Kalau kita mau menyadari kehidupan ini dan mau dengan jujur melihat masyarakat di sekitar kita, seringkali antara manusia yang satu sulit untuk bergaul dengan manusia yang lain. Apakah yang menjadi penghalang? Pemisah atau penyekatnya itu memang tidak kasat mata, tidak mampu dideteksi dengan mata, tetapi mampu memisahkan manusia yang satu dengan yang lain.
Apakah "pemisah" itu? Yang kadang-kadang amat jahat dan mungkin amat pekat untuk diterobos, yang mengalahkan persaudaraan, mengalahkan budi baik, hubungan baik, mengalahkan yang lain-lain; sehingga membuat kita sulit untuk bergaul dengan yang lain.
Pemisah atau penyekat itu tidak lain adalah predikat-predikat atau status yang kita punyai. Kalau saya menyebutkan bahwa saya umat beragama A maka saya membuat penyekat dengan umat beragama lain. Saya dari umat beragama A dan Anda umat beragama B, saya biarawan dan Anda umat awam, saya pimpinan dan Anda karyawan, saya murid dan Anda guru, saya orang mampu dan Anda bawahan. Sangat banyak! Kalau kita menuliskan predikat-predikat ini, mungkin lebih tebal dari buku telepon yang kita punyai. Saya ibu, saya ayah, saya anak, saya karyawan, saya majikan, saya pimpinan...sedangkan Anda bukan ! Begitu saya menyadari bahwa saya adalah biarawan, maka saya menganggap Anda berbeda dengan saya.
Memang predikat-predikat itu diperlukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Tetapi, untuk kepentingan batin kita, untuk pembentukan mental kita yang sehat, kalau suatu saat kita mau menyingkirkan semua predikat itu untuk sementara, apakah yang kita lihat? Kalau kita mau sesaat menyingkirkan predikat-predikat yang merupakan pagar, yang merupakan penyekat yang dahsyat itu, maka kita akan melihat akar yang sama pada setiap orang.
Apakah itu? Tidak lain bahwa kita semua adalah manusia. Saya adalah manusia, demikian juga Anda, pimpinan kita adalah manusia, Andapun manusia. Anda yang menjadi pimpinan adalah manusia dan yang Anda pimpin juga manusia seperti Anda.
Kesadaran akan hakikat kita sebagai manusia inilah yang kadang-kadang dibungkus dan masih ditambah lagi dengan sekat yang berupa bermacam-macam predikat. Kalau kita sudah maju dan sukses, berhasil menjadi pimpinan, mempunyai jabatan tertentu-merasa atau menjadi peran tertentu, maka kadang-kadang kita berpikir seolah-olah kita sudah bukan manusia lagi, bahkan mungkin kita memandang yang lain menjadi bukan manusia lagi.
Jaminan masuk surga
Ada seorang bertanya, "Apakah saya akan masuk surga setelah saya meninggal ?" Saya jawab, "Saya tidak tahu !. Jujur saja, saya tidak tahu. Nanti Anda masuk surga atau masuk neraka, siapa yang tahu?" Kalau saya jawab, "Ya, Anda pasti masuk surga." Itu ceroboh sekali. Kalau saya jawab, "Anda masuk neraka." Belum tentu !!
Masuk surga atau masuk neraka, tergantung amal kita, tergantung perbuatan kita. Dengan perbuatan yang baik, dengan amal yang baik, kita akan masuk ke alam yang lebih baik. "Tetapi, apakah saya sudah banyak berbuat baik dan nanti pasti dilahirkan di alam yang lebih baik?" tanya dia. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan bahwa sesudah meninggal dia akan dilahirkan ke alam yang lebih baik, kecuali dirinya sendiri. Karena dirinya sendiri yang tahu, dia sudah banyak berbuat baik atau banyak berbuat buruk. Siapa yang bisa memberikan jaminan untuk tidak masuk neraka? Kita sendiri juga! Yang bisa memberikan jaminan itu bukan orang lain, tetapi kita sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa menjamin diri kita. Kalau toh para bijaksana dikatakan penyelamat, itu karena para bijaksana menunjukkan jalan yang bisa menuntun seseorang ke alam yang lebih baik. Tetapi, kita sendiri masing-masing yang harus berbuat baik
Tulisan-tulisan di atas saya baca dari buku "Bersahabat Dengan Kehidupan - Memaknai Dengan Kearifan" oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro. Buku yang disusun oleh Robby Candra ini terdiri dari ungkapan-ungkapan dan cuplikan-cuplikan ceramah di banyak forum yang disampaikan oleh Bhante Pannya. Diterbitkan oleh penerbit Suwung, Jogja.
Terima kasih kepada seorang teman yang telah memberikan buku ini sebagai hadiah awal tahun.
Saya selalu mengatakan bahwa teori itu gampang tapi prakteknya yang susah. Tapi toh tidak ada yang susah kalau kita mau belajar dan mencoba menerapkannya.
Bagaimana menurut Anda ?
Apakah "pemisah" itu? Yang kadang-kadang amat jahat dan mungkin amat pekat untuk diterobos, yang mengalahkan persaudaraan, mengalahkan budi baik, hubungan baik, mengalahkan yang lain-lain; sehingga membuat kita sulit untuk bergaul dengan yang lain.
Pemisah atau penyekat itu tidak lain adalah predikat-predikat atau status yang kita punyai. Kalau saya menyebutkan bahwa saya umat beragama A maka saya membuat penyekat dengan umat beragama lain. Saya dari umat beragama A dan Anda umat beragama B, saya biarawan dan Anda umat awam, saya pimpinan dan Anda karyawan, saya murid dan Anda guru, saya orang mampu dan Anda bawahan. Sangat banyak! Kalau kita menuliskan predikat-predikat ini, mungkin lebih tebal dari buku telepon yang kita punyai. Saya ibu, saya ayah, saya anak, saya karyawan, saya majikan, saya pimpinan...sedangkan Anda bukan ! Begitu saya menyadari bahwa saya adalah biarawan, maka saya menganggap Anda berbeda dengan saya.
Memang predikat-predikat itu diperlukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Tetapi, untuk kepentingan batin kita, untuk pembentukan mental kita yang sehat, kalau suatu saat kita mau menyingkirkan semua predikat itu untuk sementara, apakah yang kita lihat? Kalau kita mau sesaat menyingkirkan predikat-predikat yang merupakan pagar, yang merupakan penyekat yang dahsyat itu, maka kita akan melihat akar yang sama pada setiap orang.
Apakah itu? Tidak lain bahwa kita semua adalah manusia. Saya adalah manusia, demikian juga Anda, pimpinan kita adalah manusia, Andapun manusia. Anda yang menjadi pimpinan adalah manusia dan yang Anda pimpin juga manusia seperti Anda.
Kesadaran akan hakikat kita sebagai manusia inilah yang kadang-kadang dibungkus dan masih ditambah lagi dengan sekat yang berupa bermacam-macam predikat. Kalau kita sudah maju dan sukses, berhasil menjadi pimpinan, mempunyai jabatan tertentu-merasa atau menjadi peran tertentu, maka kadang-kadang kita berpikir seolah-olah kita sudah bukan manusia lagi, bahkan mungkin kita memandang yang lain menjadi bukan manusia lagi.
Jaminan masuk surga
Ada seorang bertanya, "Apakah saya akan masuk surga setelah saya meninggal ?" Saya jawab, "Saya tidak tahu !. Jujur saja, saya tidak tahu. Nanti Anda masuk surga atau masuk neraka, siapa yang tahu?" Kalau saya jawab, "Ya, Anda pasti masuk surga." Itu ceroboh sekali. Kalau saya jawab, "Anda masuk neraka." Belum tentu !!
Masuk surga atau masuk neraka, tergantung amal kita, tergantung perbuatan kita. Dengan perbuatan yang baik, dengan amal yang baik, kita akan masuk ke alam yang lebih baik. "Tetapi, apakah saya sudah banyak berbuat baik dan nanti pasti dilahirkan di alam yang lebih baik?" tanya dia. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan bahwa sesudah meninggal dia akan dilahirkan ke alam yang lebih baik, kecuali dirinya sendiri. Karena dirinya sendiri yang tahu, dia sudah banyak berbuat baik atau banyak berbuat buruk. Siapa yang bisa memberikan jaminan untuk tidak masuk neraka? Kita sendiri juga! Yang bisa memberikan jaminan itu bukan orang lain, tetapi kita sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa menjamin diri kita. Kalau toh para bijaksana dikatakan penyelamat, itu karena para bijaksana menunjukkan jalan yang bisa menuntun seseorang ke alam yang lebih baik. Tetapi, kita sendiri masing-masing yang harus berbuat baik
Tulisan-tulisan di atas saya baca dari buku "Bersahabat Dengan Kehidupan - Memaknai Dengan Kearifan" oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro. Buku yang disusun oleh Robby Candra ini terdiri dari ungkapan-ungkapan dan cuplikan-cuplikan ceramah di banyak forum yang disampaikan oleh Bhante Pannya. Diterbitkan oleh penerbit Suwung, Jogja.
Terima kasih kepada seorang teman yang telah memberikan buku ini sebagai hadiah awal tahun.
Saya selalu mengatakan bahwa teori itu gampang tapi prakteknya yang susah. Tapi toh tidak ada yang susah kalau kita mau belajar dan mencoba menerapkannya.
Bagaimana menurut Anda ?