Banjir menjadi hal yang tak asing bagi warga Jakarta. Kota Metropolitan ini rentan bencana banjir. Tengok saja kawasan Koja, Jakarta Utara dan sekitarnya termasuk Tol Sedyatmo yang menjadi akses utama menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Koja dan Tol Sedyatmo menjadi pusat perhatian terutama di musim penghujan menyusul banjir yang selalu menggenangi saat hujan mengguyur. Tol Sedyatmo sangat penting karena gerbang masuk ke Jakarta dari Bandara Cengkareng [baca: Tanggul Tol Bandara Ditinggikan].
Penelusuran SCTV menunjukkan kondisi ini berhubungan pesatnya pembangunan perumahan. Salah satunya hunian eksklusif Perumahan Pantai Indah Kapuk. Dibangun di atas lahan 800 hektare, pengembang menjanjikan kenyamanan hidup termasuk bebas dari banjir. Menyusuri perumahan nan indah yang berdiri megah ini memang memberikan inspirasi hunian ideal.
Namun untuk tinggal di sini perlu duit setidaknya Rp 700 juta. Kenyamanan dan rumah bebas banjir harus dibayar mahal di Jakarta. Misalnya di kawasan Koja yang terletak tak jauh dari Perumahan Pantai Indah Kapuk. Namun berbeda dengan perumahan elit itu, kawasan Koja selalu tergenang air saat hujan deras.
Pernyataan besar lantas muncul. Di saat warga Koja harus menjadi korban banjir, penghuni Pantai Indah Kapuk tidak mesti pusing saat hujan. Sebagian pihak berpendapat sebenarnya ada kaitan antara kedua kawasan yang secara geografis berdekatan.
Bahkan banjir diduga dampak penimbunan pantai atau reklamasi wilayah resapan air yang kini menjadi Perumahan Pantai Indah Kapuk. "Ketika terjadi konversi lahan rawa-rawa dan bakau, 831 hektare di Kapuk Angke, itu menyebabkan 6,6 juta meter kubik air kehilangan tempat parkir," tutur Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Slamet Daryoni.
Namun pernyataan ini dibantah Kosasih sebagai pihak pengembang PT Kapuk Naga Indah. "Wah ini harus diluruskan. Reklamasi saat ini untuk me-reklaim tanah kawasan lindung. Restorasi ekologis jangan dilarang," kata Kosasih kepada SCTV.
Sebenarnya saling-serang ini tidak perlu terjadi jika pemerintah dua dekade silam mengambil waktu untuk menganalisis dampak lingkungan secara menyeluruh. Tapi yang terjadi justru pemerintah percaya dengan janji pencetus Perumahan Pantai Indah Kapuk, Insinyur Ciputra.
Dalam wawancara dengan Ciputra pada 1992 yang dikutip dari Majalah Tempo diketahui bahwa pengusaha itu menjanjikan sejumlah hal. "Monyet-monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang .. jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee..." kata Ciputra.
Ironis memang. Janji yang terucap dulu termentahkan oleh saksi alam. Tinggal mereka yang kini menghuni kawasan sekitarnya menjadi penerus sejarah. Hidup nyaman seperti biasa bagi penghuni Pantai Indah Kapuk. Begitu pun bagi warga Koja meski harus dekat dengan banjir.(YNI/Tim Liputan 6 SCTV)
Koja dan Tol Sedyatmo menjadi pusat perhatian terutama di musim penghujan menyusul banjir yang selalu menggenangi saat hujan mengguyur. Tol Sedyatmo sangat penting karena gerbang masuk ke Jakarta dari Bandara Cengkareng [baca: Tanggul Tol Bandara Ditinggikan].
Penelusuran SCTV menunjukkan kondisi ini berhubungan pesatnya pembangunan perumahan. Salah satunya hunian eksklusif Perumahan Pantai Indah Kapuk. Dibangun di atas lahan 800 hektare, pengembang menjanjikan kenyamanan hidup termasuk bebas dari banjir. Menyusuri perumahan nan indah yang berdiri megah ini memang memberikan inspirasi hunian ideal.
Namun untuk tinggal di sini perlu duit setidaknya Rp 700 juta. Kenyamanan dan rumah bebas banjir harus dibayar mahal di Jakarta. Misalnya di kawasan Koja yang terletak tak jauh dari Perumahan Pantai Indah Kapuk. Namun berbeda dengan perumahan elit itu, kawasan Koja selalu tergenang air saat hujan deras.
Pernyataan besar lantas muncul. Di saat warga Koja harus menjadi korban banjir, penghuni Pantai Indah Kapuk tidak mesti pusing saat hujan. Sebagian pihak berpendapat sebenarnya ada kaitan antara kedua kawasan yang secara geografis berdekatan.
Bahkan banjir diduga dampak penimbunan pantai atau reklamasi wilayah resapan air yang kini menjadi Perumahan Pantai Indah Kapuk. "Ketika terjadi konversi lahan rawa-rawa dan bakau, 831 hektare di Kapuk Angke, itu menyebabkan 6,6 juta meter kubik air kehilangan tempat parkir," tutur Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Slamet Daryoni.
Namun pernyataan ini dibantah Kosasih sebagai pihak pengembang PT Kapuk Naga Indah. "Wah ini harus diluruskan. Reklamasi saat ini untuk me-reklaim tanah kawasan lindung. Restorasi ekologis jangan dilarang," kata Kosasih kepada SCTV.
Sebenarnya saling-serang ini tidak perlu terjadi jika pemerintah dua dekade silam mengambil waktu untuk menganalisis dampak lingkungan secara menyeluruh. Tapi yang terjadi justru pemerintah percaya dengan janji pencetus Perumahan Pantai Indah Kapuk, Insinyur Ciputra.
Dalam wawancara dengan Ciputra pada 1992 yang dikutip dari Majalah Tempo diketahui bahwa pengusaha itu menjanjikan sejumlah hal. "Monyet-monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang .. jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee..." kata Ciputra.
Ironis memang. Janji yang terucap dulu termentahkan oleh saksi alam. Tinggal mereka yang kini menghuni kawasan sekitarnya menjadi penerus sejarah. Hidup nyaman seperti biasa bagi penghuni Pantai Indah Kapuk. Begitu pun bagi warga Koja meski harus dekat dengan banjir.(YNI/Tim Liputan 6 SCTV)