Foto : Ilustrasi
Anak ‘Bau Kencur’ di Segi Tiga Emas Surabaya
GINCUNYA tidak terlalu tebal. Ia sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia berusaha tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, ketika lampu mobil menyorot ke arahnya. Gadis ‘bau kencur’ itu mundur beberapa langkah begitu mobil berhenti di dekatnya. Dan posisinya diganti seorang pria.
Siapa pria itu. Jangan terlalu cemas, itu adalah ‘negosiator’. Di kawasan yang terkenal dengan sebutan ’segi tiga emas’ Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh setiap malam pemandangan seperti itu merupakan hal biasa. Di kawasan itu, setiap hari mulai pukul 18.00 para ABG (anak baru gede) mulai pasang aksi.
Untuk bisa ‘menggaet’ ABG di Surabaya memang gampang-gampang susah. Untuk yang memakai mobil pribadi, tidak sulit. Dengan, sekali tekan klakson, mereka akan mendekat dan menawarkan diri. Masalah tarif bisa dibicarakan sambil berjalan, kalau tidak cocok, bisa dikembalikan ke tempat di mana mereka mangkal. Atau melakukan tawar-menawar melalui ‘negosiator’ alias germo. Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki mobil pribadi, dengan taksi saja sudah bisa asalkan jangan berdua. Harus sendiri. Apalagi, memakai sepeda motor, mereka akan menolak secara tegas. Itu yang dialami Media ketika mendekati mereka sambil mengendarai sepeda motor.
Seorang penjual minuman yang mangkal di Jl Pemuda, langsung memperingatkan.“Kalau mau booking ABG, jangan sekali-kali ada dua pria dalam taksi itu, atau sepeda motor, mereka tidak mau, malah lari,” katanya. Pernah ada ABG yang dibawa oleh dua orang, ternyata di tengah jalan seluruh perhiasannya dipreteli, termasuk uangnya.
Sejak, kejadian itu mereka sangat hati-hati. Media kemudian, seorang diri mencarter taksi sambil menelusuri kawasan ’segi tiga emas’ itu. Saat di Jl Tais Nasution, taksi melaju pela-pelan. Para ABG yang berjejer mulai tampak senyum-senyum, sambil memainkan tulunjuknya yang ditempel di pipi. Begitu melihat di dalam taksi hanya satu orang dan mobil berhenti, mereka kemudian melangkah mundur. Dan tampil seorang pria yang berpakaian sangat rapi.
Pria itu membungkuk ke jendela mobil,“Malam Bos, cari cewek. Tinggal pilih,” kata germo itu sambil menyebutkan nama-nama ABG yang ada dalam ‘genggamannya’.
Ia menunjuk,“Yang pakai kaus putih, umurnya baru 16 tahun, sedangkan yang kaus hitam umurnya 19 tahun. Tinggal pilih, mana yang suka,” ujar pemuda yang mengaku bernama Teddy.“Berapa tarifnya,”tanya Media.“Di kawasan sini sudah biasa, antara Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Untuk short time, selama tiga jam. Selebihnya, silahkan bos yang transaksi dengan ceweknya. Yang, jelas kita pasang tarif itu,” katanya.
Apa boleh ditawar. Tentu saja, bisa, tarif yang dipatok tidak mutlak, tapi bisa ditawar. Asalkan, jangan sampai Rp 100 ribu, pasti tidak akan digubris. Transaksi biasanya tidak bisa langsung OK, tapi harus melalui proses. Pada saat itu, GM (panggilan khusus untuk negosiator) memanggil cewek yang dimaksud agar masuk lebih dulu ke dalam mobil. Tujuannya, tidak lain agar konsumen tahu wajah dan panampilannya.“Biasanya di jalan, waktunya sangat sempit, maka ceweknya
Cucunyo Datuak Merah
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Jl Embong Sawo, tidak jauh dari Jl Pemuda, hanya sekitar 50 meter. Di tempat ini, tampak dua ABG duduk di atas sepeda motor, sambil menghisap rokok. Keduanya, tidak langsung mendatangi mobil. Tapi, germo yang menghampiri begitu jendela mobil terbuka. Kalimat pertama yang keluar adalah,“Malam. Cari cewek,” katanya.“Maaf, tinggal dua ABG, lainya sudah di-booking orang.
Tapi, saya jamin tidak rewel. Siap, main dalam bentuk apa pun juga,” ujarnya setengah memaksa. Di kawasan Jl Embong Sawu ini tarifnya memang agak sedikit mahal dibandingkan dengan ABG di Jl Tais Nasution. Yang membedakan karena di kawasan itu ABG-nya benar-benar masih ‘bau kencur’. Untuk tiga jam, mereka pasang tarif Rp 200 ribu. Memang, bisa ditawar tapi tetap saja tidak boleh di bawah Rp 150 ribu.“Jangan disamakan dengan yang lain. Cewek di sini memiliki ketangguhan dalam hal servis,” ujar sang germo. Tanpa menyebut, jenis ketangguhan yang dimaksud.
Di Jl Simpang Dukuh memang lebih ramai dibandingkan tempat mangkal lainnya karena terdapat diskotek. Selain itu, tidak ada penerangan jalan yang menyebabkan anak-anak baru gede itu tidak malu-malu menawarkan diri kepada ‘konsumen’ yang kebetulan lewat di tempat tersebut. Di kawasan ini, mereka agak jual mahal. Tidak sembarangan mau diajak.“Cewek di sini memang jual mahal, Mas. Kalau, orangnya itu tidak bermata sipit, jarang yang mau. Tapi, kalau punya mata sipit dan bermobil, langsung tancap,” kata seorang pedagang yang biasa menjadi tempat mangkal ABG.
Seperti kawasan lainya, peran germo sangat dominan. Ini tidak lain, karena sikap malu-malu yang ditunjukkan para ABG tersebut. Ketika, Media melewati kawasan itu, sejumlah ABG hanya bergerombol, sepertinya mereka tidak terlalu peduli terhadap ‘tamu’ yang datang.“Silakan pilih sendiri. Ini namanya Hana dan ini namanya Yeni. Dua-duanya ABG tulen,” kata germo bernama Sandy. Untuk meyakinkan konsumen, mereka tidak malu-malu menyebut bahwa keduanya bisa diajak ‘karaoke’ istilah oral seks di kalangan ABG.
Tarifnya tidak jauh beda dengan ABG yang mangkal di kawasan lainya, yakni Rp 150 ribu. Bahkan, kalau pandai menawar bisa turun hanya Rp Rp 125 ribu untuk tiga jam pemakaian. Kalau mau nambah bisa dikalikan sendiri. Tapi di kawasan ini harus ekstrahati-hati, germo sering main paksa. Kendati hanya sekadar minta uang rokok, tapi biasanya memanfaatkan ABG dengan menyebutkan bahwa ‘anak asuhnya’ itu punya utang. Seperti yang dialami Media, seorang germo mengatakan kepada salah satu ABG,“Han, kamu kan punya utang sama saya Rp 15 ribu, bagaimana kalau Bos ini yang bayar, tidak apa-apa kan,” kata Sandy. Ketika disodorkan uang Rp 20 ribu, germo itu mengatakan,“Terima kasih Bos, silakan nikmati malam minggunya.”.
Germo di Jl Tais Nasution, paling sedikit memiliki lima ‘anak asuh’, dan paling banyak 20 orang. Mereka selalu membawa foto ‘anak asuh’ dalam berbagai pose.Mereka sebagian besar dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika ditanya, mereka tidak sungkan-sungkan menyebut nama SLTA tempat mereka sekolah atau menyebutkan nama perguruan tingginya bagi yang mahasiswi.
“KALAU saya suka, gratis pun jadi,” kata Hana. Gadis manis yang tahun lalu lulus sebuah SLTP di Probolinggo itu akan sangat senang bila bertemu dengan pria ganteng. Ukuran ganteng bagi Hana tidak ada standar khusus, misalnya tinggi besar, atletis, berkumis atau lain sebagainya,“Pokoknya ganteng dan saya suka. Oke,” ujarnya sambil tersenyum.“Tapi biarpun uangnya satu karung, kalau saya tidak suka, ya saya enggak mau,” katanya. Sudah berkali-kali ia tidak mau menerima bayaran dari pria ganteng yang disukai. Yang paling melekat di hatinya, adalah seorang pria ganteng dari Indonesia timur. berkisar Rp 360 ribu hingga Rp 450 ribu untuk setiap kali kencan.
Menurut Inge, jaringan penjualan gadis ABG ke Taiwan cukup rapi. Pada pedagang gadis lengkap dengan mata-mata dan tukang pukulnya. Mereka umumnya orang Indonesia yang memiliki kebebasan keluar masuk ke negara tetangga itu. Harga seorang wanita, dihargai cukong 4.000 ringgit atau Rp 7,2 juta (satu ringgit Rp 1.800). Tapi saat ini Inge sudah lepas dari cengkeraman kombet. Inge melarikan diri dan lolos kembali ke kampung halamannya, ketika para tukang pukul berpesta, menikmati hasil penjualan wanita.
Selain ditempatkan di hotel-hotel di Tawan, juga ada yang dijual lagi ke cukong di Singapura, Sandakan, dan Kinabalu. Menurut pengakuan Inge, memikirkan melarikan diri dari sarang maksiat, muncul saat Inge sedang haid namun dipaksa melayani tamu. Karena Inge menolak, ia lalu dipukuli dan dicaci maki, perlakuan yang sama juga dialami wanita-wanita lainnya. Inge belum berani mengungkapkan siapa-siapa oknum yang terlibat dalam penjualan wanita-wanita, dia hanya menjelaskan di antara rekan-rekan wanitanya waktu masih di Tarakan, Tanjung Selor, maupun asal Pulau Jawa, rata-rata terbujuk dengan janji dapat kerja dengan gaji besar. Hal itu dibuktikan si pembawa dengan membelikan pakaian mewah dan pehiasan emas.
Namun setelah berada di sana, pakaian dan perhiasan dipreteli untuk diambil lagi. Hasil kencan dengan tamu juga diambil. Mereka dilarang kirim surat ke keluarga.
http://www.topix.com/forum/world/malaysia/T33DC24RRUG98O8PT
GINCUNYA tidak terlalu tebal. Ia sepertinya baru belajar memakai pemerah bibir. Ia berusaha tersenyum sambil memainkan telunjuk kanannya yang ditempel di pipinya, ketika lampu mobil menyorot ke arahnya. Gadis ‘bau kencur’ itu mundur beberapa langkah begitu mobil berhenti di dekatnya. Dan posisinya diganti seorang pria.
Siapa pria itu. Jangan terlalu cemas, itu adalah ‘negosiator’. Di kawasan yang terkenal dengan sebutan ’segi tiga emas’ Surabaya, yaitu Jl Pemuda, Jl Tais Nasution, dan Jl Simpang Dukuh setiap malam pemandangan seperti itu merupakan hal biasa. Di kawasan itu, setiap hari mulai pukul 18.00 para ABG (anak baru gede) mulai pasang aksi.
Untuk bisa ‘menggaet’ ABG di Surabaya memang gampang-gampang susah. Untuk yang memakai mobil pribadi, tidak sulit. Dengan, sekali tekan klakson, mereka akan mendekat dan menawarkan diri. Masalah tarif bisa dibicarakan sambil berjalan, kalau tidak cocok, bisa dikembalikan ke tempat di mana mereka mangkal. Atau melakukan tawar-menawar melalui ‘negosiator’ alias germo. Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki mobil pribadi, dengan taksi saja sudah bisa asalkan jangan berdua. Harus sendiri. Apalagi, memakai sepeda motor, mereka akan menolak secara tegas. Itu yang dialami Media ketika mendekati mereka sambil mengendarai sepeda motor.
Seorang penjual minuman yang mangkal di Jl Pemuda, langsung memperingatkan.“Kalau mau booking ABG, jangan sekali-kali ada dua pria dalam taksi itu, atau sepeda motor, mereka tidak mau, malah lari,” katanya. Pernah ada ABG yang dibawa oleh dua orang, ternyata di tengah jalan seluruh perhiasannya dipreteli, termasuk uangnya.
Sejak, kejadian itu mereka sangat hati-hati. Media kemudian, seorang diri mencarter taksi sambil menelusuri kawasan ’segi tiga emas’ itu. Saat di Jl Tais Nasution, taksi melaju pela-pelan. Para ABG yang berjejer mulai tampak senyum-senyum, sambil memainkan tulunjuknya yang ditempel di pipi. Begitu melihat di dalam taksi hanya satu orang dan mobil berhenti, mereka kemudian melangkah mundur. Dan tampil seorang pria yang berpakaian sangat rapi.
Pria itu membungkuk ke jendela mobil,“Malam Bos, cari cewek. Tinggal pilih,” kata germo itu sambil menyebutkan nama-nama ABG yang ada dalam ‘genggamannya’.
Ia menunjuk,“Yang pakai kaus putih, umurnya baru 16 tahun, sedangkan yang kaus hitam umurnya 19 tahun. Tinggal pilih, mana yang suka,” ujar pemuda yang mengaku bernama Teddy.“Berapa tarifnya,”tanya Media.“Di kawasan sini sudah biasa, antara Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu. Untuk short time, selama tiga jam. Selebihnya, silahkan bos yang transaksi dengan ceweknya. Yang, jelas kita pasang tarif itu,” katanya.
Apa boleh ditawar. Tentu saja, bisa, tarif yang dipatok tidak mutlak, tapi bisa ditawar. Asalkan, jangan sampai Rp 100 ribu, pasti tidak akan digubris. Transaksi biasanya tidak bisa langsung OK, tapi harus melalui proses. Pada saat itu, GM (panggilan khusus untuk negosiator) memanggil cewek yang dimaksud agar masuk lebih dulu ke dalam mobil. Tujuannya, tidak lain agar konsumen tahu wajah dan panampilannya.“Biasanya di jalan, waktunya sangat sempit, maka ceweknya
Cucunyo Datuak Merah
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Jl Embong Sawo, tidak jauh dari Jl Pemuda, hanya sekitar 50 meter. Di tempat ini, tampak dua ABG duduk di atas sepeda motor, sambil menghisap rokok. Keduanya, tidak langsung mendatangi mobil. Tapi, germo yang menghampiri begitu jendela mobil terbuka. Kalimat pertama yang keluar adalah,“Malam. Cari cewek,” katanya.“Maaf, tinggal dua ABG, lainya sudah di-booking orang.
Tapi, saya jamin tidak rewel. Siap, main dalam bentuk apa pun juga,” ujarnya setengah memaksa. Di kawasan Jl Embong Sawu ini tarifnya memang agak sedikit mahal dibandingkan dengan ABG di Jl Tais Nasution. Yang membedakan karena di kawasan itu ABG-nya benar-benar masih ‘bau kencur’. Untuk tiga jam, mereka pasang tarif Rp 200 ribu. Memang, bisa ditawar tapi tetap saja tidak boleh di bawah Rp 150 ribu.“Jangan disamakan dengan yang lain. Cewek di sini memiliki ketangguhan dalam hal servis,” ujar sang germo. Tanpa menyebut, jenis ketangguhan yang dimaksud.
Di Jl Simpang Dukuh memang lebih ramai dibandingkan tempat mangkal lainnya karena terdapat diskotek. Selain itu, tidak ada penerangan jalan yang menyebabkan anak-anak baru gede itu tidak malu-malu menawarkan diri kepada ‘konsumen’ yang kebetulan lewat di tempat tersebut. Di kawasan ini, mereka agak jual mahal. Tidak sembarangan mau diajak.“Cewek di sini memang jual mahal, Mas. Kalau, orangnya itu tidak bermata sipit, jarang yang mau. Tapi, kalau punya mata sipit dan bermobil, langsung tancap,” kata seorang pedagang yang biasa menjadi tempat mangkal ABG.
Seperti kawasan lainya, peran germo sangat dominan. Ini tidak lain, karena sikap malu-malu yang ditunjukkan para ABG tersebut. Ketika, Media melewati kawasan itu, sejumlah ABG hanya bergerombol, sepertinya mereka tidak terlalu peduli terhadap ‘tamu’ yang datang.“Silakan pilih sendiri. Ini namanya Hana dan ini namanya Yeni. Dua-duanya ABG tulen,” kata germo bernama Sandy. Untuk meyakinkan konsumen, mereka tidak malu-malu menyebut bahwa keduanya bisa diajak ‘karaoke’ istilah oral seks di kalangan ABG.
Tarifnya tidak jauh beda dengan ABG yang mangkal di kawasan lainya, yakni Rp 150 ribu. Bahkan, kalau pandai menawar bisa turun hanya Rp Rp 125 ribu untuk tiga jam pemakaian. Kalau mau nambah bisa dikalikan sendiri. Tapi di kawasan ini harus ekstrahati-hati, germo sering main paksa. Kendati hanya sekadar minta uang rokok, tapi biasanya memanfaatkan ABG dengan menyebutkan bahwa ‘anak asuhnya’ itu punya utang. Seperti yang dialami Media, seorang germo mengatakan kepada salah satu ABG,“Han, kamu kan punya utang sama saya Rp 15 ribu, bagaimana kalau Bos ini yang bayar, tidak apa-apa kan,” kata Sandy. Ketika disodorkan uang Rp 20 ribu, germo itu mengatakan,“Terima kasih Bos, silakan nikmati malam minggunya.”.
Germo di Jl Tais Nasution, paling sedikit memiliki lima ‘anak asuh’, dan paling banyak 20 orang. Mereka selalu membawa foto ‘anak asuh’ dalam berbagai pose.Mereka sebagian besar dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika ditanya, mereka tidak sungkan-sungkan menyebut nama SLTA tempat mereka sekolah atau menyebutkan nama perguruan tingginya bagi yang mahasiswi.
“KALAU saya suka, gratis pun jadi,” kata Hana. Gadis manis yang tahun lalu lulus sebuah SLTP di Probolinggo itu akan sangat senang bila bertemu dengan pria ganteng. Ukuran ganteng bagi Hana tidak ada standar khusus, misalnya tinggi besar, atletis, berkumis atau lain sebagainya,“Pokoknya ganteng dan saya suka. Oke,” ujarnya sambil tersenyum.“Tapi biarpun uangnya satu karung, kalau saya tidak suka, ya saya enggak mau,” katanya. Sudah berkali-kali ia tidak mau menerima bayaran dari pria ganteng yang disukai. Yang paling melekat di hatinya, adalah seorang pria ganteng dari Indonesia timur. berkisar Rp 360 ribu hingga Rp 450 ribu untuk setiap kali kencan.
Menurut Inge, jaringan penjualan gadis ABG ke Taiwan cukup rapi. Pada pedagang gadis lengkap dengan mata-mata dan tukang pukulnya. Mereka umumnya orang Indonesia yang memiliki kebebasan keluar masuk ke negara tetangga itu. Harga seorang wanita, dihargai cukong 4.000 ringgit atau Rp 7,2 juta (satu ringgit Rp 1.800). Tapi saat ini Inge sudah lepas dari cengkeraman kombet. Inge melarikan diri dan lolos kembali ke kampung halamannya, ketika para tukang pukul berpesta, menikmati hasil penjualan wanita.
Selain ditempatkan di hotel-hotel di Tawan, juga ada yang dijual lagi ke cukong di Singapura, Sandakan, dan Kinabalu. Menurut pengakuan Inge, memikirkan melarikan diri dari sarang maksiat, muncul saat Inge sedang haid namun dipaksa melayani tamu. Karena Inge menolak, ia lalu dipukuli dan dicaci maki, perlakuan yang sama juga dialami wanita-wanita lainnya. Inge belum berani mengungkapkan siapa-siapa oknum yang terlibat dalam penjualan wanita-wanita, dia hanya menjelaskan di antara rekan-rekan wanitanya waktu masih di Tarakan, Tanjung Selor, maupun asal Pulau Jawa, rata-rata terbujuk dengan janji dapat kerja dengan gaji besar. Hal itu dibuktikan si pembawa dengan membelikan pakaian mewah dan pehiasan emas.
Namun setelah berada di sana, pakaian dan perhiasan dipreteli untuk diambil lagi. Hasil kencan dengan tamu juga diambil. Mereka dilarang kirim surat ke keluarga.
http://www.topix.com/forum/world/malaysia/T33DC24RRUG98O8PT