scan" spesimen komodo milik sebuah meseum.
Untuk pertama kalinya, penelitian ini menghasilkan pengukuran-pengukuran yang akurat tentang bio-mekanik kekuatan gigitan komodo maupun mekanisme makanannya.
Hasil riset ini telah dipublikasi di edisi terbaru "Journal of Anatomy". Populasi reptilia yang pertama kali ditemukan para peneliti Barat tahun 1920 ini perkirakan mencapai 4.000 - 5.000 ekor di habitat aslinya.
Namun, akibat perkembangan kegiatan manusia, eksistensi binatang yang punya kaitan dengan binatang purba 100 juta tahun lalu ini cenderung terdesak.
Perhimpunan Konservasi Alam Internasional (IUCN) kemudian memasukkan komodo ke dalam daftar binatang yang patut dilindungi.
Binatang pemakan daging bangkai ini tahun lalu dilaporkan pernah memangsa seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun di Pulau Komodo kendati kasus ini termasuk kasus langka. (*)
Keberhasilan tim peneliti Australia dalam mengungkap rahasia kedahsyatan binatang yang memiliki panjang dua hingga tiga meter dan berat hingga 70 kilogram ini didukung oleh prinsip-prinsip teknik yang biasa digunakan dalam uji tabrakan alat transportasi.
Menurut laporan riset UNSW yang diterima ANTARA dari Konsultan Komunikasi Internasional UNSW, Louise Williams, di Brisbane, Rabu, komodo itu bisa dengan mudah membunuh buruannya, termasuk kerbau, tanpa menggunakan kekuatan besar.
Kadal raksasa ini tumbuh menjadi mesin pembunuh yang hebat dengan cara mengangkat rahangnya yang lemah dengan menggunakan otot-otot leher dan badan untuk menarik binatang yang menjadi korbannya pada saat menggigit.
Dengan gigi-gigi tajam dan bergerigi, satu kali gigitan komodo bisa merobek sebungkah daging binatang buruannya dalam sekali sergap.
Peneliti UNSW Dr Stephen Wroe dalam laporan riset itu menjelaskan bagaimana serangan komodo dapat menimbulkan luka serius di tubuh binatang buruannya, termasuk invertebrata, burung, mamalia, termasuk kerbau.
Dalam kondisi binatang buruannya yang terluka, komodo kembali menyantap sebongkah daging, lalu berhenti dan menunggu sampai korbannya mati kehabisan darah, katanya.
Dari penelitian itu terbukti komodo memiliki cara membunuh yang sangat efektif, terutama dibandingkan dengan jenis kucing besar yang harus menggunakan tenaga besar dan beresiko terluka saat mencekik mati buruannya, kata Dr.Wroe.
Ia lantas menganalogikan teknik membunuh komodo dengan hiu putih Australia yang juga suka membiarkan binatang buruannya, seperti anjing laut, mati dengan sendirinya tanpa ia harus mengeluarkan tenaga tambahan.
Dalam hasil penelitian itu, terungkap pula bagaimana tim riset UNSW ini bekerja.
Dalam penelitiannya, mereka menggunakan model-model komputer teknik yang biasa dipakai untuk mengukur kekuatan dalam simulasi uji kecelakaan pesawat terbang, kereta api, maupun mobil.
Mereka membangun apa yang disebut predator digital tiga dimensi sesuai dengan data yang mereka peroleh dari "CT Scan" spesimen komodo milik sebuah meseum.
Untuk pertama kalinya, penelitian ini menghasilkan pengukuran-pengukuran yang akurat tentang bio-mekanik kekuatan gigitan komodo maupun mekanisme makanannya.
Hasil riset ini telah dipublikasi di edisi terbaru "Journal of Anatomy". Populasi reptilia yang pertama kali ditemukan para peneliti Barat tahun 1920 ini perkirakan mencapai 4.000 - 5.000 ekor di habitat aslinya.
Namun, akibat perkembangan kegiatan manusia, eksistensi binatang yang punya kaitan dengan binatang purba 100 juta tahun lalu ini cenderung terdesak.
Perhimpunan Konservasi Alam Internasional (IUCN) kemudian memasukkan komodo ke dalam daftar binatang yang patut dilindungi.
Binatang pemakan daging bangkai ini tahun lalu dilaporkan pernah memangsa seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun di Pulau Komodo kendati kasus ini termasuk kasus langka. (*)