Oleh Agustinus Wibowo
Fenomena transaksi seks berkedok massage panggilan, menjadi sebuah tren tersendiri. Peminatnya pun beragam, dari pria hidung belang hingga para gay yang menyasar hal ini sebagai sebuah modus operandi tersendiri. Seperti apa operasi mereka dan apa saja layanannya? ‘
Massage panggilan khusus pria oleh wanita muda, 24 jam on call 081 33701xxxx’. Begitu bunyi sebuah iklan mini yang terpampang di salah satu koran harian besar di Bali. Isinya, menawarkan layanan kebugaran panggilan yang siap melayani selama 24 jam, di mana saja dan kapan saja. Hampir setiap hari, iklan serupa dapat dengan mudah ditemui. Bahkan di salah satu koran khusus iklan yang beredar di Bali, ada yang dengan leluasa menyertakan jenis-jenis layanannya secara panjang lebar.
Meski tak semuanya, ternyata banyak di antara para pemasang iklan ini mempunyai ‘kemasan’ lain yang tak kalah larisnya. Apalagi kalau bukan bisnis lendir atau esek-esek. Ya, inilah salah satu modus baru dalam transaksi seks yang semakin beragam saja. Tanpa harus terbatasi ruang dan waktu, pengelola, mami atau germo, mereka yang menjajal modus ini semakin leluasa memburu rupiah.
Seperti yang dipaparkan wanita muda, sebut saja namanya Eni, 24, ini. Setelah menelusuri lewat iklan yang dipasang wanita asal Jember ini, saya berhasil mengorek sejumlah keterangan darinya. Menurut Eni, dengan cara ini, dirinya bisa leluasa berpraktik tanpa mesti terikat dengan siapa pun. “Modalnya juga tidak besar-besar amat, hanya pasang iklan saja paling Rp 100 ribu perminggu,” papar Eni.
Sebelumnya, dia mengaku bekerja di salah satu panti pijat di bilangan Jalan Pulau Moyo Denpasar, yang memang sudah terkenal dengan praktik prostitusi terselubungnya. Namun, suatu ketika, setelah melihat tayangan tengah malam di sebuah televisi swasta yang menceritakan tentang layanan sex on call, diapun tertarik. Dari sinilah,dia pun berminat mencoba.
Dengan modal sekitar Rp 50 ribu, dia mulai memasang iklan di salah satu koran. Hasilnya, setelah dua kali iklan, barulah ponsel milik Eni berdering. Seorang pria yang sudah berada di salah satu hotel di Ubung memintanya untuk datang. Sesampainya di sana, dia pun diminta untuk memijat. Dengan bekal ilmu dari panti pijat tempatnya bekerja dulu, Eni pun mulai beraksi.
Hasilnya, sang tamu pun mulai panas dingin hingga meminta yang lebih pada wanita bertubuh montok ini. Merasa pancingannya mulai berhasil, dia pun mensyaratkan bayaran lebih bagi layanan plus ini. Setelah disanggupi, bakar-bakaran birahi pun terjadi di kamar hotel ini. Tak sampai satu jam, transaksi selesai dan Eni pulang dengan mengantongi uang Rp 300 ribu.
Sejak saat itulah, transaksi birahi dengan modus ini terus dilakoninya. “Sekarang, seminggu, biasanya saya pasang iklan dua atau tiga kali,” ujar Eni. Hasilnya, hampir tiap hari hari ada saja order yang masuk. Karena on call 24 jam, kadang-kadang sehari diapun bisa melayani 2-3 tamu. Bila tamu menelepon, paparnya, mereka biasanya akan menanyakan dulu berapa tarif untuk pijat. Untuk menarik, dia mengatakan bahwa tarifnya hanya Rp 50 ribu untuk pijat saja.
Dengan begitu, tamu pun langsung tergoda dengan harga yang rendah. Di atas ranjang, barulah harga yang sesungguhnya dibuka. “Biasanya, pijitnya nggak lebih dari 15 menit. Habis itu sudah nggak kuat,” ujar Eni sambil terbahak-bahak. Siapa yang ‘kuat iman’ bila memang pijitannya secara khusus menyasar bagian-bagian yang sensitif.Bila sang tamu mulai pegang-pegang dan meminta lebih, Eni kemudian membuka harganya. Bila birahi sudah memuncak, biasanya para pelanggan ini tidak punya pilihan lain selain mengiyakan.
Secara khusus, wanita yang sudah setahun lebih bekerja sebagai pemijat plus ini, tidak mematok tarif. Namun tergantung pada keadaan. Bila yang diservis brondong alias masih anak muda dan ganteng, tarifnya bisa murah. “Minimal ya sekitar Rp 150 ribu, itu sudah bersih,” ujar wanita yang mengaku kerap mendapat pelanggan dari kalangan mahasiswa ini. Sementara untuk biaya sewa kamar dan yang lain-lain, harus ditanggung sepenuhnya oleh sang tamu.
Fenomena transaksi seks berkedok massage panggilan, menjadi sebuah tren tersendiri. Peminatnya pun beragam, dari pria hidung belang hingga para gay yang menyasar hal ini sebagai sebuah modus operandi tersendiri. Seperti apa operasi mereka dan apa saja layanannya? ‘
Massage panggilan khusus pria oleh wanita muda, 24 jam on call 081 33701xxxx’. Begitu bunyi sebuah iklan mini yang terpampang di salah satu koran harian besar di Bali. Isinya, menawarkan layanan kebugaran panggilan yang siap melayani selama 24 jam, di mana saja dan kapan saja. Hampir setiap hari, iklan serupa dapat dengan mudah ditemui. Bahkan di salah satu koran khusus iklan yang beredar di Bali, ada yang dengan leluasa menyertakan jenis-jenis layanannya secara panjang lebar.
Meski tak semuanya, ternyata banyak di antara para pemasang iklan ini mempunyai ‘kemasan’ lain yang tak kalah larisnya. Apalagi kalau bukan bisnis lendir atau esek-esek. Ya, inilah salah satu modus baru dalam transaksi seks yang semakin beragam saja. Tanpa harus terbatasi ruang dan waktu, pengelola, mami atau germo, mereka yang menjajal modus ini semakin leluasa memburu rupiah.
Seperti yang dipaparkan wanita muda, sebut saja namanya Eni, 24, ini. Setelah menelusuri lewat iklan yang dipasang wanita asal Jember ini, saya berhasil mengorek sejumlah keterangan darinya. Menurut Eni, dengan cara ini, dirinya bisa leluasa berpraktik tanpa mesti terikat dengan siapa pun. “Modalnya juga tidak besar-besar amat, hanya pasang iklan saja paling Rp 100 ribu perminggu,” papar Eni.
Sebelumnya, dia mengaku bekerja di salah satu panti pijat di bilangan Jalan Pulau Moyo Denpasar, yang memang sudah terkenal dengan praktik prostitusi terselubungnya. Namun, suatu ketika, setelah melihat tayangan tengah malam di sebuah televisi swasta yang menceritakan tentang layanan sex on call, diapun tertarik. Dari sinilah,dia pun berminat mencoba.
Dengan modal sekitar Rp 50 ribu, dia mulai memasang iklan di salah satu koran. Hasilnya, setelah dua kali iklan, barulah ponsel milik Eni berdering. Seorang pria yang sudah berada di salah satu hotel di Ubung memintanya untuk datang. Sesampainya di sana, dia pun diminta untuk memijat. Dengan bekal ilmu dari panti pijat tempatnya bekerja dulu, Eni pun mulai beraksi.
Hasilnya, sang tamu pun mulai panas dingin hingga meminta yang lebih pada wanita bertubuh montok ini. Merasa pancingannya mulai berhasil, dia pun mensyaratkan bayaran lebih bagi layanan plus ini. Setelah disanggupi, bakar-bakaran birahi pun terjadi di kamar hotel ini. Tak sampai satu jam, transaksi selesai dan Eni pulang dengan mengantongi uang Rp 300 ribu.
Sejak saat itulah, transaksi birahi dengan modus ini terus dilakoninya. “Sekarang, seminggu, biasanya saya pasang iklan dua atau tiga kali,” ujar Eni. Hasilnya, hampir tiap hari hari ada saja order yang masuk. Karena on call 24 jam, kadang-kadang sehari diapun bisa melayani 2-3 tamu. Bila tamu menelepon, paparnya, mereka biasanya akan menanyakan dulu berapa tarif untuk pijat. Untuk menarik, dia mengatakan bahwa tarifnya hanya Rp 50 ribu untuk pijat saja.
Dengan begitu, tamu pun langsung tergoda dengan harga yang rendah. Di atas ranjang, barulah harga yang sesungguhnya dibuka. “Biasanya, pijitnya nggak lebih dari 15 menit. Habis itu sudah nggak kuat,” ujar Eni sambil terbahak-bahak. Siapa yang ‘kuat iman’ bila memang pijitannya secara khusus menyasar bagian-bagian yang sensitif.Bila sang tamu mulai pegang-pegang dan meminta lebih, Eni kemudian membuka harganya. Bila birahi sudah memuncak, biasanya para pelanggan ini tidak punya pilihan lain selain mengiyakan.
Secara khusus, wanita yang sudah setahun lebih bekerja sebagai pemijat plus ini, tidak mematok tarif. Namun tergantung pada keadaan. Bila yang diservis brondong alias masih anak muda dan ganteng, tarifnya bisa murah. “Minimal ya sekitar Rp 150 ribu, itu sudah bersih,” ujar wanita yang mengaku kerap mendapat pelanggan dari kalangan mahasiswa ini. Sementara untuk biaya sewa kamar dan yang lain-lain, harus ditanggung sepenuhnya oleh sang tamu.