Di Rembang ada yang Telah Berganti Suami Siri hingga 29 Kali
PASURUAN, KOMPAS.com — Perkawinan “di bawah tangan” atau siri dan kawin kontrak (mutah) kembali digugat, terutama setelah muncul Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. Nikah siri bisa dipidana. Sementara itu, di suatu wilayah di Pasuruan, nikah siri sudah jadi hal lumrah.
Wilayah di Kabupaten Pasuruan yang disebut-sebut paling biasa dengan praktik nikah tanpa tercatat resmi atau nikah siri adalah Kecamatan Rembang. Kabarnya, ada tiga desa yang menonjol, yakni Kalisat, Pekoren, dan Sumberglagah. Bahkan, ada istilah khusus untuk kawin siri di sana, yakni nikah landasan.
“Nikah landasan itu artinya seorang lelaki yang menginginkan kawin kontrak atau nikah siri harus memberikan imbalan semacam mahar berupa tanah untuk lahan pertanian kepada si perempuan yang dikawininya,” kata Ali Sodikin, Direktur Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE), organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan di Pasuruan.
Kawin landasan ini masih tetap berlaku di sana. Namun, nilai maharnya kini semakin mengecil. Bukan tanah lagi yang diberikan pihak lelaki kepada pihak perempuan yang dinikahi, melainkan mesin jahit atau obras.
Pada masa lalu, ketika pencatatan perkawinan belum disadari secara luas di masyarakat, termasuk di warga Rembang, nikah siri serta kawin kontrak sudah dianggap sebagai nikah resmi. Warga masyarakat pun mengakui pasangan yang nikah siri adalah pasangan yang sah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh negatif gaya hidup konsumtif, nikah siri mulai dilandasi motif-motif ekonomi. Pernikahan siri digampangkan hanya agar tidak disebut melakukan perzinahan. Sementara itu, tujuan mulia pernikahan menjadi urusan kesekian.
Buktinya, di Rembang, tidak sedikit wanita yang telah melakukan nikah siri minimal tiga sampai empat kali. Bahkan, ada yang melakukan nikah siri berkali-kali sampai 29 kali.
“Sekarang kawin siri sudah jadi cara baru untuk meningkatkan derajat ekonomi. Di sini, asalkan seorang pria berdandan necis dan datang bawa mobil, tidak peduli latar belakang sukunya Jawa, Madura, Arab, atau bahkan China, pasti banyak yang menginginkannya untuk dijadikan suami siri,” ungkap Ayu (nama samaran), seorang perempuan Rembang berusia sekitar 35 tahun, kepada Surya, Kamis (18/2/2010).
Sepanjang yang diketahui Ayu, nikah siri sudah membudaya di tempatnya. Wanita di daerahnya rata-rata melakukan nikah siri dari 3 sampai 4 kali. Bahkan, di antara wanita sebayanya ada yang sudah melakukan nikah siri hingga 29 kali. Selain itu, yang melakukan nikah siri lebih banyak berstatus janda.
Para wanita itu umumnya memberlakukan aturan khas, dan itu sepertinya sudah banyak dimaklumi. Jika suaminya tak nongol lagi lebih dari seratus hari setelah nikah siri, maka kondisi itu dianggap sebagai bercerai.
“Awalnya, sang wanita melakukan perkawinan yang tercatat. Karena cerai dan beban kehidupan lebih berat, si wanita akhirnya memutuskan nikah siri berkali-kali guna menopang kebutuhan ekonomi,” tutur Ayu yang sebetulnya agak keberatan untuk diajak bicara tentang nikah siri.
Namun tidak semua warga di Kecamatan Rembang, terutama yang wanita, melakukan nikah siri. Banyak keluarga yang tetap menjalani bahtera rumah tangga sesuai aturan yang berlaku. Namun karena melekatnya “stempel” sebagai daerah yang melonggarkan nikah siri, kondisi ini tak jarang membuat orang luar masih terus mendatangi Rembang untuk melirak-lirik perempuan yang berpeluang untuk dinikahi siri.
Sering kali, anak perempuan akil balig dari keluarga yang menikah tercatat resmi juga diminta untuk dinikah siri oleh pendatang.
“Beratnya, kalau ditolak, nanti dianggap sok atau megaya. Bahkan, jika kemudian tak ada yang melamar dan jadi perawan tua, maka dia dianggap kena kutukan kesombongan. Karena itu, banyak keluarga di sini yang anak perempuannya sudah akil balig buru-buru dipondokkan ke pesantren,” papar Ayu.
Dalam hal nikah siri ini, tak hanya ada permintaan dan persediaan, tetapi ada pula makelar. Makelar atau perantara ini tentu juga ingin mendapatkan keuntungan. Karena itu, ia “pasang harga” berbeda-beda untuk para wanita yang dimakelarinya. Ada kriterianya.
PASURUAN, KOMPAS.com — Perkawinan “di bawah tangan” atau siri dan kawin kontrak (mutah) kembali digugat, terutama setelah muncul Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. Nikah siri bisa dipidana. Sementara itu, di suatu wilayah di Pasuruan, nikah siri sudah jadi hal lumrah.
Wilayah di Kabupaten Pasuruan yang disebut-sebut paling biasa dengan praktik nikah tanpa tercatat resmi atau nikah siri adalah Kecamatan Rembang. Kabarnya, ada tiga desa yang menonjol, yakni Kalisat, Pekoren, dan Sumberglagah. Bahkan, ada istilah khusus untuk kawin siri di sana, yakni nikah landasan.
“Nikah landasan itu artinya seorang lelaki yang menginginkan kawin kontrak atau nikah siri harus memberikan imbalan semacam mahar berupa tanah untuk lahan pertanian kepada si perempuan yang dikawininya,” kata Ali Sodikin, Direktur Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE), organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan di Pasuruan.
Kawin landasan ini masih tetap berlaku di sana. Namun, nilai maharnya kini semakin mengecil. Bukan tanah lagi yang diberikan pihak lelaki kepada pihak perempuan yang dinikahi, melainkan mesin jahit atau obras.
Pada masa lalu, ketika pencatatan perkawinan belum disadari secara luas di masyarakat, termasuk di warga Rembang, nikah siri serta kawin kontrak sudah dianggap sebagai nikah resmi. Warga masyarakat pun mengakui pasangan yang nikah siri adalah pasangan yang sah.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh negatif gaya hidup konsumtif, nikah siri mulai dilandasi motif-motif ekonomi. Pernikahan siri digampangkan hanya agar tidak disebut melakukan perzinahan. Sementara itu, tujuan mulia pernikahan menjadi urusan kesekian.
Buktinya, di Rembang, tidak sedikit wanita yang telah melakukan nikah siri minimal tiga sampai empat kali. Bahkan, ada yang melakukan nikah siri berkali-kali sampai 29 kali.
“Sekarang kawin siri sudah jadi cara baru untuk meningkatkan derajat ekonomi. Di sini, asalkan seorang pria berdandan necis dan datang bawa mobil, tidak peduli latar belakang sukunya Jawa, Madura, Arab, atau bahkan China, pasti banyak yang menginginkannya untuk dijadikan suami siri,” ungkap Ayu (nama samaran), seorang perempuan Rembang berusia sekitar 35 tahun, kepada Surya, Kamis (18/2/2010).
Sepanjang yang diketahui Ayu, nikah siri sudah membudaya di tempatnya. Wanita di daerahnya rata-rata melakukan nikah siri dari 3 sampai 4 kali. Bahkan, di antara wanita sebayanya ada yang sudah melakukan nikah siri hingga 29 kali. Selain itu, yang melakukan nikah siri lebih banyak berstatus janda.
Para wanita itu umumnya memberlakukan aturan khas, dan itu sepertinya sudah banyak dimaklumi. Jika suaminya tak nongol lagi lebih dari seratus hari setelah nikah siri, maka kondisi itu dianggap sebagai bercerai.
“Awalnya, sang wanita melakukan perkawinan yang tercatat. Karena cerai dan beban kehidupan lebih berat, si wanita akhirnya memutuskan nikah siri berkali-kali guna menopang kebutuhan ekonomi,” tutur Ayu yang sebetulnya agak keberatan untuk diajak bicara tentang nikah siri.
Namun tidak semua warga di Kecamatan Rembang, terutama yang wanita, melakukan nikah siri. Banyak keluarga yang tetap menjalani bahtera rumah tangga sesuai aturan yang berlaku. Namun karena melekatnya “stempel” sebagai daerah yang melonggarkan nikah siri, kondisi ini tak jarang membuat orang luar masih terus mendatangi Rembang untuk melirak-lirik perempuan yang berpeluang untuk dinikahi siri.
Sering kali, anak perempuan akil balig dari keluarga yang menikah tercatat resmi juga diminta untuk dinikah siri oleh pendatang.
“Beratnya, kalau ditolak, nanti dianggap sok atau megaya. Bahkan, jika kemudian tak ada yang melamar dan jadi perawan tua, maka dia dianggap kena kutukan kesombongan. Karena itu, banyak keluarga di sini yang anak perempuannya sudah akil balig buru-buru dipondokkan ke pesantren,” papar Ayu.
Dalam hal nikah siri ini, tak hanya ada permintaan dan persediaan, tetapi ada pula makelar. Makelar atau perantara ini tentu juga ingin mendapatkan keuntungan. Karena itu, ia “pasang harga” berbeda-beda untuk para wanita yang dimakelarinya. Ada kriterianya.