"Bayar pajak kok malah susah...”. Maksudnya adalah ketika sudah membayar, mereka diribetkan dengan administrasi yang ”rumit” dalam melaporkan pajak yang sudah mereka bayar. Bisa jadi karena hal tersebut, Wajib Pajak akhirnya menjadi merasa enggan untuk membayar pajak. Antrean panjang, itulah potret setiap tanggal 20 setiap bulan jika kita ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimanapun, yang terlihat adalah para Wajib Pajak (WP) yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) masa. Demikian juga setiap tanggal 31 Maret setiap tahun, antrian menjadi jauh lebih panjang oleh Wajib Pajak yang akan menyampaikan SPT pajak tahunan.
Antrean tersebut terjadi karena pada tanggal 20 setiap bulannya dan pada tanggal 31 Maret setiap tahunnya adalah batas akhir pelaporan SPT masa dan SPT tahunan mengacu pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 yang hanya berlaku sampai dengan tahun 2007, karena mulai pada Januari 2008, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengacu pada UU yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Salah satu perubahan yang ada di dalam UU KUP yang terbaru adalah tentang batas waktu penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunnan berikut dendanya ketika terjadi keterlambatan pelaporan SPT. Perbedaannya adalah batas akhir penyampaian SPT Tahunnan yang lebih lama bagi WP Badan dan nilai denda yang jauh lebih tinggi baik untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa maupun Tahunnan.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 dalam pasal 3 ayat (3) huruf a,b,c, meyebutkan bahwa batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak, untuk SPT Tahunan PPh WP OP, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak, dan SPT Tahunan PPh WP badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Selain itu Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud di atas untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 3 ayat (4)).
Sedangkan denda disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2007, yaitu Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak orang pribadi.
Batas akhir waktu penyampaian SPT Tahunan WP Badan dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 diperpanjang 1 (satu) bulan tetapi denda keterlambatan menjadi jauh lebih besar yaitu Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), artinya denda naik menjadi 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian juga denda keterlambatan Penyampaian SPT Masa PPN, naik menjadi 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan UU lama yaitu Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) setiap keterlambatan SPT Masa menjadi Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Terlepas dari seringnya perubahan dalam peraturan perpajakan (tax reform), data menunjukkan bahwa tax ratio (rasio perpajakan) Indonesia masih rendah, baru sebesar 13-13,5 persen. Artinya, usaha memungut pajak Indonesia rendah, masih jauh dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Angka tersebut setara dengan negara kecil, Laos. Untuk menaikkan rasio perpajakan tersebut, penerimaan pajak harus ditingkatkan pada semua lini. (http://www.fiskal.depkeu.go.id).
Informasi tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia rendah. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa tax ratio Indonesia dari tahun ke tahun peningkatannya tidak begitu signifikan, meskipun penyempurnaan dalam bidang perpajakan terus dilakukan?
Antrean yang senantiasa panjang pada batas akhir penyampaian SPT masa dan tahunan merupakan salah satu bukti bahwa WP menjadi malas untuk membayar pajak karena rumitnya administrasi perpajakan di negara ini. Seringkali kita mendengar ungkapan ”bayar pajak kok malah susah...”. Maksudnya adalah ketika sudah membayar, mereka diribetkan dengan administrasi yang ”rumit” dalam melaporkan pajak yang sudah mereka bayar. Bisa jadi karena hal tersebut, Wajib Pajak akhirnya menjadi merasa enggan untuk membayar pajak.
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan bentuk kekecewaan dari WP yang sudah berusaha untuk patuh dengan meyetor pajak, tetapi menjadi bingung sendiri ketika harus melapor.
Fakta demikian menjadikan pajak sebagai fungsi budgetair yaitu pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah menjadi kurang optimal sebagaimana ditunjukkan dengan tax rasio Indonesia yang rendah.
Kondisi tersebut juga diperparah dengan kurangnya rasa percaya (trust) dari masyarakat Indonesia pada pemerintah dalam hal penggunaan dana pajak. Yang mana pajak merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan negara, yaitu sekitar 75 persen, selain sumber penerimaan negara lainnya.
Mengingat begitu pentingnya pajak bagi negara, maka penyempurnaan sistem perpajakan harus senantiasa dilakukan. Negara ini sudah melakukan tax reform secara menyeluruh pada tahun 1983 dan mulai saat itu menerapkan self assesment system, dimana dengan sistem ini anggota masyarakat diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional yaitu dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan harapan administrasi perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat.
Tetapi dalam prakteknya harapan tersebut belum dapat terealisasi dengan baik khususnya mengenai penyederhanaan administrasi perpajakan.
Penyempurnaan sistem yang ada perlu didukung dengan sumber daya memadai, dan sosialisasi kepada masyarakat juga harus sering dilakukan terutama berkaitan dengan perubahan peraturan-peraturan perpajakan.
Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjadikan Wajib Pajak senang dan bangga dalam membayar pajak di negara ini, bukan malah menjadi susah.
Umaimah
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik
Antrean tersebut terjadi karena pada tanggal 20 setiap bulannya dan pada tanggal 31 Maret setiap tahunnya adalah batas akhir pelaporan SPT masa dan SPT tahunan mengacu pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 yang hanya berlaku sampai dengan tahun 2007, karena mulai pada Januari 2008, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengacu pada UU yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Salah satu perubahan yang ada di dalam UU KUP yang terbaru adalah tentang batas waktu penyampaian SPT Masa dan SPT Tahunnan berikut dendanya ketika terjadi keterlambatan pelaporan SPT. Perbedaannya adalah batas akhir penyampaian SPT Tahunnan yang lebih lama bagi WP Badan dan nilai denda yang jauh lebih tinggi baik untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa maupun Tahunnan.
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 dalam pasal 3 ayat (3) huruf a,b,c, meyebutkan bahwa batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak, untuk SPT Tahunan PPh WP OP, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak, dan SPT Tahunan PPh WP badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Selain itu Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud di atas untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Pasal 3 ayat (4)).
Sedangkan denda disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2007, yaitu Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4),
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak orang pribadi.
Batas akhir waktu penyampaian SPT Tahunan WP Badan dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 diperpanjang 1 (satu) bulan tetapi denda keterlambatan menjadi jauh lebih besar yaitu Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), artinya denda naik menjadi 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian juga denda keterlambatan Penyampaian SPT Masa PPN, naik menjadi 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan UU lama yaitu Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) setiap keterlambatan SPT Masa menjadi Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Terlepas dari seringnya perubahan dalam peraturan perpajakan (tax reform), data menunjukkan bahwa tax ratio (rasio perpajakan) Indonesia masih rendah, baru sebesar 13-13,5 persen. Artinya, usaha memungut pajak Indonesia rendah, masih jauh dibandingkan dengan negara tetangga lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Angka tersebut setara dengan negara kecil, Laos. Untuk menaikkan rasio perpajakan tersebut, penerimaan pajak harus ditingkatkan pada semua lini. (http://www.fiskal.depkeu.go.id).
Informasi tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia rendah. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa tax ratio Indonesia dari tahun ke tahun peningkatannya tidak begitu signifikan, meskipun penyempurnaan dalam bidang perpajakan terus dilakukan?
Antrean yang senantiasa panjang pada batas akhir penyampaian SPT masa dan tahunan merupakan salah satu bukti bahwa WP menjadi malas untuk membayar pajak karena rumitnya administrasi perpajakan di negara ini. Seringkali kita mendengar ungkapan ”bayar pajak kok malah susah...”. Maksudnya adalah ketika sudah membayar, mereka diribetkan dengan administrasi yang ”rumit” dalam melaporkan pajak yang sudah mereka bayar. Bisa jadi karena hal tersebut, Wajib Pajak akhirnya menjadi merasa enggan untuk membayar pajak.
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan bentuk kekecewaan dari WP yang sudah berusaha untuk patuh dengan meyetor pajak, tetapi menjadi bingung sendiri ketika harus melapor.
Fakta demikian menjadikan pajak sebagai fungsi budgetair yaitu pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah menjadi kurang optimal sebagaimana ditunjukkan dengan tax rasio Indonesia yang rendah.
Kondisi tersebut juga diperparah dengan kurangnya rasa percaya (trust) dari masyarakat Indonesia pada pemerintah dalam hal penggunaan dana pajak. Yang mana pajak merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan negara, yaitu sekitar 75 persen, selain sumber penerimaan negara lainnya.
Mengingat begitu pentingnya pajak bagi negara, maka penyempurnaan sistem perpajakan harus senantiasa dilakukan. Negara ini sudah melakukan tax reform secara menyeluruh pada tahun 1983 dan mulai saat itu menerapkan self assesment system, dimana dengan sistem ini anggota masyarakat diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional yaitu dengan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan harapan administrasi perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat.
Tetapi dalam prakteknya harapan tersebut belum dapat terealisasi dengan baik khususnya mengenai penyederhanaan administrasi perpajakan.
Penyempurnaan sistem yang ada perlu didukung dengan sumber daya memadai, dan sosialisasi kepada masyarakat juga harus sering dilakukan terutama berkaitan dengan perubahan peraturan-peraturan perpajakan.
Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjadikan Wajib Pajak senang dan bangga dalam membayar pajak di negara ini, bukan malah menjadi susah.
Umaimah
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik