Kanker Tenggorokan |
Para ahli di Amerika Serikat baru-baru ini telah berhasil mengembangkan sebuah kamera kecil sebesar pil yang dapat ditelan. Kamera ini digunakan untuk mengambil gambar berkualitas tinggi dan berwarna dalam ruangan tertutup seperti bagian dalam tubuh.
Alat canggih ini telah mulai digunakan untuk mendeteksi gejala-gejala awal kanker esofagus, sejenis kanker yang kini tengah berjangkit di AS.
Kamera yang bakal dipublikasikan dalam jurnal IEEE Transactions on Biomedical Engineering ini telah didesain secara khusus sehingga menempatkan endoskop kecil menjadi sangat nyaman buat pasien.
Selain itu, alat ini pun membuat biaya pemeriksaan menjadi lebih murah ketimbang teknologi yang ada sekarang.
"Teknologi kami benar-benar berbeda dengan yang sudah ada sekarang ini. Alat ini dapat menjadi pijakan untuk endoskopi masa depan," ungkap Eric Seibel, penulis penelitian dari Universitas Washington (UW).
Dalam 30 tahun terakhir, jumlah pasien yang didiagnosa menderita kanker esofagus telah meningkat hingga tiga kali lipat di AS. Esofagus merupakan bagian dari alat pencernaan berupa saluran yang membawa makanan dari kerongkongan ke perut.
Kanker esfagus kerap terjadi setelah pasien mengalami kondisi yang disebut Barrett's esophagus, atau perubahan akibat penipisan dinding esofagus.
Pasien yang mengalami Barrett's esophagus harus segera disembuhkan untuk mencegah terjadinya kanker esofagus yang mematikan. Namun karena pemeriksaan internal masih terbilang mahal, banyak pasien yang tidak mengetahui jika mereka telah mengalami gangguan esofagus hingga akhirnya berubah menjadi kanker.
Padahal jika sudah mencapai tahap kanker, kemungkinan pasien untuk sembuh hanya mencapai 15 persen saja.
Dengan penemuan alat ini, pemeriksaan tentu menjadi mudah dan murah. Endoskop kecil ini seperti halnya sebuah kamera fleksibel yangd apat menjelajahi rongga tubuh langsung menuju kerongkongan,sistem pencernaan,atau pun usus.
Kebanyakan teknik endoskop sekarang hanya mengambil gambar lewat teknik lama di mana setiap bagian kamera merekam bidang gambar berbeda. Alat-alatnya juga kurang praktis dan panjang, yakni berupa kabel fleksibel dengan lebar 9 mm atau sama lebarnya dengan kuku jari tangan. Oleh karena kabel ini lebar, pasien harus menjalani sedasi selama pemeriksaan.
Endoskop canggih yang dikembangkan di UW jelas berbeda. Alat ini hanya terdiri dari sebuah serat optik untuk iluminasi (pencahayaan) dan enam serat optik lainnya untuk mengumpulkan cahaya. Semuanya ini dikemas seperti sebuah pil.
Seibel sendiri adalah relawan pertama yang terlibat dalam pengujian alat ini. Ia mengaku sangat nyaman dan serasa menelan sebuah pil biasa. Penggunaan tether atau semacam tali setipis 1,4 mm pada saat pemeriksaan juga tidak menimbulkan ketidaknyamanan.
Ketika ditelan, arus listrik mengalir melalui endoskop UW dan membuat serat optik ini berfungsi layaknya mata electronis. Pada saat yang sama serat ini berputar dan memproyeksikan cahaya laser merah, hijau dan biru. Proses pencitraan ini kemudian mengkombinasikan seluruh informasi menjadi gambar dua dimensi pada layar.
"Menggunakan alat scan seperti ini murah karena sangat kecil dan tidak membutuhkan anestesi atau sedasi. Prosedurnya pun mudah dan saya membayangkan pemeriksaan ini bisa dilakukan di mall," kata Seibel. (ant/ly)