Abbas Sandji
Rabu, 6 Februari 2008 | 21:24 WIB
PANGKALPINANG, RABU - Pengurus Kelenteng Kwan Tie Meau Pangkalpinang, Ahiun mengatakan nilai-nilai tradisi Imlek yang penuh kesucian, kini sudah banyak mengalami pergeseran akibat keadaan yang memaksanya begitu.
"Situasi ekonomi yang kurang bagus, sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan perubahan tatanan nilai itu. Jadi berubah karena keadaan," ujarnya di Pangkalpinang, Rabu (6/2).
Ia mencontohkan salah satu makna Imlek adalah bertemu dengan keluarga, dimana seorang anak harus pergi ke rumah orang tuanya atau yang muda harus ke tempat yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan.
"Tatanan nilai tradisi Imlek itu sudah berlangsung dari zaman ke zaman, namun sekarang seiring keadaan ekonomi sudah sering berbalik arah, dimana sering kali orang tua yang menemui anaknya, atau orang yang lebih tua menemui yang lebih muda," ujarnya.
Perubahan lainnya misalnya saat Imlek hidangan seperti masakan dan kue-kue sudah ditentukan, karena setiap kue atau masakan mewakili makna-makna tertentu dari Imlek, namun sekarang sudah berubah, tidak lagi terpaku pada tradisi dengan masakan atau kue khas Tionghoa.
Senada dengan Ahiun, tokoh Tionghoa lainnya Halim Susanto menilai, dalam batas-batas tertentu makna Imlek sudah terjadi pergeseran karena perkembangan peradaban. Namun dibandingkan daerah lain nilai-nilai tradisi Imlek di Bangka Belitung masih lebih lestari karena komunitasnya banyak.
Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, malam seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga), jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen.
Namun demikian, Halim Susanto mengakui kini sudah ada pergeseran tidak lagi terpaku pada masakan atau kue -kue yang sarat makna itu, tetapi sudah menggunakan masakan atau kue umum terutama kue khas Bangka yaitu kue keranjang atau kue tar.
Source: Antara
Rabu, 6 Februari 2008 | 21:24 WIB
PANGKALPINANG, RABU - Pengurus Kelenteng Kwan Tie Meau Pangkalpinang, Ahiun mengatakan nilai-nilai tradisi Imlek yang penuh kesucian, kini sudah banyak mengalami pergeseran akibat keadaan yang memaksanya begitu.
"Situasi ekonomi yang kurang bagus, sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan perubahan tatanan nilai itu. Jadi berubah karena keadaan," ujarnya di Pangkalpinang, Rabu (6/2).
Ia mencontohkan salah satu makna Imlek adalah bertemu dengan keluarga, dimana seorang anak harus pergi ke rumah orang tuanya atau yang muda harus ke tempat yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan.
"Tatanan nilai tradisi Imlek itu sudah berlangsung dari zaman ke zaman, namun sekarang seiring keadaan ekonomi sudah sering berbalik arah, dimana sering kali orang tua yang menemui anaknya, atau orang yang lebih tua menemui yang lebih muda," ujarnya.
Perubahan lainnya misalnya saat Imlek hidangan seperti masakan dan kue-kue sudah ditentukan, karena setiap kue atau masakan mewakili makna-makna tertentu dari Imlek, namun sekarang sudah berubah, tidak lagi terpaku pada tradisi dengan masakan atau kue khas Tionghoa.
Senada dengan Ahiun, tokoh Tionghoa lainnya Halim Susanto menilai, dalam batas-batas tertentu makna Imlek sudah terjadi pergeseran karena perkembangan peradaban. Namun dibandingkan daerah lain nilai-nilai tradisi Imlek di Bangka Belitung masih lebih lestari karena komunitasnya banyak.
Biasanya pada malam sebelum tahun baru atau Chu Si Ye, malam seluruh anggota keluarga harus kumpul bersama dan makan Thuan Yen Fan (makan malam sekeluarga), jika ada keluarga yang tidak sempat atau berhalangan untuk pulang ke rumah, di meja akan disiapkan mangkok dan sepasang sumpit yang mewakili yang tidak sempat datang tadi.
Sayur yang disajikan cukup banyak dan mengandung arti tersendiri, seperti Kiau Choi yang melambangkan panjang umur, ayam rebus disajikan utuh melambangkan kemakmuran untuk keluarga. Sedangkan bakso ikan, bakso udang dan bakso daging melambangkan San Yuan atau tiga jabatan yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen dan Cie Yuen.
Namun demikian, Halim Susanto mengakui kini sudah ada pergeseran tidak lagi terpaku pada masakan atau kue -kue yang sarat makna itu, tetapi sudah menggunakan masakan atau kue umum terutama kue khas Bangka yaitu kue keranjang atau kue tar.
Source: Antara