Awal April 2009, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Pribadi Besar, Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki daftar 1.200 orang superkaya atau miliarder yang tergolong high net worth individual. Mereka orang-orang dengan kekayaan di atas Rp 10 miliar.
Mereka adalah pemegang saham atau profesional yang menjadi pemegang saham atau orang yang melaporkan surat pemberitahuan pajak pajak tahunan di atas Rp 1 miliar. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan 11,7 juta wajib pajak (WP) pribadi pada periode yang sama.
Yang menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak adalah bagaimana menelusuri dan mengejar kewajiban pajak WP superkaya itu. Sebab, setoran pajak mereka signifikan bagi sumber Pajak Penghasilan (PPH) pribadi.
Berdasarkan laporan World Wealth Report 2008 dari Capgemini dan Merryl Lynch, jumlah orang superkaya di Indonesia tahun 2007 ada 23.000 orang, naik 16,8 persen dari tahun 2006. Lembaga ini berpengalaman 20 tahun lebih meneliti dan mengelola harta orang-orang kaya sedunia yang punya aset minimal 1 juta dollar AS (setara dengan Rp 10 miliar).
Tahun 2007, di seluruh dunia ada 10,1 juta orang superkaya dengan total aset 59,1 triliun dollar AS, empat kali lipat total ekspor dunia 2007, yakni 14 triliun dollar AS. Dari pertumbuhannya, ternyata orang superkaya di Indonesia tumbuh paling tinggi kelima di dunia setelah Brasil, India, China, dan Korea Selatan. Sementara Singapura hanya punya 77.000 orang kaya, tumbuh 15,3 persen.
Orang superkaya terbanyak berada di China, yakni 415.000 orang, tumbuh kedua tertinggi setelah India.
Dengan demikian, 23.000 orang superkaya ini hanya 2,3 persen dari total 848.000 WP tahun 2008 yang membayar pajak Rp 12 triliun. Dari jumlah ini, 47 persen (Rp 5,7 triliun) dari 5.588 WP yang membayar pajak di atas Rp 1 miliar. Di puncak piramida hanya ada 411 orang superkaya yang membayar pajak di atas Rp 5 miliar dengan total setoran Rp 1,4 triliun (lihat Tabel).
Perbandingan data orang super kaya versi Capgemini dan Merryl Lynch ini berarti terdapat potensi pajak orang superkaya di Indonesia. Oleh sebab itu, jangan berharap banyak pada kuantitas WP sebagaimana sukses sunset policy yang bisa meraih jutaan WP baru, tapi 80 persen berpenghasilan di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak.
Justru di depan mata banyak potensi pajak yang dibiarkan tak disentuh. Lihat saja 60 persen dari anggota DPR periode 2009-2014 yang baru dilantik ternyata belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
”Tax haven”
Banyak negara yang memberikan fasilitas dan kemudahan perpajakan dan tidak adanya transparansi tentang rahasia nasabah (kawasan tax haven) telah menjadi tempat berlabuhnya orang-orang superkaya dunia. Kawasan ini memainkan peranan penting dalam pengelolaan uang nasabah superkaya tadi.
Survei Oxfam pada Juni 2000 memperkirakan total dana internasional yang disimpan di international offshore company sejumlah 6 triliun-7 triliun dollar AS. Sebesar 3 triliun-4 triliun dollar AS milik pribadi superkaya (high net worth individual). Survei Capgemini dan Merryl Lynch dalam World Wealth Report juga menunjukkan, sepertiga dari 6 triliun dollar AS harta milik pribadi kaya disimpan di offshore centre yang menawarkan fasilitas bebas pajak atau tarif rendah.
Praktik ini berakibat pada potensi kehilangan pajak sekitar 50 miliar dollar AS per tahun. Sekitar 31 persen dari keuntungan MNC global juga mengalir dan disimpan di offshore centre dengan fasilitas tax haven.
Para miliarder pemegang saham perusahaan Indonesia yang terdaftar menjadi wajib pajak potensial untuk disisir. Berdasarkan penelitian Investment and Banking Research Agency atas aktivitas perusahaan publik sampai Desember 2008, terdapat 470 anak perusahaan dari Indonesia yang terdaftar atau domisili hukumnya di luar negeri yang tergolong tax haven (sesuai dengan kriteria FATF OECD). Jajaran paper company (sebagian besar berusia balita) memiliki aset Rp 306,5 triliun. Naik 30 persen dari Rp 235 triliun tahun 2007.
Ternyata mayoritas 30,7 persen atau Rp 93,9 triliun dari aset tersebut yang terdaftar di Singapura adalah milik 160 anak perusahaan. Disusul Mauritius yang mengantongi aset Rp 30 triliun dan Belanda Rp 29,6 triliun. Meskipun perusahaan berusia balita, tapi memiliki aset kelas triliunan, di mana ada 73 anak perusahaan dengan aset di atas Rp 1 triliun.
Sebagian besar bergerak di bidang jasa keuangan dan investasi yang terkait dengan proses penerbitan aneka surat berharga untuk membiayai pinjaman dan investasi perusahaan induk. Ada juga yang menjadi agen pemasaran dan jaringan perdagangan internasional, sebagai ujung tombak ekspor dan impor, termasuk pembiayaan dan jasa keuangan.
Kesimpulan
Dengan data empiris ini serta asumsi Ditjen Pajak bisa fokus kerja keras dan benar, maka potensi pajak yang diraih cukup besar. Dengan demikian, jumlah wajib pajak yang membayar pajak di atas Rp 1 miliar akan lebih dari 5.588 orang, seperti tahun lalu.
Laporan FATF OECD (14 September 2009) menyatakan, 80 negara berkomitmen menerapkan standar pajak internasional. Secara implisit, ini berarti tidak ada lagi negara atau kawasan dengan fasilitas bebas pajak, pajak rendah dengan rekening rahasia. Dengan demikian, daya tarik atau keunggulan international offshore centre dengan fasilitas tax haven selama setengah abad mulai sirna.
Pergeseran global ini perlu diantisipasi nasabah superkaya, perusahaan, dan tentu saja otoritas moneter serta fiskal guna pemenuhan kewajiban pajaknya. Menjaring ikan besar perlu keahlian dan teknis khusus tanpa perlu merusak lingkungannya.
Mereka adalah pemegang saham atau profesional yang menjadi pemegang saham atau orang yang melaporkan surat pemberitahuan pajak pajak tahunan di atas Rp 1 miliar. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan 11,7 juta wajib pajak (WP) pribadi pada periode yang sama.
Yang menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak adalah bagaimana menelusuri dan mengejar kewajiban pajak WP superkaya itu. Sebab, setoran pajak mereka signifikan bagi sumber Pajak Penghasilan (PPH) pribadi.
Berdasarkan laporan World Wealth Report 2008 dari Capgemini dan Merryl Lynch, jumlah orang superkaya di Indonesia tahun 2007 ada 23.000 orang, naik 16,8 persen dari tahun 2006. Lembaga ini berpengalaman 20 tahun lebih meneliti dan mengelola harta orang-orang kaya sedunia yang punya aset minimal 1 juta dollar AS (setara dengan Rp 10 miliar).
Tahun 2007, di seluruh dunia ada 10,1 juta orang superkaya dengan total aset 59,1 triliun dollar AS, empat kali lipat total ekspor dunia 2007, yakni 14 triliun dollar AS. Dari pertumbuhannya, ternyata orang superkaya di Indonesia tumbuh paling tinggi kelima di dunia setelah Brasil, India, China, dan Korea Selatan. Sementara Singapura hanya punya 77.000 orang kaya, tumbuh 15,3 persen.
Orang superkaya terbanyak berada di China, yakni 415.000 orang, tumbuh kedua tertinggi setelah India.
Dengan demikian, 23.000 orang superkaya ini hanya 2,3 persen dari total 848.000 WP tahun 2008 yang membayar pajak Rp 12 triliun. Dari jumlah ini, 47 persen (Rp 5,7 triliun) dari 5.588 WP yang membayar pajak di atas Rp 1 miliar. Di puncak piramida hanya ada 411 orang superkaya yang membayar pajak di atas Rp 5 miliar dengan total setoran Rp 1,4 triliun (lihat Tabel).
Perbandingan data orang super kaya versi Capgemini dan Merryl Lynch ini berarti terdapat potensi pajak orang superkaya di Indonesia. Oleh sebab itu, jangan berharap banyak pada kuantitas WP sebagaimana sukses sunset policy yang bisa meraih jutaan WP baru, tapi 80 persen berpenghasilan di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak.
Justru di depan mata banyak potensi pajak yang dibiarkan tak disentuh. Lihat saja 60 persen dari anggota DPR periode 2009-2014 yang baru dilantik ternyata belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
”Tax haven”
Banyak negara yang memberikan fasilitas dan kemudahan perpajakan dan tidak adanya transparansi tentang rahasia nasabah (kawasan tax haven) telah menjadi tempat berlabuhnya orang-orang superkaya dunia. Kawasan ini memainkan peranan penting dalam pengelolaan uang nasabah superkaya tadi.
Survei Oxfam pada Juni 2000 memperkirakan total dana internasional yang disimpan di international offshore company sejumlah 6 triliun-7 triliun dollar AS. Sebesar 3 triliun-4 triliun dollar AS milik pribadi superkaya (high net worth individual). Survei Capgemini dan Merryl Lynch dalam World Wealth Report juga menunjukkan, sepertiga dari 6 triliun dollar AS harta milik pribadi kaya disimpan di offshore centre yang menawarkan fasilitas bebas pajak atau tarif rendah.
Praktik ini berakibat pada potensi kehilangan pajak sekitar 50 miliar dollar AS per tahun. Sekitar 31 persen dari keuntungan MNC global juga mengalir dan disimpan di offshore centre dengan fasilitas tax haven.
Para miliarder pemegang saham perusahaan Indonesia yang terdaftar menjadi wajib pajak potensial untuk disisir. Berdasarkan penelitian Investment and Banking Research Agency atas aktivitas perusahaan publik sampai Desember 2008, terdapat 470 anak perusahaan dari Indonesia yang terdaftar atau domisili hukumnya di luar negeri yang tergolong tax haven (sesuai dengan kriteria FATF OECD). Jajaran paper company (sebagian besar berusia balita) memiliki aset Rp 306,5 triliun. Naik 30 persen dari Rp 235 triliun tahun 2007.
Ternyata mayoritas 30,7 persen atau Rp 93,9 triliun dari aset tersebut yang terdaftar di Singapura adalah milik 160 anak perusahaan. Disusul Mauritius yang mengantongi aset Rp 30 triliun dan Belanda Rp 29,6 triliun. Meskipun perusahaan berusia balita, tapi memiliki aset kelas triliunan, di mana ada 73 anak perusahaan dengan aset di atas Rp 1 triliun.
Sebagian besar bergerak di bidang jasa keuangan dan investasi yang terkait dengan proses penerbitan aneka surat berharga untuk membiayai pinjaman dan investasi perusahaan induk. Ada juga yang menjadi agen pemasaran dan jaringan perdagangan internasional, sebagai ujung tombak ekspor dan impor, termasuk pembiayaan dan jasa keuangan.
Kesimpulan
Dengan data empiris ini serta asumsi Ditjen Pajak bisa fokus kerja keras dan benar, maka potensi pajak yang diraih cukup besar. Dengan demikian, jumlah wajib pajak yang membayar pajak di atas Rp 1 miliar akan lebih dari 5.588 orang, seperti tahun lalu.
Laporan FATF OECD (14 September 2009) menyatakan, 80 negara berkomitmen menerapkan standar pajak internasional. Secara implisit, ini berarti tidak ada lagi negara atau kawasan dengan fasilitas bebas pajak, pajak rendah dengan rekening rahasia. Dengan demikian, daya tarik atau keunggulan international offshore centre dengan fasilitas tax haven selama setengah abad mulai sirna.
Pergeseran global ini perlu diantisipasi nasabah superkaya, perusahaan, dan tentu saja otoritas moneter serta fiskal guna pemenuhan kewajiban pajaknya. Menjaring ikan besar perlu keahlian dan teknis khusus tanpa perlu merusak lingkungannya.