Kehormatan anggota dewan tercederai akibat kelompok band anak muda, Slank. Terutama, karena lirik lagu bertemakan korupsi. Kalau tersinggung, kenapa tak berusaha mempertahankan kehormatan sendiri?
Pisss. Bagi para Slankers, sepotong kata itu tak asing lagi. Kata itu, di sini, sengaja tak ditulis miring. Agar artinya tak melenceng. Pisss dalam konteks ini adalah ajakan damai dari kelompok band yang dikomandoi Bimbim dan Kaka itu.
Agak aneh jika tawaran pisss Slank tak diterima semua pihak. Apalagi, jika yang tak terima itu adalah para wakil rakyat, mereka yang duduk tenang dan senang di Gedung DPR.
Karena apa? Karena lagu-lagu kritis dari Slank mengusik kehormatan anggota dewan nan terhormat itu. Terutama, karena Slank juga menyuarakan kegundahannya tentang korupsi di negeri ini. Dan, salah satu pelaku korupsi itu, dalam lagu tersebut, adalah anggota legislatif. Setidaknya begitulah yang dirasakan anggota dewan.
Irsyad Sudiro, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, tak menunjuk Slank secara frontal. Dia hanya menyebut, “Grup band yang menyampaikan lirik DPR tukang membuat UU, tapi melakukan korupsi. Lirik itu dianggap menyakitkan lembaga dewan,” katanya.
Yang secara langsung merujuk kepada Slank adalah wakil Irsyad, Gayus Lumbuun. “Atas nama kehormatan anggota dewan, kita juga akan mencari penjelasan mendatangi perusahaan rekamannya,” ujar Gayus, politisi PDI Perjuangan itu.
Slank bukanlah grup band, musisi, atau penyanyi pertama yang kritis. Sebelumnya juga sudah banyak seniman musik yang kritis dan melantunkan kritik-kritik sosial lewat syair lagunya. Sebutlah umpamanya Iwan Fals, Leo Kristi, Franky Sahilatua, hingga almarhum Harry Roesli.
Reaksi Irsyad dan Gayus terasa kontradiktif dengan situasi yang ada. Reaksi itu muncul justru saat ada dugaan penyalahgunaan wewenang sejumlah anggota parlemen, termasuk dalam proses legislasi beberapa undang-undang.
Terakhir, dugaan yang muncul adalah empat anggota DPR yang melawat ke London dan beberapa kota utama di dunia dengan menggunakan dana dari Bank Indonesia. Awal Maret tahun lalu, Bomer Pasaribu, Ali Masykur Musa, Andi Rahmat, dan Ganjar Pranowo dikabarkan melawat ke London dan New York atas biasa BI. Hanya Ganjar yang mengakui kunjungan itu benar adanya.
Sebuah laporan yang diungkapkan sejumlah LSM seperti Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Center for Local Government Reform (Celgor), mengungkap dugaan aliran dana BP sebesar Rp2,6 miliar dan US$145.895 kepada anggota parlemen. Bentuknya bisa macam-macam; bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan kesehatan, bantuan kehiatan, bantuan apresiasi dan representasi, bantuan pembahasan RUU, bantuan Badan Kelengkapan dan Komisi XI, bantuan stake holder eksternal.
Menggunakan dana BI bukan kali ini dilakukan anggota parlemen yang terhormat itu. Sebelumnya, juga ada skandal aliran dana BI jilid I. Saat itu, miliaran rupiah dana BI mengalir ke kantong-kantong anggota dewan untuk memuluskan proses UU BI pada periode 1999-2003. Belum lagi ceceran cek di kalangan anggota dewan dalam proses legislasi beberapa waktu lalu yang menghebohkan.
Kasus korupsi di DPR memang rumit. Dia terasa, tapi sulit dibuktikan. Dia tercium, tapi secepat kilat bisa diendapkan. Berbagai kekebalan yang dimiliki anggota dewan, turut menenggelamkannya.
Dalam tataran di bawahnya, skandal korupsi yang dengan mudah dibongkar adalah yang terjadi di tingkat wakil rakyat di daerah. Kini, kabar anggota DPRD yang meringkuk di balik terali besi karena kasus korupsi, bukan lagi kabar yang asing.
Tidaklah mengherankan, jika menjadi wakil rakyat, kini bukan lagi sebuah kewajiban, tapi sebuah pekerjaan, profesi. Dan, inilah profesi dan pekerjaan yang diburu banyak orang setiap lima tahun sekali.
Korupsi yang terjadi di kalangan wakil rakyat, tidak hanya urusan pat-gulipat uang. Korupsi juga terjadi atas waktu. Korupsi juga terjadi atas wewenang berlebihan, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan partai. Yang sangat parah adalah korupsi nurani yang telah dilakukan terhadap yang mereka wakili.
Di tengah himpitan ekonomi rakyat yang makin berat, anggota DPR, juga DPRD I dan II, dengan mudah mengajukan usulan untuk perbaikan kenikmatan mereka. Alasannya macam-macam. Dari urusan mesin cuci, komputer jinjing, jas, hingga perbaikan rumah dinas yang dananya amat mencengangkan. Belum lagi kenaikan tunjangan ini-itu yang nyata-nyata telah mencederai rasa keadilan.
Maka, menjadi ironis jika Irsyad, Gayus, dan juga anggota BK dan DPR justru mempersoalkan hal sepele semacam syair lagu Slank. Lagu-lagu Slank yang kritis, tentulah tak mungkin muncul jika anggota dewan mampu mempertahankan kehormatan diri mereka sendiri.
Jadi, bukanlah dengan balik menyerang tanpa pernah melakukan peninjauan mendalam terhadap nurani masing-masing. Tidak pula ‘menepuk Slank di dulang, terpercik ke muka sendiri’. BPost
Pisss. Bagi para Slankers, sepotong kata itu tak asing lagi. Kata itu, di sini, sengaja tak ditulis miring. Agar artinya tak melenceng. Pisss dalam konteks ini adalah ajakan damai dari kelompok band yang dikomandoi Bimbim dan Kaka itu.
Agak aneh jika tawaran pisss Slank tak diterima semua pihak. Apalagi, jika yang tak terima itu adalah para wakil rakyat, mereka yang duduk tenang dan senang di Gedung DPR.
Karena apa? Karena lagu-lagu kritis dari Slank mengusik kehormatan anggota dewan nan terhormat itu. Terutama, karena Slank juga menyuarakan kegundahannya tentang korupsi di negeri ini. Dan, salah satu pelaku korupsi itu, dalam lagu tersebut, adalah anggota legislatif. Setidaknya begitulah yang dirasakan anggota dewan.
Irsyad Sudiro, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, tak menunjuk Slank secara frontal. Dia hanya menyebut, “Grup band yang menyampaikan lirik DPR tukang membuat UU, tapi melakukan korupsi. Lirik itu dianggap menyakitkan lembaga dewan,” katanya.
Yang secara langsung merujuk kepada Slank adalah wakil Irsyad, Gayus Lumbuun. “Atas nama kehormatan anggota dewan, kita juga akan mencari penjelasan mendatangi perusahaan rekamannya,” ujar Gayus, politisi PDI Perjuangan itu.
Slank bukanlah grup band, musisi, atau penyanyi pertama yang kritis. Sebelumnya juga sudah banyak seniman musik yang kritis dan melantunkan kritik-kritik sosial lewat syair lagunya. Sebutlah umpamanya Iwan Fals, Leo Kristi, Franky Sahilatua, hingga almarhum Harry Roesli.
Reaksi Irsyad dan Gayus terasa kontradiktif dengan situasi yang ada. Reaksi itu muncul justru saat ada dugaan penyalahgunaan wewenang sejumlah anggota parlemen, termasuk dalam proses legislasi beberapa undang-undang.
Terakhir, dugaan yang muncul adalah empat anggota DPR yang melawat ke London dan beberapa kota utama di dunia dengan menggunakan dana dari Bank Indonesia. Awal Maret tahun lalu, Bomer Pasaribu, Ali Masykur Musa, Andi Rahmat, dan Ganjar Pranowo dikabarkan melawat ke London dan New York atas biasa BI. Hanya Ganjar yang mengakui kunjungan itu benar adanya.
Sebuah laporan yang diungkapkan sejumlah LSM seperti Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Center for Local Government Reform (Celgor), mengungkap dugaan aliran dana BP sebesar Rp2,6 miliar dan US$145.895 kepada anggota parlemen. Bentuknya bisa macam-macam; bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan kesehatan, bantuan kehiatan, bantuan apresiasi dan representasi, bantuan pembahasan RUU, bantuan Badan Kelengkapan dan Komisi XI, bantuan stake holder eksternal.
Menggunakan dana BI bukan kali ini dilakukan anggota parlemen yang terhormat itu. Sebelumnya, juga ada skandal aliran dana BI jilid I. Saat itu, miliaran rupiah dana BI mengalir ke kantong-kantong anggota dewan untuk memuluskan proses UU BI pada periode 1999-2003. Belum lagi ceceran cek di kalangan anggota dewan dalam proses legislasi beberapa waktu lalu yang menghebohkan.
Kasus korupsi di DPR memang rumit. Dia terasa, tapi sulit dibuktikan. Dia tercium, tapi secepat kilat bisa diendapkan. Berbagai kekebalan yang dimiliki anggota dewan, turut menenggelamkannya.
Dalam tataran di bawahnya, skandal korupsi yang dengan mudah dibongkar adalah yang terjadi di tingkat wakil rakyat di daerah. Kini, kabar anggota DPRD yang meringkuk di balik terali besi karena kasus korupsi, bukan lagi kabar yang asing.
Tidaklah mengherankan, jika menjadi wakil rakyat, kini bukan lagi sebuah kewajiban, tapi sebuah pekerjaan, profesi. Dan, inilah profesi dan pekerjaan yang diburu banyak orang setiap lima tahun sekali.
Korupsi yang terjadi di kalangan wakil rakyat, tidak hanya urusan pat-gulipat uang. Korupsi juga terjadi atas waktu. Korupsi juga terjadi atas wewenang berlebihan, yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan partai. Yang sangat parah adalah korupsi nurani yang telah dilakukan terhadap yang mereka wakili.
Di tengah himpitan ekonomi rakyat yang makin berat, anggota DPR, juga DPRD I dan II, dengan mudah mengajukan usulan untuk perbaikan kenikmatan mereka. Alasannya macam-macam. Dari urusan mesin cuci, komputer jinjing, jas, hingga perbaikan rumah dinas yang dananya amat mencengangkan. Belum lagi kenaikan tunjangan ini-itu yang nyata-nyata telah mencederai rasa keadilan.
Maka, menjadi ironis jika Irsyad, Gayus, dan juga anggota BK dan DPR justru mempersoalkan hal sepele semacam syair lagu Slank. Lagu-lagu Slank yang kritis, tentulah tak mungkin muncul jika anggota dewan mampu mempertahankan kehormatan diri mereka sendiri.
Jadi, bukanlah dengan balik menyerang tanpa pernah melakukan peninjauan mendalam terhadap nurani masing-masing. Tidak pula ‘menepuk Slank di dulang, terpercik ke muka sendiri’. BPost