Akhir Bulan ini adalah hari terakhir pelaporan pajak bagi wajib pajak orang pribadi. Di kantorkupun sudah disosialisasikan kepada masing-masing karyawan akan keharusan melapor pajaknya. Dan sekarang teman-temanku itu sedang sibuk mengisi form SPT untuk melaporkan pajaknya. Dari hasil pengamatan saya, banyak yang cuek, tidak tahu menahu, bahkan kenal saja tidak.
Saya masih ragu apakah hanya karyawan diperusahaan saya saja yang begini, maka saya coba tanya teman-teman saya yang bekerja di tempat lain. Dan benar adanya, kebanyakan dari mereka tidak tahu. Dan lucunya lagi kebanyakan dari mereka adalah Sarjana Ekonomi yang notabene pernah belajar matakuliah perpajakan.
Dari pengamatan sederahana saya itu saya berani menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum paham mengenai perpajakan, apalagi disuruh mengisi SPT Pajak yang sarat dengan peraturan perundang-undangan, akuntansi, dan dalil-dalil hukum.
Menurut saya sebenarnya caranya sangat gampang sekali, jika kita malas konsultasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kita bisa mendownload cara-caranya di Internet, buku-buku mengenai perpajakanpun sudah sangat banyak sekali. Asal ada niat pasti bisa.
Keyakinan saya ini pasti tidak hanya berkaitan dengan pelaporan saja, tapi juga dengan pembayaran/penyetoran pajaknya. Kalau lapor saja (yang gampang) malas/tidak mau pasti membayar pajak juga tidak mau.
Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi wajib pajak masih sangat rendah. Suatu saat saya pernah berbincang dengan salah satu teman mengenai pajak, teman saya berkata: “Jaman Dirjen Pajak sekarang tingkat penerimaan pajak lebih jelek di banding pejabat sebelumnya” lantas saya menjawab: “Kenapa?”. “karena pejabat yang sekarang ga tegas, biasa… dari akademisi”.
Saya kurang paham apa hubungan akademisi dengan penerimaan pajak, namun satu hal yang saya tangkap dari perbincangan itu adalah “ketegasan”. Pajak sangat erat kaitannya dengan kontraprestasi atau kata lainnya pemaksaan. Apa karena manusia tidak suka dipaksa maka dia enggan menurut sama yang memaksa?. Namun meskipun demikian system perpajakan Negara kita sebenarnya sudah cukup baik dengan menggunakan self assessment, artinya pemerintah memberikan kepercayaan kepada si wajib pajak untuk melaporkan sendiri pajaknya. Artinya tidak terlalu memaksa kok, tetapi masih saja banyak yang cuek. Mungkinkah harus seperti zaman kerajaan dulu, yang mengharuskan rakyat membayar upeti kepada raja dengan paksaan?
Bagaimanapun ini PR kita bersama, tanpa Pajak Negara kita tidak dapat dibiayai: tidak ada yang membangun insfrastruktur, tidak ada yang membayar gaji PNS, TNI, dan Polri, tidak ada yang mensubsidi BBM dan kebutuhan pokok lainnya. Kalau semua itu tidak dapat dibiayai dampaknya pasti akan merembet kemana mana (multiplier effect). Ihh…. Serem kalau itu sampai terjadi.
Maka tugas kitalah secara berantai mensosialisakan ketentuan dan tatacara perpajakan ini kepada rakan-rekan yang lain. Jangan hanya berserah kepada pemerintah atau pegawai pajak.
Harry Simbolon
Saya masih ragu apakah hanya karyawan diperusahaan saya saja yang begini, maka saya coba tanya teman-teman saya yang bekerja di tempat lain. Dan benar adanya, kebanyakan dari mereka tidak tahu. Dan lucunya lagi kebanyakan dari mereka adalah Sarjana Ekonomi yang notabene pernah belajar matakuliah perpajakan.
Dari pengamatan sederahana saya itu saya berani menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih belum paham mengenai perpajakan, apalagi disuruh mengisi SPT Pajak yang sarat dengan peraturan perundang-undangan, akuntansi, dan dalil-dalil hukum.
Menurut saya sebenarnya caranya sangat gampang sekali, jika kita malas konsultasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kita bisa mendownload cara-caranya di Internet, buku-buku mengenai perpajakanpun sudah sangat banyak sekali. Asal ada niat pasti bisa.
Keyakinan saya ini pasti tidak hanya berkaitan dengan pelaporan saja, tapi juga dengan pembayaran/penyetoran pajaknya. Kalau lapor saja (yang gampang) malas/tidak mau pasti membayar pajak juga tidak mau.
Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi wajib pajak masih sangat rendah. Suatu saat saya pernah berbincang dengan salah satu teman mengenai pajak, teman saya berkata: “Jaman Dirjen Pajak sekarang tingkat penerimaan pajak lebih jelek di banding pejabat sebelumnya” lantas saya menjawab: “Kenapa?”. “karena pejabat yang sekarang ga tegas, biasa… dari akademisi”.
Saya kurang paham apa hubungan akademisi dengan penerimaan pajak, namun satu hal yang saya tangkap dari perbincangan itu adalah “ketegasan”. Pajak sangat erat kaitannya dengan kontraprestasi atau kata lainnya pemaksaan. Apa karena manusia tidak suka dipaksa maka dia enggan menurut sama yang memaksa?. Namun meskipun demikian system perpajakan Negara kita sebenarnya sudah cukup baik dengan menggunakan self assessment, artinya pemerintah memberikan kepercayaan kepada si wajib pajak untuk melaporkan sendiri pajaknya. Artinya tidak terlalu memaksa kok, tetapi masih saja banyak yang cuek. Mungkinkah harus seperti zaman kerajaan dulu, yang mengharuskan rakyat membayar upeti kepada raja dengan paksaan?
Bagaimanapun ini PR kita bersama, tanpa Pajak Negara kita tidak dapat dibiayai: tidak ada yang membangun insfrastruktur, tidak ada yang membayar gaji PNS, TNI, dan Polri, tidak ada yang mensubsidi BBM dan kebutuhan pokok lainnya. Kalau semua itu tidak dapat dibiayai dampaknya pasti akan merembet kemana mana (multiplier effect). Ihh…. Serem kalau itu sampai terjadi.
Maka tugas kitalah secara berantai mensosialisakan ketentuan dan tatacara perpajakan ini kepada rakan-rekan yang lain. Jangan hanya berserah kepada pemerintah atau pegawai pajak.
Harry Simbolon