Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah gambaran kondisi pemerintah terkait dengan beratnya beban subsidi BBM saat ini. Sebab, saat harga minyak dunia terus meroket hingga lebih dari USD115 per barel, konsumsi BBM bersubsidi di tanah air juga meningkat.Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2008, kuota BBM subsidi ditetapkan 35,5 juta kiloliter (kl). Rinciannya, premium (16,8 juta kl), solar (11 juta kl), dan minyak tanah (7,7 juta kl).
Berdasar data terbaru yang dirilis Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), di antara ketiga jenis BBM bersubsidi itu, konsumsi premium dan solar meningkat. Hanya konsumsi minyak tanah yang menurun.
Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo menyatakan, naiknya tingkat konsumsi BBM dipengaruhi banyak faktor. Misalnya, terus naiknya jumlah kendaraan bermotor. ”Akibatnya jelas, konsumsi premium dan solar ikut naik,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Berdasar data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil periode Januari–Maret mencapai 135.598 unit. Jumlah itu naik 60,7 persen dibandingkan periode yang sama 2007, yakni 84.337 unit. Itu baru mobil. Belum lagi terus melonjaknya jumlah sepeda motor.
Menurut Adi, untuk solar subsidi, konsumsi Januari mencapai 970.694 kl, naik 13,19 persen dibandingkan Januari 2007. Konsumsi Februari 2008 mencapai 822.099 kl, naik 8,1 persen dari Februari 2007. ”Untuk Maret, datanya belum ada,” jelasnya.
Meski demikian, kata dia, jika konsumsi Maret diasumsikan sama dengan Januari, konsumsi solar bersubsidi pada kuartal I 2008 sudah mencapai 2.763.487 kl. ”Itu angka yang besar,” tegasnya.
Sebab, jelas dia, dengan kuota 11 juta kl selama 2008, seharusnya konsumsi solar bersubsidi pada kuartal I tahun ini tidak boleh lebih dari 2.750.000 kl.
Seperti solar, konsumsi premium juga membengkak, dengan konsumsi sepanjang kuartal I 2008 mencapai 4,58 juta kl. Padahal, dengan kuota 16,8 juta kl selama 2008, maksimal konsumsi per kuartal tidak boleh lebih dari 4,2 juta kl.
Adi menyatakan, selain pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, faktor yang memicu naiknya konsumsi premium dan solar adalah beralihnya sebagian konsumen yang sebelumnya mengonsumsi BBM nonsubsidi.
Yakni, dari jenis Pertamax, Pertamax plus, maupun solar Pertamina Dex ke BBM subsidi jenis premium maupun solar. ”Sebab, memang lebih murah,” ujarnya.
Hal tersebut memang masuk akal. Sebab, harga BBM nonsubsidi terus merangkak naik mengikuti harga minyak dunia. Akibatnya, disparitas atau perbedaan harga pun makin lebar. Sebagai gambaran, saat ini, harga Pertamax dan Pertamax plus di Jabodetabek mencapai Rp 8.300 dan Rp 8.600 per liter.
Harga premium masih Rp4.500 per liter. Harga solar Pertamina Dex di Jabodetabek sudah mencapai Rp10.200 per liter, jauh di atas harga solar bersubsidi yang hanya Rp 4.300 per liter.
Selain hal tersebut, kata Adi, salah satu penyebab membengkaknya konsumsi BBM subsidi adalah masih banyaknya penyimpangan penggunaan BBM subsidi.
Menyikapi hal-hal tersebut, kata dia, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah pembengkakan konsumsi BBM adalah mempercepat pelaksanaan program pembatasan konsumsi premium-solar melalui mekanisme smart card. ”Kalau tidak segera dilakukan, diperkirakan kuota akan terlewati,” tegasnya.
Yang agak menggembirakan, jelas Adi, adalah turunnya konsumsi minyak tanah bersubsidi. Menurut dia, konsumsi mitan periode Januari mencapai 812.894 kl, turun 4 persen dibandingkan Januari 2007 yang mencapai 846.815 kl. Februari 2008, konsumsi mencapai 725.798 kl, turun 4,7 persen dibandingkan 2007 sebesar 761.428 kl.
Untuk Maret, konsumsi diprediksi juga turun 4–5 persen. ”Itu karena program konversi elpiji. Insya Allah, untuk minyak tanah, kuota 7,7 juta kl bisa terpenuhi,” ungkapnya.
Terkait dengan pemberlakuan smart card, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono menuturkan, saat ini timnya terus mematangkan rencana tersebut. ”Mudah-mudahan, Juni bisa mulai uji coba,” ujarnya.
Menurut dia, pelaksanaan smart card memang akan dimulai dengan program uji coba selama sebulan. Rencananya, program tersebut diujicobakan di Bali dan Batam. ”Ini sekaligus sebagai pilot project,” ujarnya.
Karena itu, kini sosialisasi difokuskan di wilayah tersebut. Selain menerjunkan langsung tim dari BPH Migas dan Pertamina, Kamis (17 April), BPH Migas mengirimkan surat resmi kepada masing-masing kepala daerah.
Meski demikian, kata Tubagus, saat uji coba nanti, pihaknya belum memberlakukan pembatasan atau kuota konsumsi. ”Tolong ini dicatat,” katanya.
Menurut dia, program uji coba tersebut lebih diarahkan pada sosialisasi serta persiapan infrastruktur. Misalnya, menempelkan smart card di kendaraan-kendaraan dan mengujinya dengan menggunakan card reader saat pengisian BBM di SPBU. ”Kami ingin pastikan sistemnya bisa jalan,” tegasnya.
Tolak Naikkan Produksi
Pernyataan Presiden OPEC Chakib Khelil yang menolak menaikkan tingkat produksi minyak, sehingga memicu lonjakan harga, sebenarnya bukan hal baru. Gubernur OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman menyatakan, keputusan tersebut sebenarnya merupakan kesepakatan saat sidang OPEC di Wina pada Maret lalu.
”Keputusan itulah yang tetap dipegang,” ujarnya kepada Fajar, malam tadi.
Menurut dia, seluruh negara anggota OPEC masih meyakini bahwa lonjakan harga bukanlah disebabkan faktor supply and demand, tapi lebih disebabkan adanya spekulan. ”Sebab, stok dinilai masih cukup,” jelasnya.
Karena itu, langkah menaikkan produksi tidak akan diambil karena dinilai tidak akan banyak berpengaruh. ”Indonesia juga berpikir demikian,” katanya.
Maizar menuturkan, stok dunia saat ini diperkirakan masih di kisaran 4.600 juta barel. Dengan tingkat konsumsi minyak dunia sekitar 85 juta barel per hari, stok tersebut dinilai masih lebih dari cukup.
Karena itu, kata dia, jika OPEC menaikkan produksi, dunia akan mengalami oversupply minyak yang berpotensi menarik harga minyak ke level rendah. ”Hal itu tentu tidak diinginkan OPEC,” tegasnya.
Bahkan, pada kesempatan sebelumnya, Maizar mengungkapkan, dalam internal OPEC pun, kini mulai muncul suara untuk tidak menaikkan produksi, tapi justru menurunkan produksi minyak. ”Itu disuarakan Iran dan Venezuela,” ujarnya.
Meski demikian, kata dia, usul tersebut tampaknya akan sulit diamini negara anggota OPEC lain. Sebab, meski suplai dunia cukup, keputusan untuk mengurangi produksi akan membawa dampak psikologis negatif bagi perekonomian dunia. ”Indonesia tetap memilih mempertahankan produksi,” tegasnya. (owi/el)
Berdasar data terbaru yang dirilis Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), di antara ketiga jenis BBM bersubsidi itu, konsumsi premium dan solar meningkat. Hanya konsumsi minyak tanah yang menurun.
Anggota Komite BPH Migas Adi Subagyo menyatakan, naiknya tingkat konsumsi BBM dipengaruhi banyak faktor. Misalnya, terus naiknya jumlah kendaraan bermotor. ”Akibatnya jelas, konsumsi premium dan solar ikut naik,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Berdasar data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil periode Januari–Maret mencapai 135.598 unit. Jumlah itu naik 60,7 persen dibandingkan periode yang sama 2007, yakni 84.337 unit. Itu baru mobil. Belum lagi terus melonjaknya jumlah sepeda motor.
Menurut Adi, untuk solar subsidi, konsumsi Januari mencapai 970.694 kl, naik 13,19 persen dibandingkan Januari 2007. Konsumsi Februari 2008 mencapai 822.099 kl, naik 8,1 persen dari Februari 2007. ”Untuk Maret, datanya belum ada,” jelasnya.
Meski demikian, kata dia, jika konsumsi Maret diasumsikan sama dengan Januari, konsumsi solar bersubsidi pada kuartal I 2008 sudah mencapai 2.763.487 kl. ”Itu angka yang besar,” tegasnya.
Sebab, jelas dia, dengan kuota 11 juta kl selama 2008, seharusnya konsumsi solar bersubsidi pada kuartal I tahun ini tidak boleh lebih dari 2.750.000 kl.
Seperti solar, konsumsi premium juga membengkak, dengan konsumsi sepanjang kuartal I 2008 mencapai 4,58 juta kl. Padahal, dengan kuota 16,8 juta kl selama 2008, maksimal konsumsi per kuartal tidak boleh lebih dari 4,2 juta kl.
Adi menyatakan, selain pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, faktor yang memicu naiknya konsumsi premium dan solar adalah beralihnya sebagian konsumen yang sebelumnya mengonsumsi BBM nonsubsidi.
Yakni, dari jenis Pertamax, Pertamax plus, maupun solar Pertamina Dex ke BBM subsidi jenis premium maupun solar. ”Sebab, memang lebih murah,” ujarnya.
Hal tersebut memang masuk akal. Sebab, harga BBM nonsubsidi terus merangkak naik mengikuti harga minyak dunia. Akibatnya, disparitas atau perbedaan harga pun makin lebar. Sebagai gambaran, saat ini, harga Pertamax dan Pertamax plus di Jabodetabek mencapai Rp 8.300 dan Rp 8.600 per liter.
Harga premium masih Rp4.500 per liter. Harga solar Pertamina Dex di Jabodetabek sudah mencapai Rp10.200 per liter, jauh di atas harga solar bersubsidi yang hanya Rp 4.300 per liter.
Selain hal tersebut, kata Adi, salah satu penyebab membengkaknya konsumsi BBM subsidi adalah masih banyaknya penyimpangan penggunaan BBM subsidi.
Menyikapi hal-hal tersebut, kata dia, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah pembengkakan konsumsi BBM adalah mempercepat pelaksanaan program pembatasan konsumsi premium-solar melalui mekanisme smart card. ”Kalau tidak segera dilakukan, diperkirakan kuota akan terlewati,” tegasnya.
Yang agak menggembirakan, jelas Adi, adalah turunnya konsumsi minyak tanah bersubsidi. Menurut dia, konsumsi mitan periode Januari mencapai 812.894 kl, turun 4 persen dibandingkan Januari 2007 yang mencapai 846.815 kl. Februari 2008, konsumsi mencapai 725.798 kl, turun 4,7 persen dibandingkan 2007 sebesar 761.428 kl.
Untuk Maret, konsumsi diprediksi juga turun 4–5 persen. ”Itu karena program konversi elpiji. Insya Allah, untuk minyak tanah, kuota 7,7 juta kl bisa terpenuhi,” ungkapnya.
Terkait dengan pemberlakuan smart card, Kepala BPH Migas Tubagus Haryono menuturkan, saat ini timnya terus mematangkan rencana tersebut. ”Mudah-mudahan, Juni bisa mulai uji coba,” ujarnya.
Menurut dia, pelaksanaan smart card memang akan dimulai dengan program uji coba selama sebulan. Rencananya, program tersebut diujicobakan di Bali dan Batam. ”Ini sekaligus sebagai pilot project,” ujarnya.
Karena itu, kini sosialisasi difokuskan di wilayah tersebut. Selain menerjunkan langsung tim dari BPH Migas dan Pertamina, Kamis (17 April), BPH Migas mengirimkan surat resmi kepada masing-masing kepala daerah.
Meski demikian, kata Tubagus, saat uji coba nanti, pihaknya belum memberlakukan pembatasan atau kuota konsumsi. ”Tolong ini dicatat,” katanya.
Menurut dia, program uji coba tersebut lebih diarahkan pada sosialisasi serta persiapan infrastruktur. Misalnya, menempelkan smart card di kendaraan-kendaraan dan mengujinya dengan menggunakan card reader saat pengisian BBM di SPBU. ”Kami ingin pastikan sistemnya bisa jalan,” tegasnya.
Tolak Naikkan Produksi
Pernyataan Presiden OPEC Chakib Khelil yang menolak menaikkan tingkat produksi minyak, sehingga memicu lonjakan harga, sebenarnya bukan hal baru. Gubernur OPEC untuk Indonesia Maizar Rahman menyatakan, keputusan tersebut sebenarnya merupakan kesepakatan saat sidang OPEC di Wina pada Maret lalu.
”Keputusan itulah yang tetap dipegang,” ujarnya kepada Fajar, malam tadi.
Menurut dia, seluruh negara anggota OPEC masih meyakini bahwa lonjakan harga bukanlah disebabkan faktor supply and demand, tapi lebih disebabkan adanya spekulan. ”Sebab, stok dinilai masih cukup,” jelasnya.
Karena itu, langkah menaikkan produksi tidak akan diambil karena dinilai tidak akan banyak berpengaruh. ”Indonesia juga berpikir demikian,” katanya.
Maizar menuturkan, stok dunia saat ini diperkirakan masih di kisaran 4.600 juta barel. Dengan tingkat konsumsi minyak dunia sekitar 85 juta barel per hari, stok tersebut dinilai masih lebih dari cukup.
Karena itu, kata dia, jika OPEC menaikkan produksi, dunia akan mengalami oversupply minyak yang berpotensi menarik harga minyak ke level rendah. ”Hal itu tentu tidak diinginkan OPEC,” tegasnya.
Bahkan, pada kesempatan sebelumnya, Maizar mengungkapkan, dalam internal OPEC pun, kini mulai muncul suara untuk tidak menaikkan produksi, tapi justru menurunkan produksi minyak. ”Itu disuarakan Iran dan Venezuela,” ujarnya.
Meski demikian, kata dia, usul tersebut tampaknya akan sulit diamini negara anggota OPEC lain. Sebab, meski suplai dunia cukup, keputusan untuk mengurangi produksi akan membawa dampak psikologis negatif bagi perekonomian dunia. ”Indonesia tetap memilih mempertahankan produksi,” tegasnya. (owi/el)