Sekitar 7 tahun lalu, ketika ponsel new-entry level kisaran harganya sekitar satu juta—itu pun ringtone-nya masih polifonik dan layarnya monokrom—semua pemilik ponsel seperti terkena wabah ‘demam SMS’. Hampir setiap saat kita bakal dengan mudah menjumpai orang selalu mengutak-atik ponselnya. Dari yang memang berkirim dan menerima SMS, sampai ada juga yang iseng membaca-baca SMS yang sebenarnya sudah pernah dibacanya. Hayuuu ngaku deh…
Maklum sih, saat itu memang tarif percakapan seluler tergolong mahal. Mau gak mau, orang mengandalkan SMS dalam berkomunikasi. Padahal, saat itu tarif SMS juga belum semurah sekarang dimana tarif SMS dimodifikasi sedemikian mungkin oleh operator sebagai ajang promo. Malah ada yang SMS gratisan.
Meskipun saat itu saya sudah menggenggam ponsel Siemmens S75 jadul–ukuran sebesar charger laptop dan berantena—bukan berarti saya tidak kesal dengan fenomena gayap SMS-an ini. Saya justru paling kesal jika sedang nongkrong dengan teman-teman, tapi mereka malah sibuk dengan ponsel masing-masing. Ada yang SMS-an, ada yang ngutak-atik phonebook, ada yang sibuk bikin aransemen ringtone, sampai yang gak penting: menatap icon-icon menu. Memang sih mereka cukup responsif ketika ngobrol, tapi tetap aja matanya fokus ke layar ponsel masing-masing. Kesannya cuek-cuekan gitu.
Tapi, di era konvergensi teknologi seperti sekarang ini, dimana ponsel bagaikan sebuah mesin ajaib yang bisa menghubungkan penggunanya ke dunia maya, kondisi nongkrong bareng bisa lebih hambar. Apalagi jika penggunaannya sudah dibumbui dengan candu Facebook dan Yahoo Messengger, wah siap-siap deh acara nongkrong jadi kurang seru.
Sudah beberapa kali ini saya nongkrong dengan orang-orang yang berbeda dan gerombolan yang berbeda pula, tapi karena mereka sedang demam chatting atau fesbukan lewat ponselnya—terutama BlackBerry—justru hajat nongkrong malah seperti musuh-musuhan. Di atas satu meja yang sama, masing-masing tangan menggenggam ponsel melakukan aktivitas mayanya. Tidak ada yang responsif terhadap obrolan. Mereka hanya tersenyum kepada sosok yang dijumpainya di layar ponsel. Kondisi ini tidak ubahnya seperti penderita autis yang tidak responsif terhadap dunia nyata.
Kalau sudah begini, saya termasuk orang yang paling sewot. Ya, kalau acara nongkrong bakal berjalan seperti ini, lebih baik nongkrong lewat sarana chat atau fesbuk saja. Cukup mengherankan memang, apakah demam fitur teknologi seperti ini harus merubah paradigma orang dalam kehidupan sosialnya? Sebab, tidak jarang lho, teman-teman saya yang jago banyol di YM, justru pas ketemu dia malah biasa-biasa saja dan cenderung pendiam. Jadi, rupanya dunia maya sepertinya menjadi tempat yang nyaman bagi dia untuk berekspresi.
Wah, kalau gejala ‘autis’ seperti ini kian gawat, saya sangat takutkan kehidupan sosial manusia sudah berasas teknologi, seperti yang terjadi di film animasi “Wall-E” dimana setiap orang hanya asik menatap monitor perantara komunikasinya. Meskipun dua orang berpapasan, tapi percakapan tetap saja lewat media tersebut. Pertemuan secara fisik seolah punah tergantikan pertemuan virtual. Terkesan hiperbolis? Memang. Tapi kalau manusia hanya asik dan peduli terhadap gadget yang disandangnya, tidak mustahil social life kita bakal tergantikan secara virtual.
Maklum sih, saat itu memang tarif percakapan seluler tergolong mahal. Mau gak mau, orang mengandalkan SMS dalam berkomunikasi. Padahal, saat itu tarif SMS juga belum semurah sekarang dimana tarif SMS dimodifikasi sedemikian mungkin oleh operator sebagai ajang promo. Malah ada yang SMS gratisan.
Meskipun saat itu saya sudah menggenggam ponsel Siemmens S75 jadul–ukuran sebesar charger laptop dan berantena—bukan berarti saya tidak kesal dengan fenomena gayap SMS-an ini. Saya justru paling kesal jika sedang nongkrong dengan teman-teman, tapi mereka malah sibuk dengan ponsel masing-masing. Ada yang SMS-an, ada yang ngutak-atik phonebook, ada yang sibuk bikin aransemen ringtone, sampai yang gak penting: menatap icon-icon menu. Memang sih mereka cukup responsif ketika ngobrol, tapi tetap aja matanya fokus ke layar ponsel masing-masing. Kesannya cuek-cuekan gitu.
Tapi, di era konvergensi teknologi seperti sekarang ini, dimana ponsel bagaikan sebuah mesin ajaib yang bisa menghubungkan penggunanya ke dunia maya, kondisi nongkrong bareng bisa lebih hambar. Apalagi jika penggunaannya sudah dibumbui dengan candu Facebook dan Yahoo Messengger, wah siap-siap deh acara nongkrong jadi kurang seru.
Sudah beberapa kali ini saya nongkrong dengan orang-orang yang berbeda dan gerombolan yang berbeda pula, tapi karena mereka sedang demam chatting atau fesbukan lewat ponselnya—terutama BlackBerry—justru hajat nongkrong malah seperti musuh-musuhan. Di atas satu meja yang sama, masing-masing tangan menggenggam ponsel melakukan aktivitas mayanya. Tidak ada yang responsif terhadap obrolan. Mereka hanya tersenyum kepada sosok yang dijumpainya di layar ponsel. Kondisi ini tidak ubahnya seperti penderita autis yang tidak responsif terhadap dunia nyata.
Kalau sudah begini, saya termasuk orang yang paling sewot. Ya, kalau acara nongkrong bakal berjalan seperti ini, lebih baik nongkrong lewat sarana chat atau fesbuk saja. Cukup mengherankan memang, apakah demam fitur teknologi seperti ini harus merubah paradigma orang dalam kehidupan sosialnya? Sebab, tidak jarang lho, teman-teman saya yang jago banyol di YM, justru pas ketemu dia malah biasa-biasa saja dan cenderung pendiam. Jadi, rupanya dunia maya sepertinya menjadi tempat yang nyaman bagi dia untuk berekspresi.
Wah, kalau gejala ‘autis’ seperti ini kian gawat, saya sangat takutkan kehidupan sosial manusia sudah berasas teknologi, seperti yang terjadi di film animasi “Wall-E” dimana setiap orang hanya asik menatap monitor perantara komunikasinya. Meskipun dua orang berpapasan, tapi percakapan tetap saja lewat media tersebut. Pertemuan secara fisik seolah punah tergantikan pertemuan virtual. Terkesan hiperbolis? Memang. Tapi kalau manusia hanya asik dan peduli terhadap gadget yang disandangnya, tidak mustahil social life kita bakal tergantikan secara virtual.