Tak kunjung bisa tidur hingga tengah malam? Jangan dulu menyimpulkan terserang insomnia. Apalagi lalu panik dan memutuskan minum obat tidur. Mengenali siklus tidur lebih bermanfaat untuk mendapatkan tidur berkualitas.
Menurut dr Rasrinam Rasyad SpS, spesialis saraf dari Rumah Sakit dr M Hoesin (RSMH) Palembang makhluk hidup di dunia memiliki pola tidur berbeda-beda, termasuk manusia. “Karena tidur merupakan siklus alami, sejatinya orang tidak bisa melawan kehendak tubuh untuk tidur. Kalaupun ada keperluan untuk begadang, kemampuan tubuh bertahan tidak tidur maksimal hanya dua hari,” urai Rasrinam.
Pembentukan siklus tidur, menurut Rasrinam, dipengaruhi dua hal, yakni lingkungan dan kebiasaan sosial. Di Indonesia, karena panjang siang dan malam seimbang, kebiasaan tidur terbentuk pada malam hari. Di Amerika, orang tidak harus menunggu gelap untuk memulai tidur.
Di beberapa daerah, lanjut dia, ada tradisi yang dibentuk masyarakat untuk memulai tidur. Orang Betawi, misalnya, suka tiduran di balai-balai depan rumah sebelum akhirnya tidur di dalam rumah. “Orang Belanda minum susu sebelum tidur,” kata Rasrinam.
Selain siklus tidur, masih menurut Rasrinam, kebutuhan tidur juga harus diperhatikan. Kebutuhan tidur tiap kelompok usia berbeda-beda. Jadi, penggolongan gangguan tidur pun berbeda. Bayi membutuhkan waktu 13-16 jam sehari untuk tidur. Anak butuh 8-12 jam tidur. Orang dewasa hanya butuh 6-9 jam tidur, sedangkan lansia 5-8 jam per hari. “Kuantitas itu dicukupi dari kombinasi tidur siang dan malam, bukan hanya tidur malam,” jelas Rasrinam.
Rasrinam menambahkan, ada dua tahap yang harus dilalui dalam tidur, yakni tahap non-REMS dan REMS. Rapid Eye Movements Sleep (REMS) adalah tahap paradoxal sleep. Pada tahap ini, tonus otot meninggi lagi setelah menuju titik paling lemas saat tubuh menjalani tahap non-REMS.
Tahap non-REMS dibagi lagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, otot mulai melemas, kelopak mata bergerak bolak-balik. Tahap kedua, bola mata berhenti bergerak, tapi tonus otot masih terpelihara. Tahap ketiga dan keempat, fisik lemas lunglai dan tonus otot sangat rendah.
”Bila dilakukan rekam otak atau EEG pada tahap satu, dua, dan tiga, akan terbaca adanya gelombang tidur. Sedangkan pada tahap empat, tidak terbaca adanya gelombang tidur,” jelas Rasrinam.
Ditambahkan, tidur bisa dikatakan berkualitas jika REMS dan non-REMS terjadi berselang-seling 4-6 kali. Mencapai tidur berkualitas sangat penting bagi tubuh. Sebab, tidur bisa menjadi perilaku perlindungan bagi tubuh. Tidur juga bisa menjadi sarana perawatan energi tubuh. Demikian pula otak, memerlukan istirahat untuk membangun kembali sel-selnya. “Tidur juga penting untuk membentuk mekanisme keseimbangan dan kekebalan tubuh,” tuturnya.
Kesulitan memulai tidur, menurut Rasrinam, masuk pada tahap non-REMS. Kekurangan fase ini bisa mengakibatkan tubuh lemas dan tidak gesit saat bangun. Penyebabnya bermacam-macam. “Bisa jadi Anda sudah cukup tidur pada siang hari sehingga tubuh tidak mau diajak tidur pada malam hari,” terangnya.
Karena gelisah tidak bisa segera tidur, lanjut Rasrinam, pikiran macam-macam bisa saja muncul. Kondisi itu sering membuat orang merasa terserang insomnia. “Kalau kita paham ritme tidur, kegelisahan itu sebetulnya tidak perlu muncul. Tetaplah tenang. Lakukan kegiatan berguna, misalnya membaca, agar tidak muncul gangguan lain,” ujarnya.
Penggunaan obat tidur, ingat dia, tidak dianjurkan tanpa petunjuk dokter. Jika kesulitan tidur terjadi karena masih ada persoalan yang belum dipecahkan, Rasrinam menganjurkan supaya penderita menyelesaikan persoalan tersebut. Bila gangguan tidur disebabkan penyakit yang sedang diderita, dia menyarankan agar penyakit itu disembuhkan supaya tidak mengganggu tidur.
”Obat tidur bukan solusi. Bukankah tubuh memang butuh tidur? Mengenal kebutuhan tidur akan lebih efektif untuk mendapatkan tidur yang berkualitas,”.
Sumber : Sumeks
Menurut dr Rasrinam Rasyad SpS, spesialis saraf dari Rumah Sakit dr M Hoesin (RSMH) Palembang makhluk hidup di dunia memiliki pola tidur berbeda-beda, termasuk manusia. “Karena tidur merupakan siklus alami, sejatinya orang tidak bisa melawan kehendak tubuh untuk tidur. Kalaupun ada keperluan untuk begadang, kemampuan tubuh bertahan tidak tidur maksimal hanya dua hari,” urai Rasrinam.
Pembentukan siklus tidur, menurut Rasrinam, dipengaruhi dua hal, yakni lingkungan dan kebiasaan sosial. Di Indonesia, karena panjang siang dan malam seimbang, kebiasaan tidur terbentuk pada malam hari. Di Amerika, orang tidak harus menunggu gelap untuk memulai tidur.
Di beberapa daerah, lanjut dia, ada tradisi yang dibentuk masyarakat untuk memulai tidur. Orang Betawi, misalnya, suka tiduran di balai-balai depan rumah sebelum akhirnya tidur di dalam rumah. “Orang Belanda minum susu sebelum tidur,” kata Rasrinam.
Selain siklus tidur, masih menurut Rasrinam, kebutuhan tidur juga harus diperhatikan. Kebutuhan tidur tiap kelompok usia berbeda-beda. Jadi, penggolongan gangguan tidur pun berbeda. Bayi membutuhkan waktu 13-16 jam sehari untuk tidur. Anak butuh 8-12 jam tidur. Orang dewasa hanya butuh 6-9 jam tidur, sedangkan lansia 5-8 jam per hari. “Kuantitas itu dicukupi dari kombinasi tidur siang dan malam, bukan hanya tidur malam,” jelas Rasrinam.
Rasrinam menambahkan, ada dua tahap yang harus dilalui dalam tidur, yakni tahap non-REMS dan REMS. Rapid Eye Movements Sleep (REMS) adalah tahap paradoxal sleep. Pada tahap ini, tonus otot meninggi lagi setelah menuju titik paling lemas saat tubuh menjalani tahap non-REMS.
Tahap non-REMS dibagi lagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, otot mulai melemas, kelopak mata bergerak bolak-balik. Tahap kedua, bola mata berhenti bergerak, tapi tonus otot masih terpelihara. Tahap ketiga dan keempat, fisik lemas lunglai dan tonus otot sangat rendah.
”Bila dilakukan rekam otak atau EEG pada tahap satu, dua, dan tiga, akan terbaca adanya gelombang tidur. Sedangkan pada tahap empat, tidak terbaca adanya gelombang tidur,” jelas Rasrinam.
Ditambahkan, tidur bisa dikatakan berkualitas jika REMS dan non-REMS terjadi berselang-seling 4-6 kali. Mencapai tidur berkualitas sangat penting bagi tubuh. Sebab, tidur bisa menjadi perilaku perlindungan bagi tubuh. Tidur juga bisa menjadi sarana perawatan energi tubuh. Demikian pula otak, memerlukan istirahat untuk membangun kembali sel-selnya. “Tidur juga penting untuk membentuk mekanisme keseimbangan dan kekebalan tubuh,” tuturnya.
Kesulitan memulai tidur, menurut Rasrinam, masuk pada tahap non-REMS. Kekurangan fase ini bisa mengakibatkan tubuh lemas dan tidak gesit saat bangun. Penyebabnya bermacam-macam. “Bisa jadi Anda sudah cukup tidur pada siang hari sehingga tubuh tidak mau diajak tidur pada malam hari,” terangnya.
Karena gelisah tidak bisa segera tidur, lanjut Rasrinam, pikiran macam-macam bisa saja muncul. Kondisi itu sering membuat orang merasa terserang insomnia. “Kalau kita paham ritme tidur, kegelisahan itu sebetulnya tidak perlu muncul. Tetaplah tenang. Lakukan kegiatan berguna, misalnya membaca, agar tidak muncul gangguan lain,” ujarnya.
Penggunaan obat tidur, ingat dia, tidak dianjurkan tanpa petunjuk dokter. Jika kesulitan tidur terjadi karena masih ada persoalan yang belum dipecahkan, Rasrinam menganjurkan supaya penderita menyelesaikan persoalan tersebut. Bila gangguan tidur disebabkan penyakit yang sedang diderita, dia menyarankan agar penyakit itu disembuhkan supaya tidak mengganggu tidur.
”Obat tidur bukan solusi. Bukankah tubuh memang butuh tidur? Mengenal kebutuhan tidur akan lebih efektif untuk mendapatkan tidur yang berkualitas,”.
Sumber : Sumeks