Diperkirakan sekitar 25 persen dari 239 wanita (59 orang) pekerja seks komersial (PSK) di Kota Sukabumi, Jawa Barat, berasal dari kalangan pelajar yang disebabkan keinginan hidup mewah.
“Dulu penyebab para pelajar menjadi PSK karena faktor ekonomi. Namun kini alasannyamulai bergeser ingin bergaya hidup mewah,” kata Koordinator Lapangan (Korlap) Gerakan Penanggulangan Narkoba dan AIDS (GPNA), Den Huri kepada antara di Sukabumi.
Menurut Huri, para pelajar yang kurang mampu tergiur melihat temannya yang memiliki barang mewah, seperti telepon seluler (ponsel) dan lainnya, sehingga mereka rela jadi PSK.
“Mereka jadi PSK secara sembunyi-sembunyi dengan cara dipanggil melalui ponsel. Mereka tidak menjajakan diri secara terbuka seperti PSK lainnya.”
Berdasarkan data GPNA jumlah PSK di Kota Sukabumi mencapai 776, terdiri atas PSK langsung 239 orang dan PSK tidak langsung (mereka yang juga bekerja) sebanyak 537 orang.
Pekerja Seks Komersil-Masih Pelajar
“Kebanyakan PSK tidak langsung adalah mereka yang bekerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka menjadi PSK karena alasan ekonomi dan gaya hidup,” kata Huri yang akrab disapa Deden ini.
Deden mengatakan, pihaknya telah berupaya untuk menekan jumlah PSK dengan memberi pelatihan-pelatihan bekerja sama dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Penanggulangan Bencana (Dinsostek dan PB) Kota Sukabumi, seperti pelatihan tata rias dan salon. “Kami juga melakukan pendidikan sebaya kepada para PSK,” ujarnya.
Untuk mengatasi penularan HIV/AIDS di kalangan PSK, kata Deden, pihaknya juga telah memberi penyuluhan kepada mereka tentang bahaya HIV/AIDS sehingga mereka diminta melakukan hubungan intim dengan cara aman, seperti penggunaan kondom. Mereka juga diminta memeriksakan penyakit kelamin di Klinik Pelangi yang disediakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi.
Namun, sejak tiga tahun program ini berjalan, hanya 357 PSK yang mau memeriksakan diri. “Ini menunjukkan tingkat kesadaran para PSK masih rendah untuk memeriksakan kesehatannya,” katanya.
Beberapa penelitian mencatat bahwa di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor pada tahun 2006 dari ratusan warung remang-remang, ditemukan 236 anak-anak di bawah 18 tahun yang menjadi pelayan sekaligus dapat bertransaksi seksual.
Sebanyak 60 persen mengaku masih bersekolah di sekitar Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Tangerang. Saat ini pun di sekitar Tegalrotan, Bintaro, pada malam hari terdapat anak-anak di antara para PSK. Tetapi pemerintah setempat seolah membiarkan hal ini terus berlangsung sampai sekarang.
“Dulu penyebab para pelajar menjadi PSK karena faktor ekonomi. Namun kini alasannyamulai bergeser ingin bergaya hidup mewah,” kata Koordinator Lapangan (Korlap) Gerakan Penanggulangan Narkoba dan AIDS (GPNA), Den Huri kepada antara di Sukabumi.
Menurut Huri, para pelajar yang kurang mampu tergiur melihat temannya yang memiliki barang mewah, seperti telepon seluler (ponsel) dan lainnya, sehingga mereka rela jadi PSK.
“Mereka jadi PSK secara sembunyi-sembunyi dengan cara dipanggil melalui ponsel. Mereka tidak menjajakan diri secara terbuka seperti PSK lainnya.”
Berdasarkan data GPNA jumlah PSK di Kota Sukabumi mencapai 776, terdiri atas PSK langsung 239 orang dan PSK tidak langsung (mereka yang juga bekerja) sebanyak 537 orang.
Pekerja Seks Komersil-Masih Pelajar
“Kebanyakan PSK tidak langsung adalah mereka yang bekerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Mereka menjadi PSK karena alasan ekonomi dan gaya hidup,” kata Huri yang akrab disapa Deden ini.
Deden mengatakan, pihaknya telah berupaya untuk menekan jumlah PSK dengan memberi pelatihan-pelatihan bekerja sama dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Penanggulangan Bencana (Dinsostek dan PB) Kota Sukabumi, seperti pelatihan tata rias dan salon. “Kami juga melakukan pendidikan sebaya kepada para PSK,” ujarnya.
Untuk mengatasi penularan HIV/AIDS di kalangan PSK, kata Deden, pihaknya juga telah memberi penyuluhan kepada mereka tentang bahaya HIV/AIDS sehingga mereka diminta melakukan hubungan intim dengan cara aman, seperti penggunaan kondom. Mereka juga diminta memeriksakan penyakit kelamin di Klinik Pelangi yang disediakan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi.
Namun, sejak tiga tahun program ini berjalan, hanya 357 PSK yang mau memeriksakan diri. “Ini menunjukkan tingkat kesadaran para PSK masih rendah untuk memeriksakan kesehatannya,” katanya.
Beberapa penelitian mencatat bahwa di sepanjang Jalan Raya Parung-Bogor pada tahun 2006 dari ratusan warung remang-remang, ditemukan 236 anak-anak di bawah 18 tahun yang menjadi pelayan sekaligus dapat bertransaksi seksual.
Sebanyak 60 persen mengaku masih bersekolah di sekitar Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Tangerang. Saat ini pun di sekitar Tegalrotan, Bintaro, pada malam hari terdapat anak-anak di antara para PSK. Tetapi pemerintah setempat seolah membiarkan hal ini terus berlangsung sampai sekarang.