'Kang, Bagaimana kalau Kita ke Atas'
MASIH mengenakan pakaian seragam sekolah putih abu-abu, Lusi berdiri di dekat lampu pengatur lalu lintas di Jl Asia Afrika, Bandung. Ia akan segera mendekat bila ada di antara antrean mobil yang membunyikan klakson atau memberi isyarat dengan lampu.
Seperti sudah biasa, ia menarik pembuka pintu dan duduk di samping pengemudi, "Mau diajak ke mana, Kang," katanya. Itu adalah kalimat pembuka setiap dia masuk ke dalam mobil. Tanpa menunggu jawaban, ia akan menyambung, "Ke plaza dulu ya."
Di salah satu pusat pertokoan yang berada di alun-alun, Lusi langsung menyelinap ke counter pakaian wanita. Ia mengambil sebuah T-shirt. Setelah itu, dia mengatakan, "Bagaimana kalau kita ke atas." Maksudnya ia mengajak ke daerah Lembang.
Lusi menceritakan, ia sudah biasa berkencan di Lembang, "Di sana banyak hotel. Lagi pula lebih aman, nggak ada yang lihat," katanya. Ia menyebut sejumlah hotel di Lembang. Antara lain Gumilang Sari, Panorama, Putri Gunung, Telaga Sari, Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante.
Lusi seperti sudah terbiasa ke sejumlah hotel itu. Dia bercerita, kalau tamu dari luar kota, biasanya membawanya ke sebuah hotel yang lokasinya agak tersembunyi di kaki gunung, "Tapi pukul 10 malam, saya sudah minta diantar pulang," katanya.
Di hotel mana pun dia berkencan, tidak pernah menginap karena takut dicurigai orang tuanya. Bila terlambat pulang, ia selalu beralasan pergi main ke rumah temannya. Dan orang tuanya percaya.
Lusi, siswa sebuah SLTA cukup ternama di Kota Bandung itu, mengaku tidak setiap hari mencari 'mangsa'. "Kalau lagi iseng saja," katanya. Dia memasang tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan.
Lain lagi cerita Yanti. Mahasiswa semester pertama sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Ia biasa berkeliaran di Cihampelas, "Sambil jalan-jalan lihat pakaian, biasanya ada yang ngajak," kata gadis hitam manis itu.
Ia sebetulnya ada dalam 'jaringan' wanita terorganisasi di Bandung. Bila ada yang membutuhkan, dia biasa dihubungi oleh teman prianya yang mempunyai hubungan dengan karyawan sebuah hotel, "Saya biasa menemani tamu hotel yang rapat," katanya.
Gadis asal Tasikmalaya itu, biasanya di-booking ke hotel terkenal di Lembang, "Melayani para bos," katanya. Yanti memasang tarif juga Rp 200 ribu. Tapi bila melayani orang rapat, sering kali mendapat tips yang cukup besar.
Yanti terjun ke dunia prostitusi ketika masih kelas dua SLTA di Bandung. Ia tergoda oleh ajakan teman-temannya, "Mereka sering memperlihatkan uang bergupel-gumpel. Pakaiannya juga bagus-bagus," katanya.
Pertama kali Yanti ikut 'mejeng' bersama temannya di sekitar alun-alun. Ketika itu dia memperhatikan betul gaya temannya memancing perhatian pria. Dia pun mencoba-coba dan tergaet seorang pria dari Jakarta yang usianya sekitar 35 tahun.
"Itu pertama kali saya dibawa ke hotel. Rasanya takut juga sih. Tapi karena pria itu ganteng, saya jadi suka," katanya. Saat itu ia memang sudah tidak perawan lagi, karena sudah berkali-kali berhubungan dengan pacarnya.
Dengan pria yang pertama kali membawanya ke hotel itu, ia sempat menjalin asmara selama beberapa bulan. Setiap pria tersebut datang ke Bandung, selalu mengontak Yanti untuk menemaninya. Tapi lama-lama ia jarang muncul bahkan tidak pernah muncul sama sekali, "Sudah tidak pernah lagi jumpa dia," ujarnya.
Yanti tidak sendiri mencari 'mangsa' di Cihampelas. Di pasar jins terkenal di Bandung itu, menurut Yanti terdapat sejumlah ABG yang pura-pura belanja. Ciri-cirinya tidak terlalu sulit dikenali, biasanya mereka keluar masuk toko tanpa membeli apa pun, dan suka berlama-lama melihat pakaian bila ada pria yang diincar.
Para ABG di Cihampelas itu, oleh tamu biasanya dibawa ke hotel yang membuka short time, seperti Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante. Juga sejumlah penginapan yang berada sepanjang Jl Pasir Kaliki sampai Lembang.
Di Bandung ada juga gadis ABG yang berkeliaran di diskotek. Mereka bisa dijumpai pasang aksi di Jl Braga. Kepada pria yang mendekatinya, langsung diajak ke diskotek.
"Sebutir dua butir juga jadi," kata Rina. Maksudnya ia bersedia diajak melakukan apa pun bila diberikan ekstasi.
Bila diberikan pil yang satu itu, pelajar kelas tiga SLTA itu, tidak pernah memilih-milih pria yang mengajaknya berkencan, "Tempat chek in banyak di sini," katanya.
Di tempat-tempat terbuka alias umum, tanpa rasa canggung dan malu, biasa dijumpai wanita yang 'menjajakan' diri.
"Hai, mau ke mana? Mau ngamar nggak?" begitu pertanyaan yang meluncur dari mulut-mulut bergincu merah bak tanpa perasaan berdosa. Pelacur yang bergaya vulgar macam begitu bisa ditemui di Alun-alun Bandung dan sekitarnya, meliputi Jalan Asia Afrika, Dewi Sartika, Dalem Kaum, Sudirman, Otto Iskandinata, Banceuy, dan ABC.
Tak sedikit di antara mereka yang tergolong ABG alias anak baru gede. Hanya saja kawasan pusat kota ini lebih banyak 'dikuasai' perempuan dewasa yang juga mengaku ABG. "Cari ABG? ABG yang mana? Atas Bawah Gondrong?" kata wanita yang mengaku bernama Ani diiringi cekikikan.
Di Bandung, trennya memang para ABG 'asli' lebih banyak mejeng di pusat-pusat perbelanjaan seperti Bandung Indah Plaza (BIP) di Jalan Merdeka, dekat Balai Kota. Atau di Jalan Juanda atau Dago, terutama di sekitar pasar swalayan Superindo dan Plaza Dago.
Sedangkan yang tergolong masih dekat dengan Alun-alun Bandung, para ABG banyak bergerombol di King Shopping Center Jalan Kepatihan dan Diskotek LA di Jalan Asia Afrika.
Sudah menjadi rahasia umum kalau para ABG itu 'bisa dipakai' siapa saja. Berbeda dengan para senior mereka, para ABG ini kebanyakan tidak menawarkan diri dan menolak cara-cara vulgar. Bahkan umumnya langsung menolak kalau diajak secara langsung untuk transaksi seks.
"Sorry, kita bukan perempuan begituan," begitulah jawabannya kalau ada pria yang, menurut ukuran mereka, nggak tahu 'sopan santun'.
'Jalan-jalan, 'Beliin' Baju, Oke'
MEREKA sangat membenci pria yang tidak mengenal sopan santun. Seperti yang dituturkan Yuni, yang mengaku masih sekolah di SLTP, "Sebel deh sama cowok kayak gitu. Padahal kalau dia bisa baik-baikin kita, kalau udah waktunya, ntar juga dikasih."
Memang para ABG Bandung umumnya tidak mau disebut pelacur. "Kan kita nggak dibayar dan kalaupun saya mau ngelakuin begituan, kan bukan karena bayarannya tetapi memang karena saya suka," jelas Yuni yang mengungkapkan dirinya dan umumnya teman-teman nongkrongnya, berasal dari keluarga yang kurang harmonis.
"Kalau dia ngajak kita jalan-jalan, lalu jajan, lalu beliin baju, atau ngasih hadiah apa gitu, ya oke. Itu kan karena dia mampu," tegas Yuni. "Nggak pake begituan juga, kalau saya suka, dia nunjukin perhatian, orangnya enakan, saya kasih juga."
Para ABG yang biasa hidup dalam pergaulan bebas tanpa batas ini umumnya merasa kesepian karena kurang perhatian keluarga. Umumnya juga bukan dari keluarga dengan latar belakang ekonomi pas-pasan. "Mami sama Papi pada sibuk semua," kata remaja sebuah SMU yang mengaku bernama Lia. "Kita sih nggak mau banyak mikir. Pokoknya kalau masih bisa hidup senang-senang begini, ya kita lakuin," katanya soal 'pelariannya' ini.
Meskipun umumnya tidak mau disebut pelacur karena mengaku tidak pernah pasang tarif, tetapi pada prakteknya banyak lelaki hidung belang yang kena batunya. Paling tidak itulah pengakuan Iis, mengaku siswi SMU BPI, ketika menceritakan pernah ngerjain om-om yang mendekati dirinya.
"Sesudah dapat traktiran makan dan minum, Iis mengajak dia masuk ke Yogya (Departement store BIP). Dia mau saja dan membayar setelan baju yang lumayan mahal. Kira-kira bajunya ama bawahan (rok) aja, Rp 300 ribu," jelas Iis. Dan Iis tentu saja pada malam Minggu itu harus mau melayani hasrat om itu di hotel sampai pagi. "Mama Papa nggak tahu kalau Iis udah biasa hubungan suami istri. Dan kalau kita pulang pagi, Mama Papa pikir kita cuma ke disko aja," kata Iis.
Bayaran Rp 300 ribu itu buat Iis memang bukan harga mati. Karena menurut dia pernah juga ada yang 'kebagian jatah' meskipun cuma mentraktir makan dan minum saja. "Pernah habis tripping, terus pas mau pulang pukul dua pagi, pas nunggu taksi disamperin cowok. Katanya, mau bareng nggak? Ya mau aja," kisah Iis.
"Lantas dia mengajak makan. Habis itu dia bilang cari hotel yuk. Berhubung saya juga lagi kepengen, ya udah jadi saja," kata Iis yang mengaku tidak pernah minta bayaran. "Cowok itu nggak bayar saya, cuma nganterin pulang pakai taksi," lanjutnya.
Buat Iis dan beberapa temannya, 'aturan main' yang seperti itu menunjukkan komitmen mereka untuk benar-benar tidak mau disebut pelacur. Meskipun sudah berusaha menunjukkan perbedaan dan posisi sekuat itu tetap saja masyarakat dan termasuk juga para 'pemakai jasa' mereka menganggap para ABG itu sebagai perempuan sewaan alias pelacur. Bahkan boleh dibilang pelacur gres dengan tarif murah.
Di kalangan lelaki hidung belang umumnya tersebar cerita bahwa dengan cuma punya uang Rp 30 ribu rupiah di kantong, para pria iseng bisa menikmati layanan seks kelas satu yang 'dingin-dingin empuk'. Dan mengenai murahnya tarif pelacur ABG itu diakui juga oleh Dian yang ditemui saat mejeng di Jalan Juanda.
"Gampang, kok Mas, asal bisa ngajak ngobrol mereka, ya sambil nraktir dong, kalau Mas mau mereka juga mau kok," kata Dian menunjuk ke arah teman-teman seusianya yang tengah bercengkerama di depan Swalayan Superindo. "Yang penting, sama-sama suka," tegasnya.
Berdasarkan cerita Dian, para lelaki hidung belang paling-paling harus menambah biaya sewa kamar hotel kelas melati. Hotel-hotel di kawasan Jalan Setiabudi dan Jalan Raya Lembang umumnya diketahui memberikan layanan atau tarif khusus kepada pasangan bukan suami istri ini. Misalnya, Hotel Giri Elok dan Gumilang Sari.
"Kalau di Jalan Dago, kita bisa pakai Hotel Buah Dua," jelas Dian yang tahun ini baru lulus SMU. Menurut Dian, tarif short time hotel-hotel itu umumnya sekitar Rp 35.000.
Dian juga mengatakan umumnya para ABG ini senang dengan pria yang bergaya dan mudah bergaul. "Makanya kalau mau ketaksir sama mereka, pakaian, gaya rambut, parfum, ya harus trendi, kayak mereka gitu," jelas Dian yang mengaku mulai kenal gaya hidup seks bebas itu sejak masuk di kelas I SMU, dua tahun silam.
Cerita Dian soal 'tradisi' ABG 'bebas' ini tak sepenuhnya benar. Paling tidak ada kontroversi dengan pengakuan Nola, murid sebuah SMU di Dago. "Saya cuma mau kencan sama pria yang keren dan berselera tinggi," katanya.
Serupa dengan Dian, Nola memang tak mempermasalahkan tarif kencan, bahkan bisa gratis. "Yang penting mau nraktir di restoran yang kelasnya oke, terus mau beliin baju dan yang pasti punya mobil yang asyik buat jalan-jalan," kata Nola yang ceplas-ceplos ini.
Lantas Nola mengakui bahwa untuk menyenangkan dirinya itu tidak jarang seorang lelaki harus mengeluarkan dari koceknya Rp 300 ribu - Rp 500 ribu. "Heran juga, kok mereka nggak keberatan, padahal kalau mau murah juga banyak," kata Nola yang semampai dengan kulit putih mulus ini.
Para ABG yang dapat 'dipakai' ini umumnya mudah dikenali dengan dandanan mereka yang ngetrend dengan baju pendek sehingga kelihatan pinggang dan pusarnya, atau menggunakan rok mini yang modis. Meskipun sama-sama seksi, biasanya sangat berbeda dengan pelacur senior dari cara merias wajah.
Para ABG biasanya tidak tampil terlalu menor atau make up kelewatan tebal. Mereka masih dengan gaya muda ceria. Selain itu para ABG lebih pintar memantas-mantas diri sesuai dengan mode yang lagi in.
Perbedaan lainnya, mereka pun tidak pernah menawar-nawarkan diri, entah karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi alias pe-de, karena umumnya memang cantik alamiah, atau karena memang itu 'kiat' pemasarannya. Yang pasti, para ABG ini biasa bergerombol dan asyik dengan dunia mereka sendiri, sampai ada yang mengajak berkenalan dan berkencan. Saat itulah mereka menjadi sama dengan umumnya wanita bayaran.
Meskipun tarif mereka sering lebih murah, para ABG 'pemuas nafsu' ini lebih nyaman berpraktek ketimbang para senior yang lebih 'profesional'. Para ABG hampir tidak pernah dirazia polisi. Mungkin karena mereka tampak seperti anak-anak kemarin sore yang terkesan masih ceria bermain di pusat keramaian Kota Kembang.
MASIH mengenakan pakaian seragam sekolah putih abu-abu, Lusi berdiri di dekat lampu pengatur lalu lintas di Jl Asia Afrika, Bandung. Ia akan segera mendekat bila ada di antara antrean mobil yang membunyikan klakson atau memberi isyarat dengan lampu.
Seperti sudah biasa, ia menarik pembuka pintu dan duduk di samping pengemudi, "Mau diajak ke mana, Kang," katanya. Itu adalah kalimat pembuka setiap dia masuk ke dalam mobil. Tanpa menunggu jawaban, ia akan menyambung, "Ke plaza dulu ya."
Di salah satu pusat pertokoan yang berada di alun-alun, Lusi langsung menyelinap ke counter pakaian wanita. Ia mengambil sebuah T-shirt. Setelah itu, dia mengatakan, "Bagaimana kalau kita ke atas." Maksudnya ia mengajak ke daerah Lembang.
Lusi menceritakan, ia sudah biasa berkencan di Lembang, "Di sana banyak hotel. Lagi pula lebih aman, nggak ada yang lihat," katanya. Ia menyebut sejumlah hotel di Lembang. Antara lain Gumilang Sari, Panorama, Putri Gunung, Telaga Sari, Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante.
Lusi seperti sudah terbiasa ke sejumlah hotel itu. Dia bercerita, kalau tamu dari luar kota, biasanya membawanya ke sebuah hotel yang lokasinya agak tersembunyi di kaki gunung, "Tapi pukul 10 malam, saya sudah minta diantar pulang," katanya.
Di hotel mana pun dia berkencan, tidak pernah menginap karena takut dicurigai orang tuanya. Bila terlambat pulang, ia selalu beralasan pergi main ke rumah temannya. Dan orang tuanya percaya.
Lusi, siswa sebuah SLTA cukup ternama di Kota Bandung itu, mengaku tidak setiap hari mencari 'mangsa'. "Kalau lagi iseng saja," katanya. Dia memasang tarif Rp 200 ribu untuk sekali kencan.
Lain lagi cerita Yanti. Mahasiswa semester pertama sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Ia biasa berkeliaran di Cihampelas, "Sambil jalan-jalan lihat pakaian, biasanya ada yang ngajak," kata gadis hitam manis itu.
Ia sebetulnya ada dalam 'jaringan' wanita terorganisasi di Bandung. Bila ada yang membutuhkan, dia biasa dihubungi oleh teman prianya yang mempunyai hubungan dengan karyawan sebuah hotel, "Saya biasa menemani tamu hotel yang rapat," katanya.
Gadis asal Tasikmalaya itu, biasanya di-booking ke hotel terkenal di Lembang, "Melayani para bos," katanya. Yanti memasang tarif juga Rp 200 ribu. Tapi bila melayani orang rapat, sering kali mendapat tips yang cukup besar.
Yanti terjun ke dunia prostitusi ketika masih kelas dua SLTA di Bandung. Ia tergoda oleh ajakan teman-temannya, "Mereka sering memperlihatkan uang bergupel-gumpel. Pakaiannya juga bagus-bagus," katanya.
Pertama kali Yanti ikut 'mejeng' bersama temannya di sekitar alun-alun. Ketika itu dia memperhatikan betul gaya temannya memancing perhatian pria. Dia pun mencoba-coba dan tergaet seorang pria dari Jakarta yang usianya sekitar 35 tahun.
"Itu pertama kali saya dibawa ke hotel. Rasanya takut juga sih. Tapi karena pria itu ganteng, saya jadi suka," katanya. Saat itu ia memang sudah tidak perawan lagi, karena sudah berkali-kali berhubungan dengan pacarnya.
Dengan pria yang pertama kali membawanya ke hotel itu, ia sempat menjalin asmara selama beberapa bulan. Setiap pria tersebut datang ke Bandung, selalu mengontak Yanti untuk menemaninya. Tapi lama-lama ia jarang muncul bahkan tidak pernah muncul sama sekali, "Sudah tidak pernah lagi jumpa dia," ujarnya.
Yanti tidak sendiri mencari 'mangsa' di Cihampelas. Di pasar jins terkenal di Bandung itu, menurut Yanti terdapat sejumlah ABG yang pura-pura belanja. Ciri-cirinya tidak terlalu sulit dikenali, biasanya mereka keluar masuk toko tanpa membeli apa pun, dan suka berlama-lama melihat pakaian bila ada pria yang diincar.
Para ABG di Cihampelas itu, oleh tamu biasanya dibawa ke hotel yang membuka short time, seperti Pondok Kahuripan, Lebak Gunung, dan Juvante. Juga sejumlah penginapan yang berada sepanjang Jl Pasir Kaliki sampai Lembang.
Di Bandung ada juga gadis ABG yang berkeliaran di diskotek. Mereka bisa dijumpai pasang aksi di Jl Braga. Kepada pria yang mendekatinya, langsung diajak ke diskotek.
"Sebutir dua butir juga jadi," kata Rina. Maksudnya ia bersedia diajak melakukan apa pun bila diberikan ekstasi.
Bila diberikan pil yang satu itu, pelajar kelas tiga SLTA itu, tidak pernah memilih-milih pria yang mengajaknya berkencan, "Tempat chek in banyak di sini," katanya.
Di tempat-tempat terbuka alias umum, tanpa rasa canggung dan malu, biasa dijumpai wanita yang 'menjajakan' diri.
"Hai, mau ke mana? Mau ngamar nggak?" begitu pertanyaan yang meluncur dari mulut-mulut bergincu merah bak tanpa perasaan berdosa. Pelacur yang bergaya vulgar macam begitu bisa ditemui di Alun-alun Bandung dan sekitarnya, meliputi Jalan Asia Afrika, Dewi Sartika, Dalem Kaum, Sudirman, Otto Iskandinata, Banceuy, dan ABC.
Tak sedikit di antara mereka yang tergolong ABG alias anak baru gede. Hanya saja kawasan pusat kota ini lebih banyak 'dikuasai' perempuan dewasa yang juga mengaku ABG. "Cari ABG? ABG yang mana? Atas Bawah Gondrong?" kata wanita yang mengaku bernama Ani diiringi cekikikan.
Di Bandung, trennya memang para ABG 'asli' lebih banyak mejeng di pusat-pusat perbelanjaan seperti Bandung Indah Plaza (BIP) di Jalan Merdeka, dekat Balai Kota. Atau di Jalan Juanda atau Dago, terutama di sekitar pasar swalayan Superindo dan Plaza Dago.
Sedangkan yang tergolong masih dekat dengan Alun-alun Bandung, para ABG banyak bergerombol di King Shopping Center Jalan Kepatihan dan Diskotek LA di Jalan Asia Afrika.
Sudah menjadi rahasia umum kalau para ABG itu 'bisa dipakai' siapa saja. Berbeda dengan para senior mereka, para ABG ini kebanyakan tidak menawarkan diri dan menolak cara-cara vulgar. Bahkan umumnya langsung menolak kalau diajak secara langsung untuk transaksi seks.
"Sorry, kita bukan perempuan begituan," begitulah jawabannya kalau ada pria yang, menurut ukuran mereka, nggak tahu 'sopan santun'.
'Jalan-jalan, 'Beliin' Baju, Oke'
MEREKA sangat membenci pria yang tidak mengenal sopan santun. Seperti yang dituturkan Yuni, yang mengaku masih sekolah di SLTP, "Sebel deh sama cowok kayak gitu. Padahal kalau dia bisa baik-baikin kita, kalau udah waktunya, ntar juga dikasih."
Memang para ABG Bandung umumnya tidak mau disebut pelacur. "Kan kita nggak dibayar dan kalaupun saya mau ngelakuin begituan, kan bukan karena bayarannya tetapi memang karena saya suka," jelas Yuni yang mengungkapkan dirinya dan umumnya teman-teman nongkrongnya, berasal dari keluarga yang kurang harmonis.
"Kalau dia ngajak kita jalan-jalan, lalu jajan, lalu beliin baju, atau ngasih hadiah apa gitu, ya oke. Itu kan karena dia mampu," tegas Yuni. "Nggak pake begituan juga, kalau saya suka, dia nunjukin perhatian, orangnya enakan, saya kasih juga."
Para ABG yang biasa hidup dalam pergaulan bebas tanpa batas ini umumnya merasa kesepian karena kurang perhatian keluarga. Umumnya juga bukan dari keluarga dengan latar belakang ekonomi pas-pasan. "Mami sama Papi pada sibuk semua," kata remaja sebuah SMU yang mengaku bernama Lia. "Kita sih nggak mau banyak mikir. Pokoknya kalau masih bisa hidup senang-senang begini, ya kita lakuin," katanya soal 'pelariannya' ini.
Meskipun umumnya tidak mau disebut pelacur karena mengaku tidak pernah pasang tarif, tetapi pada prakteknya banyak lelaki hidung belang yang kena batunya. Paling tidak itulah pengakuan Iis, mengaku siswi SMU BPI, ketika menceritakan pernah ngerjain om-om yang mendekati dirinya.
"Sesudah dapat traktiran makan dan minum, Iis mengajak dia masuk ke Yogya (Departement store BIP). Dia mau saja dan membayar setelan baju yang lumayan mahal. Kira-kira bajunya ama bawahan (rok) aja, Rp 300 ribu," jelas Iis. Dan Iis tentu saja pada malam Minggu itu harus mau melayani hasrat om itu di hotel sampai pagi. "Mama Papa nggak tahu kalau Iis udah biasa hubungan suami istri. Dan kalau kita pulang pagi, Mama Papa pikir kita cuma ke disko aja," kata Iis.
Bayaran Rp 300 ribu itu buat Iis memang bukan harga mati. Karena menurut dia pernah juga ada yang 'kebagian jatah' meskipun cuma mentraktir makan dan minum saja. "Pernah habis tripping, terus pas mau pulang pukul dua pagi, pas nunggu taksi disamperin cowok. Katanya, mau bareng nggak? Ya mau aja," kisah Iis.
"Lantas dia mengajak makan. Habis itu dia bilang cari hotel yuk. Berhubung saya juga lagi kepengen, ya udah jadi saja," kata Iis yang mengaku tidak pernah minta bayaran. "Cowok itu nggak bayar saya, cuma nganterin pulang pakai taksi," lanjutnya.
Buat Iis dan beberapa temannya, 'aturan main' yang seperti itu menunjukkan komitmen mereka untuk benar-benar tidak mau disebut pelacur. Meskipun sudah berusaha menunjukkan perbedaan dan posisi sekuat itu tetap saja masyarakat dan termasuk juga para 'pemakai jasa' mereka menganggap para ABG itu sebagai perempuan sewaan alias pelacur. Bahkan boleh dibilang pelacur gres dengan tarif murah.
Di kalangan lelaki hidung belang umumnya tersebar cerita bahwa dengan cuma punya uang Rp 30 ribu rupiah di kantong, para pria iseng bisa menikmati layanan seks kelas satu yang 'dingin-dingin empuk'. Dan mengenai murahnya tarif pelacur ABG itu diakui juga oleh Dian yang ditemui saat mejeng di Jalan Juanda.
"Gampang, kok Mas, asal bisa ngajak ngobrol mereka, ya sambil nraktir dong, kalau Mas mau mereka juga mau kok," kata Dian menunjuk ke arah teman-teman seusianya yang tengah bercengkerama di depan Swalayan Superindo. "Yang penting, sama-sama suka," tegasnya.
Berdasarkan cerita Dian, para lelaki hidung belang paling-paling harus menambah biaya sewa kamar hotel kelas melati. Hotel-hotel di kawasan Jalan Setiabudi dan Jalan Raya Lembang umumnya diketahui memberikan layanan atau tarif khusus kepada pasangan bukan suami istri ini. Misalnya, Hotel Giri Elok dan Gumilang Sari.
"Kalau di Jalan Dago, kita bisa pakai Hotel Buah Dua," jelas Dian yang tahun ini baru lulus SMU. Menurut Dian, tarif short time hotel-hotel itu umumnya sekitar Rp 35.000.
Dian juga mengatakan umumnya para ABG ini senang dengan pria yang bergaya dan mudah bergaul. "Makanya kalau mau ketaksir sama mereka, pakaian, gaya rambut, parfum, ya harus trendi, kayak mereka gitu," jelas Dian yang mengaku mulai kenal gaya hidup seks bebas itu sejak masuk di kelas I SMU, dua tahun silam.
Cerita Dian soal 'tradisi' ABG 'bebas' ini tak sepenuhnya benar. Paling tidak ada kontroversi dengan pengakuan Nola, murid sebuah SMU di Dago. "Saya cuma mau kencan sama pria yang keren dan berselera tinggi," katanya.
Serupa dengan Dian, Nola memang tak mempermasalahkan tarif kencan, bahkan bisa gratis. "Yang penting mau nraktir di restoran yang kelasnya oke, terus mau beliin baju dan yang pasti punya mobil yang asyik buat jalan-jalan," kata Nola yang ceplas-ceplos ini.
Lantas Nola mengakui bahwa untuk menyenangkan dirinya itu tidak jarang seorang lelaki harus mengeluarkan dari koceknya Rp 300 ribu - Rp 500 ribu. "Heran juga, kok mereka nggak keberatan, padahal kalau mau murah juga banyak," kata Nola yang semampai dengan kulit putih mulus ini.
Para ABG yang dapat 'dipakai' ini umumnya mudah dikenali dengan dandanan mereka yang ngetrend dengan baju pendek sehingga kelihatan pinggang dan pusarnya, atau menggunakan rok mini yang modis. Meskipun sama-sama seksi, biasanya sangat berbeda dengan pelacur senior dari cara merias wajah.
Para ABG biasanya tidak tampil terlalu menor atau make up kelewatan tebal. Mereka masih dengan gaya muda ceria. Selain itu para ABG lebih pintar memantas-mantas diri sesuai dengan mode yang lagi in.
Perbedaan lainnya, mereka pun tidak pernah menawar-nawarkan diri, entah karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi alias pe-de, karena umumnya memang cantik alamiah, atau karena memang itu 'kiat' pemasarannya. Yang pasti, para ABG ini biasa bergerombol dan asyik dengan dunia mereka sendiri, sampai ada yang mengajak berkenalan dan berkencan. Saat itulah mereka menjadi sama dengan umumnya wanita bayaran.
Meskipun tarif mereka sering lebih murah, para ABG 'pemuas nafsu' ini lebih nyaman berpraktek ketimbang para senior yang lebih 'profesional'. Para ABG hampir tidak pernah dirazia polisi. Mungkin karena mereka tampak seperti anak-anak kemarin sore yang terkesan masih ceria bermain di pusat keramaian Kota Kembang.