Masyarakat, khususnya generasi muda, diimbau untuk mengurangi perilaku konsumtif menggunakan bahan bakar minyak dari jenis fosil. Sebaliknya, mulai memikirkan dan menyosialisasikan penggunaan energi alternatif. Sebab, setidaknya pada 2014 mendatang, BBM jenis fosil ini akan mulai habis.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar Konferensi Energi Nasional Mahasiswa Indonesia (Kenmi) 2009 yang diadakan di Kampus Institut teknologi Bandung, Minggu (15/3). Seminar yang diikuti perwakilan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di 14 provinsi ini dihadiri Sekretaris Jendral Dewan Energi Nasional Novian M. Thaib, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Lambok Hutasoit, serta pengamat energi Prof. Widjajono Partowidagdo dan Sugiharto.
Menurut Lambok yang juga Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jika tidak peningkatan cadangan minyak terbukti (proven) , Indonesia hanya akan bisa mandiri energi (BBM) paling lama di 2014 mendatang. Ini mengingat tingginya kebutuhan BBM di tanah air. "Bukannya ingin menakut-nakuti, tetapi untuk lebih menggugah kita di sini agar mulai bisa memikirkan penggunaan sumber energi alternatif baru," ucapnya.
Ketua Steering Commitee The Indonesia Economic Intellegence yang juga adalah mantan Menteri BUMN, Sugiharto, mengungkapkan, pemborosan energi nasional dipicu pula gaya hidup yang konsumtif dari masyarakat. "Anak-anak muda, ingin makan jagung bakar saja sampai harus ke Puncak, buang-buang bensin 20 liter. Ini perilaku konsumtif. Harus berubah paradigmanya bahwa energi (BBM) itu mahal dan langka," tutur mantan petinggi perusahaan perminyakan nasional Medco Energi ini.
Novianto membenarkan, masyarakat di Indonesia termasuk yang terboros dalam hal pemanfaatan BBM. Perbandingan elastisitasnya 1,84. Jauh lebih boros dari Jepang dan Amerika Serikat, ucapnya. Jepang misalnya, koefesien elastisitasnya hanya 0,10. Untuk meningkatkan per 1 USD GDP (produk domestik bruto), masyarakat kita butuh 1,84 kali lipat energi BBM, ucapnya.
Di sisi lain, pengembangan energi alternatif saat ini belum memadai. Murahnya harga BBM mengakibatkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil. Menurut Widjajono, pengajar dari Perminyakan ITB yang juga anggota Dewan Energi Nasional, dilihat secara ekonomis dan kajian tata niaga, energi alternatif tidak mungkin bisa berkembang saat ini. Selama BBM lebih murah, itu akan selalu demikian. Harusnya energi alternatif ini yang mendapat subsidi. Karena langka, harusnya dibalik, BBM yang jadi alternatif energi, tuturnya.
Dalam kerangka mendorong kemandirian energi inilah perwakilan mahasiswa dari 14 provinsi ini dikumpulkan. Ada 21 paper kajian pemanfaatan energi (terbarukan) yang disesuaikan kebijakan daerah dan feasibilitasnya, ucap Ketua Panitia Kenmi 2009, Arif Rohman. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Selasa (17/3) mendatang. Dari acara ini diharapkan muncul rekomendasi mahasiswa tentang pola kemandirian energi.
Menurut Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Shana F. Sukarsono, kegiatan ini diharapkan mampu mendorong kemandirian energi, setidaknya di tingkat lokal (daerah) dari masing-masing peserta. Yaitu, kemandirian energi yang hidup dalam kultur kita, ucapnya. Di beberapa daerah, kemandirian energi ini diwujudkan antara lain lewat listrik bertenaga kincir air (mikrohidro), pemanfaatan minyak jarak dan gasifikasi sekam.
Hal tersebut mengemuka dalam seminar Konferensi Energi Nasional Mahasiswa Indonesia (Kenmi) 2009 yang diadakan di Kampus Institut teknologi Bandung, Minggu (15/3). Seminar yang diikuti perwakilan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di 14 provinsi ini dihadiri Sekretaris Jendral Dewan Energi Nasional Novian M. Thaib, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Lambok Hutasoit, serta pengamat energi Prof. Widjajono Partowidagdo dan Sugiharto.
Menurut Lambok yang juga Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, jika tidak peningkatan cadangan minyak terbukti (proven) , Indonesia hanya akan bisa mandiri energi (BBM) paling lama di 2014 mendatang. Ini mengingat tingginya kebutuhan BBM di tanah air. "Bukannya ingin menakut-nakuti, tetapi untuk lebih menggugah kita di sini agar mulai bisa memikirkan penggunaan sumber energi alternatif baru," ucapnya.
Ketua Steering Commitee The Indonesia Economic Intellegence yang juga adalah mantan Menteri BUMN, Sugiharto, mengungkapkan, pemborosan energi nasional dipicu pula gaya hidup yang konsumtif dari masyarakat. "Anak-anak muda, ingin makan jagung bakar saja sampai harus ke Puncak, buang-buang bensin 20 liter. Ini perilaku konsumtif. Harus berubah paradigmanya bahwa energi (BBM) itu mahal dan langka," tutur mantan petinggi perusahaan perminyakan nasional Medco Energi ini.
Novianto membenarkan, masyarakat di Indonesia termasuk yang terboros dalam hal pemanfaatan BBM. Perbandingan elastisitasnya 1,84. Jauh lebih boros dari Jepang dan Amerika Serikat, ucapnya. Jepang misalnya, koefesien elastisitasnya hanya 0,10. Untuk meningkatkan per 1 USD GDP (produk domestik bruto), masyarakat kita butuh 1,84 kali lipat energi BBM, ucapnya.
Di sisi lain, pengembangan energi alternatif saat ini belum memadai. Murahnya harga BBM mengakibatkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil. Menurut Widjajono, pengajar dari Perminyakan ITB yang juga anggota Dewan Energi Nasional, dilihat secara ekonomis dan kajian tata niaga, energi alternatif tidak mungkin bisa berkembang saat ini. Selama BBM lebih murah, itu akan selalu demikian. Harusnya energi alternatif ini yang mendapat subsidi. Karena langka, harusnya dibalik, BBM yang jadi alternatif energi, tuturnya.
Dalam kerangka mendorong kemandirian energi inilah perwakilan mahasiswa dari 14 provinsi ini dikumpulkan. Ada 21 paper kajian pemanfaatan energi (terbarukan) yang disesuaikan kebijakan daerah dan feasibilitasnya, ucap Ketua Panitia Kenmi 2009, Arif Rohman. Kegiatan ini akan berlangsung hingga Selasa (17/3) mendatang. Dari acara ini diharapkan muncul rekomendasi mahasiswa tentang pola kemandirian energi.
Menurut Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Shana F. Sukarsono, kegiatan ini diharapkan mampu mendorong kemandirian energi, setidaknya di tingkat lokal (daerah) dari masing-masing peserta. Yaitu, kemandirian energi yang hidup dalam kultur kita, ucapnya. Di beberapa daerah, kemandirian energi ini diwujudkan antara lain lewat listrik bertenaga kincir air (mikrohidro), pemanfaatan minyak jarak dan gasifikasi sekam.