Debat Capres (Yahoo! News/REUTERS/Beawiharta)Dua puluhan skuter berbaris rapi di halaman ruko di kawasan Cibubur, timur Jakarta, Sabtu pekan lalu. Semuanya berhiasan atribut gambar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anggota Penggemar Vespa Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Pro-SBY (GPS) itu memulai perjalanan keliling Jawa dalam rangka mempromosikan SBY sebagai calon presiden.
Keberangkatan mereka dilepas Ketua Umum GPS, Suratto Siswodihardjo, pengagum sekaligus tentangga dekat SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Tur para penggemar Vespa itu hanyalah satu dari sekian kegiatan yang dihelat GPS. Masih ada beberapa acara lain, misalnya pergelaran sendratari bertajuk Meniti Persatuan Nusantara, yang akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, dan parade patung terbesar di Indonesia yang digelar Bali.
Rangkaian kegiatan GPS dalam rangka mengampanyekan SBY itu akan ditutup dengan doa bersama secara serentak di 33 provinsi dan 460 cabang GPS di seluruh Indonesia, 4 Juli mendatang. Meski begitu, Suratto menyebut GPS bukan tim kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) SBY-Boediono.
"Kami ini fans Pak SBY. Sama seperti orang yang ngefans pada klub sepak bola Manchester United atau Barcelona. Jadi, boleh kan kami ngefans pada SBY," tutur Suratto. Karena alasan itulah, GPS hanya menerbitkan atribut bergambar SBY, tanpa ada gambar Boediono.
Dana yang dikumpulkan untuk kegiatan GPS pun, kata Suratto, berasal dari donatur sukarela. Karena GPS bukan tim kampanye resmi SBY-Boediono, kelompok ini merasa tidak perlu melaporkan dananya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Lagi pula, sumbangan yang kami terima kebanyakan berupa barang atau paket kegiatan, bukan dalam bentuk uang," ujar Suratto.
Meski sukarela, bukan berarti seadanya. Di markas GPS yang terletak di kawasan Cibubur, timur Jakarta, tersedia logistik dalam jumlah besar. Ada 7.000 potong kaus, 10.000 pin, 1.000 rompi, 2.000 bendera, 1.000 topi, dan 200 mug. Jika harga barang-barang itu rata-rata Rp 20.000, maka dana yang disiapkan GPS sekitar Rp 400 juta.
Jumlah itu bukan nilai tetap, karena jika logistik GPS habis, banyak pihak yang siap menyumbang dalam jumlah tak kalah besar. Ditambah sumbangan dalam bentuk paket kegiatan, seperti pentas seni dan doa bersama. Mengalirnya sumbangan ke GPS itu, boleh jadi, karena figur Suratto yang selama ini dikenal dekat dengan SBY.
Pensiunan jenderal bintang satu TNI Angkatan Udara itu pada Pemilu 2004 tercatat sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Suratto-lah yang membangun kompleks Perumahan Puri Cikeas Indah, yang sebagian besar penghuninya mantan perwira tinggi TNI, salah satunya SBY. Selain Suratto, di GPS juga terdapat Jenderal (purnawirawan) Sutanto, matan Kapolri yang duduk sebagai Ketua Dewan Pembina GPS.
"Saat ini, Pak Tanto sudah tidak aktif di GPS. Tapi, saya kira, beliau masih mendukung SBY," kata Suratto, yang juga menjadi salah satu Komisaris PT Angkasa Pura II.
Aksi dukung-mendukung di luar tim kampanye resmi yang didaftarkan ke KPU juga dimiliki pasangan capres-cawapres lainnya. Di kubu Jusuf Kalla (JK)-Wiranto, misalnya, ada organisasi seperti Barisan Muda Profesional DKI Jakarta.
Barisan ini aktif sebagai pendukung JK di luar tim kampanye resmi. Kamis pekan lalu, mereka menyelenggarakan "Deklarasi dan Pengukuhan Tim Relawan Pelangi Pemenangan JK-Win" yang dihadiri JK. Selain itu, pasangan JK-Wiranto punya Institut Lembang Sembilan (L9) yang dipimpin Alwi Hamu, adik ipar JK. "Tim kami tidak mengoordinasikan dana, tetapi para relawan yang biasanya datang," kata Alwi Hamu kepada Birny Birdieni dari Gatra.
Tak cuma dana, bantuan seperti kaus, spanduk, poster, sampai air minum kemasan pun mengalir dari para relawan. Saat ini, JK memiliki tidak kurang dari 400 sayap relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, JK juga mendapat dukungan dari sayap politik Golkar, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Sekretaris Jenderal DPP MKGR, Roem Kono, mengklaim bahwa sayap ini punya 3 juta anggota di seluruh Indonesia. "Kami buat sendiri kaus-kaus, spanduk, stiker, dan sebagainya. Sifatnya gotong royong sehingga tidak kami inspeksi berapa jumlahnya," kata Roem. Bantuan yang diberikan, selain uang, juga dalam bentuk barang dan atribut kampanye.
Di pasangan Megawati-Prabowo, muncul pula beberapa sayap pendukung, seperti Forum Bhinneka Tunggal Ika (FBTI). Forum ini mengaku beranggotakan orang-orang lintas agama yang didominasi umat Hindu dan lintas etnis. Ahad lalu, mereka mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Mega-Prabowo lewat deklarasi bersama Forum Relawan Penyelamat Ibu Pertiwi di Hotel Sultan, Jakarta. Dalam deklarasi itu juga hadir sayap pendukung Mega-Prabowo lainnya yang menamakan diri Laskar Merah Putih.
Dalam deklarasi itu, yang hadir sebagai undangan utama adalah anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Ia hadir untuk memberikan pembekalan kepada anggota forum untuk membantu memenangkan pasangan Mega-Prabowo. Selain Hashim, seperti dilaporkan wartawan Gatra Sandika Prihatnala, acara itu pun dihadiri beberapa pengusaha yang ikut bergabung dalam FBTI, yang dikomandani A.S. Kobalen.
GATRA (Dok. GATRA)
Bagi para kandidat, kehadiran para relawan itu jelas sangat membantu. Apalagi, dukungan logistiknya terus mengalir. Namun kehadiran mereka bisa menjadi masalah jika urusannya adalah soal akuntabilitas. Pasalnya, pihak berwenang seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kerepotan memonitor sumbangan yang masuk di luar jalur tim kampanye resmi.
Sedangkan modal awal para kandidat yang disampaikan ke KPU tak besar-besar amat. Pasangan SBY-Boediono memiliki dana Rp 20,75 milyar. Megawati-Prabowo punya saldo awal Rp 15,005 milyar. Sedangkan JK-Wiranto memiliki saldo awal Rp 10 milyar. Namun, dalam perkembangannya, arus kas masuk dan keluar sulit terdeteksi karena banyak sumbangan dari tim tidak resmi.
Tim kampanye JK-Wiranto mengaku, saat ini sumbangan resmi yang mereka terima mencapai Rp 125 milyar. Menurut juru bicara tim sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dana yang terkumpul dari para relawan itu cukup untuk melaksanakan agenda kampanye. Hitungannya, bila per kampanye terbuka membutuhkan dana Rp 100 juta dan dilaksanakan 500 kali, maka jumlah dana yang digunakan adalah Rp 50 millyar.
Yuddy mengakui, masih banyak bentuk bantuan lain yang belum bisa terinventarisasi dari para simpatisan. Yang jelas, kata dia, sumbangan macam begini cukup banyak. "Misalnya ada bantuan dari teman saya yang di Bandung, yang memberikan kaus 10.000 dan selebaran poster 30.000," kata Yuddy.
Dari kubu SBY-Boediono, meski tak melansir data resmi jumlah dana yang telah terkumpul, Wakil Ketua Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, memperkirakan bakal membutuhkan dana Rp 100 milyar. "Bentuknya bisa macam-macam," kata Mubarok kepada Sukmono Fajar Turido dari Gatra.
Untuk kampanye keliling Jawa, misalnya, ada seorang pengusaha yang membantu menyewakan tiga bus, termasuk satu bus Volvo tipe B12 M berkapasitas mesin 12.000 cc bagi SBY-Boediono. Dalam bus itu tersedia fasilitas lengkap, seperti kamar pribadi, ruang makan, dan toilet. Tiga bus itu, menurut Mubarok, disewa Rp 250 juta.
Untuk mendukung model kampanye indoor SBY-Boediono, semua atribut yang digunakan di gedung pertemuan dibuat hanya satu kali di Jakarta. Kemudian atribut-atribut itu dibawa berkeliling mengikuti jadwal kampanye. "Nggak mahal, sekitar Rp 250 juta. Anggaran paling besar justru untuk iklan media massa. Tapi saya nggak tahu persisnya," tutur Mubarok.
Adapun tim Megawati-Prabowo, menurut Sekretaris Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Hasto Kristiyanto, saat ini telah mengumpulkan dana Rp 32 milyar. Selain itu, ada pula yang menyumbang kaus, spanduk, termasuk sumbangan bus dari Soemaryoto, fungsionari PDI Perjungan yang juga pemilik PO Gajah Mungkur. Ketika ditemui Gatra di markas Mega-Prabowo, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat, Hasto menerima bantuan 5.000 spanduk untuk dikirim ke pelbagai daerah.
Hasto menyatakan, tim kampanye Mega-Prabowo tak mau perang logistik seperti kandidat lain. Untuk deklarasi di Bantar Gebang, Bekasi, misalnya, dana yang dikeluarkan cuma Rp 25 juta dari total biaya Rp 200 juta. Sisanya adalah sumbangan masyarakat. Lebih dari itu, Mega-Prabowo juga menyewa akuntan publik untuk melakukan audit dana kampanyenya.
GATRA (Dok. GATRA)
Para kandidat boleh saja menyatakan bahwa dana yang dikeluarkan untuk kampanye tidak besar. Namun para pengamat politik tak percaya begitu saja. Direktur Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S. Bakry memperkirakan, untuk meraih kursi Presiden RI, dana yang dikeluarkan para kandidat mencapai Rp 1 trilyun. "Sampai putaran kedua, minimal segitu harus mereka sediakan," katanya.
Sedangkan Aksa Mahmud memprediksi, biaya para kandidat bisa mencapai Rp 1,5 trilyun. Sektor publikasi dan promosi akan menelan dana sekitar 50% dari bujet. Pada kampanye pemilu presiden 2004, menurut Aksa, yang saat itu menjadi Koordinator Bidang Publikasi dan Promosi Pasangan SBY-JK, biaya publikasi dan promosi yang dikeluarkan mencapai Rp 5 milyar, sebagian besar untuk iklan di televisi.
Kini biaya itu diprediksi meningkat pesat. Untuk belanja iklan, menurut Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, hingga minggu ketiga Juni telah dihabiskan Rp 3 trilyun. "Hitungan kasar omset iklan yang mencapai Rp 3 trilyun merupakan penerimaan media elektronik, seperti televisi dan media cetak nasional," kata Leo Batubara. Bila menilik data lembaga riset media ACNielsen, angka itu tak meleset jauh.
Untuk iklan televisi, hingga minggu kedua Juni, pasangan JK-Wiranto membeli 1.011 spot iklan, dengan masing-masing spot berdurasi 30 menit. Jika rata-rata harga per spot Rp 10 juta, maka biaya iklan tim ini mencapai Rp 10 milyar. Sementara itu, pasangan SBY-Boediono membeli 1.654 spot, dengan durasi rata-rata 30-60 detik. Jika rata-rata harga per spot Rp 10 juta, berarti pasangan ini menghabiskan dana iklan Rp 16,5 milyar.
Pasangan Megawati-Prabowo, sampai minggu kedua Juni, menghabiskan 213 spot iklan, dengan rata-rata durasi 30-60 detik. Dengan asumsi yang sama, pasangan ini menghabiskan dana iklan Rp 2,1 milyar. Itu jika dirata-rata. Sebab, menurut Pahala Sigiro, Executive Business Development Media Nielsen Indonesia, untuk biaya spot iklan TV 30 detik pada prime time (pukul enam petang sampai pukul 10 malam), tarifnya sekitar Rp 20 juta. Sedangkan harga di luar prime time bervariasi, Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Belum lagi biaya untuk mengadakan survei. Menurut Umar S. Bakry, untuk survei dengan sampel 784, LSN butuh biaya sekitar Rp 400 juta. Sedangkan untuk 3.000 sampel, dibutuhkan dana di atas Rp 1 milyar. Sementara itu, pimpinan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, menyatakan bahwa biaya minimal yang dibutuhkan untuk melaksanakan survei nasional sekitar Rp 400 juta. "Waktu itu, surveinya melibatkan 1.200 responden," kata Saiful.
Untuk quick count, biayanya lain lagi. Untuk hitung cepat ini, LSI menempatkan satu personel di satu tempat pemungutan suara (TPS), sehingga otomatis biayanya berbeda. Ketika pemilu legislatif, April lalu, LSI membutuhkan biaya sekitar Rp 2,5 milyar, dengan pantauan 2.000 TPS.
GATRA (Dok. GATRA)
Mengingat komponen biaya yang besar itu, tak salah jika Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkhawatirkan adanya dana siluman yang masuk ke kantong kandidat presiden. Karena itu, Abdullah Dahlan, peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, meminta agar tim-tim kampanye di luar tim resmi yang didaftarkan ke KPU ditertibkan.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pada Pemilu 2004 terbukti, ada dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang mengalir ke pasangan capres-cawapres. "Berarti, kan ada dana negara yang masuk ke kandidat," kata Abdullah.
Direktur Riset LSI, Dodi Kuskrido Ambardi, mengakui bahwa tim bayangan seperti itu akan selalu ada dalam setiap kampanye capres. Model ini meniru model di Amerika Serikat, yang dinamakan political action committee. Namun dia ragu kelompok di Amerika itu sama dengan kelompok relawan dalam pemilu presiden di Indonesia sekarang ini.
"Jaringan itu kan bukan kelompok pengusaha. Tapi, kalau di belakangnya ada pengusaha, kita nggak tahu," kata Dody. Inilah yang rawan menimbulkan dana siluman yang besarnya tidak jelas. Cara ini, menurut Dodi, juga mengandung bahaya. "Biasa kan, no free lunch," tuturnya.
Melacak siapa pengusaha yang ada di belakang tim relawan jelas sulit. Meski begitu, Dodi mengaku pernah mewawancarai beberapa pengusaha dan pengurus partai dalam rangka penyusunan disertasinya, yang membahas seputar pendanaan partai politik.
Dari hasil wawancara itu, ia melihat, hampir semua pengusaha ingin berbisnis dengan aman. "Tidak harus mendapat proyek. Minimal tidak diganggu-lah," ujar Dodi. Dengan alasan itu, pengusaha pun menyumbang kepada semua calon dengan jumlah berbeda.
http://www.gatra.com/artikel.php?id=127739
Keberangkatan mereka dilepas Ketua Umum GPS, Suratto Siswodihardjo, pengagum sekaligus tentangga dekat SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Tur para penggemar Vespa itu hanyalah satu dari sekian kegiatan yang dihelat GPS. Masih ada beberapa acara lain, misalnya pergelaran sendratari bertajuk Meniti Persatuan Nusantara, yang akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, dan parade patung terbesar di Indonesia yang digelar Bali.
Rangkaian kegiatan GPS dalam rangka mengampanyekan SBY itu akan ditutup dengan doa bersama secara serentak di 33 provinsi dan 460 cabang GPS di seluruh Indonesia, 4 Juli mendatang. Meski begitu, Suratto menyebut GPS bukan tim kampanye pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) SBY-Boediono.
"Kami ini fans Pak SBY. Sama seperti orang yang ngefans pada klub sepak bola Manchester United atau Barcelona. Jadi, boleh kan kami ngefans pada SBY," tutur Suratto. Karena alasan itulah, GPS hanya menerbitkan atribut bergambar SBY, tanpa ada gambar Boediono.
Dana yang dikumpulkan untuk kegiatan GPS pun, kata Suratto, berasal dari donatur sukarela. Karena GPS bukan tim kampanye resmi SBY-Boediono, kelompok ini merasa tidak perlu melaporkan dananya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Lagi pula, sumbangan yang kami terima kebanyakan berupa barang atau paket kegiatan, bukan dalam bentuk uang," ujar Suratto.
Meski sukarela, bukan berarti seadanya. Di markas GPS yang terletak di kawasan Cibubur, timur Jakarta, tersedia logistik dalam jumlah besar. Ada 7.000 potong kaus, 10.000 pin, 1.000 rompi, 2.000 bendera, 1.000 topi, dan 200 mug. Jika harga barang-barang itu rata-rata Rp 20.000, maka dana yang disiapkan GPS sekitar Rp 400 juta.
Jumlah itu bukan nilai tetap, karena jika logistik GPS habis, banyak pihak yang siap menyumbang dalam jumlah tak kalah besar. Ditambah sumbangan dalam bentuk paket kegiatan, seperti pentas seni dan doa bersama. Mengalirnya sumbangan ke GPS itu, boleh jadi, karena figur Suratto yang selama ini dikenal dekat dengan SBY.
Pensiunan jenderal bintang satu TNI Angkatan Udara itu pada Pemilu 2004 tercatat sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Suratto-lah yang membangun kompleks Perumahan Puri Cikeas Indah, yang sebagian besar penghuninya mantan perwira tinggi TNI, salah satunya SBY. Selain Suratto, di GPS juga terdapat Jenderal (purnawirawan) Sutanto, matan Kapolri yang duduk sebagai Ketua Dewan Pembina GPS.
"Saat ini, Pak Tanto sudah tidak aktif di GPS. Tapi, saya kira, beliau masih mendukung SBY," kata Suratto, yang juga menjadi salah satu Komisaris PT Angkasa Pura II.
Aksi dukung-mendukung di luar tim kampanye resmi yang didaftarkan ke KPU juga dimiliki pasangan capres-cawapres lainnya. Di kubu Jusuf Kalla (JK)-Wiranto, misalnya, ada organisasi seperti Barisan Muda Profesional DKI Jakarta.
Barisan ini aktif sebagai pendukung JK di luar tim kampanye resmi. Kamis pekan lalu, mereka menyelenggarakan "Deklarasi dan Pengukuhan Tim Relawan Pelangi Pemenangan JK-Win" yang dihadiri JK. Selain itu, pasangan JK-Wiranto punya Institut Lembang Sembilan (L9) yang dipimpin Alwi Hamu, adik ipar JK. "Tim kami tidak mengoordinasikan dana, tetapi para relawan yang biasanya datang," kata Alwi Hamu kepada Birny Birdieni dari Gatra.
Tak cuma dana, bantuan seperti kaus, spanduk, poster, sampai air minum kemasan pun mengalir dari para relawan. Saat ini, JK memiliki tidak kurang dari 400 sayap relawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, JK juga mendapat dukungan dari sayap politik Golkar, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Sekretaris Jenderal DPP MKGR, Roem Kono, mengklaim bahwa sayap ini punya 3 juta anggota di seluruh Indonesia. "Kami buat sendiri kaus-kaus, spanduk, stiker, dan sebagainya. Sifatnya gotong royong sehingga tidak kami inspeksi berapa jumlahnya," kata Roem. Bantuan yang diberikan, selain uang, juga dalam bentuk barang dan atribut kampanye.
Di pasangan Megawati-Prabowo, muncul pula beberapa sayap pendukung, seperti Forum Bhinneka Tunggal Ika (FBTI). Forum ini mengaku beranggotakan orang-orang lintas agama yang didominasi umat Hindu dan lintas etnis. Ahad lalu, mereka mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Mega-Prabowo lewat deklarasi bersama Forum Relawan Penyelamat Ibu Pertiwi di Hotel Sultan, Jakarta. Dalam deklarasi itu juga hadir sayap pendukung Mega-Prabowo lainnya yang menamakan diri Laskar Merah Putih.
Dalam deklarasi itu, yang hadir sebagai undangan utama adalah anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Ia hadir untuk memberikan pembekalan kepada anggota forum untuk membantu memenangkan pasangan Mega-Prabowo. Selain Hashim, seperti dilaporkan wartawan Gatra Sandika Prihatnala, acara itu pun dihadiri beberapa pengusaha yang ikut bergabung dalam FBTI, yang dikomandani A.S. Kobalen.
GATRA (Dok. GATRA)
Bagi para kandidat, kehadiran para relawan itu jelas sangat membantu. Apalagi, dukungan logistiknya terus mengalir. Namun kehadiran mereka bisa menjadi masalah jika urusannya adalah soal akuntabilitas. Pasalnya, pihak berwenang seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kerepotan memonitor sumbangan yang masuk di luar jalur tim kampanye resmi.
Sedangkan modal awal para kandidat yang disampaikan ke KPU tak besar-besar amat. Pasangan SBY-Boediono memiliki dana Rp 20,75 milyar. Megawati-Prabowo punya saldo awal Rp 15,005 milyar. Sedangkan JK-Wiranto memiliki saldo awal Rp 10 milyar. Namun, dalam perkembangannya, arus kas masuk dan keluar sulit terdeteksi karena banyak sumbangan dari tim tidak resmi.
Tim kampanye JK-Wiranto mengaku, saat ini sumbangan resmi yang mereka terima mencapai Rp 125 milyar. Menurut juru bicara tim sukses JK-Wiranto, Yuddy Chrisnandi, dana yang terkumpul dari para relawan itu cukup untuk melaksanakan agenda kampanye. Hitungannya, bila per kampanye terbuka membutuhkan dana Rp 100 juta dan dilaksanakan 500 kali, maka jumlah dana yang digunakan adalah Rp 50 millyar.
Yuddy mengakui, masih banyak bentuk bantuan lain yang belum bisa terinventarisasi dari para simpatisan. Yang jelas, kata dia, sumbangan macam begini cukup banyak. "Misalnya ada bantuan dari teman saya yang di Bandung, yang memberikan kaus 10.000 dan selebaran poster 30.000," kata Yuddy.
Dari kubu SBY-Boediono, meski tak melansir data resmi jumlah dana yang telah terkumpul, Wakil Ketua Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, memperkirakan bakal membutuhkan dana Rp 100 milyar. "Bentuknya bisa macam-macam," kata Mubarok kepada Sukmono Fajar Turido dari Gatra.
Untuk kampanye keliling Jawa, misalnya, ada seorang pengusaha yang membantu menyewakan tiga bus, termasuk satu bus Volvo tipe B12 M berkapasitas mesin 12.000 cc bagi SBY-Boediono. Dalam bus itu tersedia fasilitas lengkap, seperti kamar pribadi, ruang makan, dan toilet. Tiga bus itu, menurut Mubarok, disewa Rp 250 juta.
Untuk mendukung model kampanye indoor SBY-Boediono, semua atribut yang digunakan di gedung pertemuan dibuat hanya satu kali di Jakarta. Kemudian atribut-atribut itu dibawa berkeliling mengikuti jadwal kampanye. "Nggak mahal, sekitar Rp 250 juta. Anggaran paling besar justru untuk iklan media massa. Tapi saya nggak tahu persisnya," tutur Mubarok.
Adapun tim Megawati-Prabowo, menurut Sekretaris Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Hasto Kristiyanto, saat ini telah mengumpulkan dana Rp 32 milyar. Selain itu, ada pula yang menyumbang kaus, spanduk, termasuk sumbangan bus dari Soemaryoto, fungsionari PDI Perjungan yang juga pemilik PO Gajah Mungkur. Ketika ditemui Gatra di markas Mega-Prabowo, Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat, Hasto menerima bantuan 5.000 spanduk untuk dikirim ke pelbagai daerah.
Hasto menyatakan, tim kampanye Mega-Prabowo tak mau perang logistik seperti kandidat lain. Untuk deklarasi di Bantar Gebang, Bekasi, misalnya, dana yang dikeluarkan cuma Rp 25 juta dari total biaya Rp 200 juta. Sisanya adalah sumbangan masyarakat. Lebih dari itu, Mega-Prabowo juga menyewa akuntan publik untuk melakukan audit dana kampanyenya.
GATRA (Dok. GATRA)
Para kandidat boleh saja menyatakan bahwa dana yang dikeluarkan untuk kampanye tidak besar. Namun para pengamat politik tak percaya begitu saja. Direktur Lembaga Survei Nasional (LSN) Umar S. Bakry memperkirakan, untuk meraih kursi Presiden RI, dana yang dikeluarkan para kandidat mencapai Rp 1 trilyun. "Sampai putaran kedua, minimal segitu harus mereka sediakan," katanya.
Sedangkan Aksa Mahmud memprediksi, biaya para kandidat bisa mencapai Rp 1,5 trilyun. Sektor publikasi dan promosi akan menelan dana sekitar 50% dari bujet. Pada kampanye pemilu presiden 2004, menurut Aksa, yang saat itu menjadi Koordinator Bidang Publikasi dan Promosi Pasangan SBY-JK, biaya publikasi dan promosi yang dikeluarkan mencapai Rp 5 milyar, sebagian besar untuk iklan di televisi.
Kini biaya itu diprediksi meningkat pesat. Untuk belanja iklan, menurut Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, hingga minggu ketiga Juni telah dihabiskan Rp 3 trilyun. "Hitungan kasar omset iklan yang mencapai Rp 3 trilyun merupakan penerimaan media elektronik, seperti televisi dan media cetak nasional," kata Leo Batubara. Bila menilik data lembaga riset media ACNielsen, angka itu tak meleset jauh.
Untuk iklan televisi, hingga minggu kedua Juni, pasangan JK-Wiranto membeli 1.011 spot iklan, dengan masing-masing spot berdurasi 30 menit. Jika rata-rata harga per spot Rp 10 juta, maka biaya iklan tim ini mencapai Rp 10 milyar. Sementara itu, pasangan SBY-Boediono membeli 1.654 spot, dengan durasi rata-rata 30-60 detik. Jika rata-rata harga per spot Rp 10 juta, berarti pasangan ini menghabiskan dana iklan Rp 16,5 milyar.
Pasangan Megawati-Prabowo, sampai minggu kedua Juni, menghabiskan 213 spot iklan, dengan rata-rata durasi 30-60 detik. Dengan asumsi yang sama, pasangan ini menghabiskan dana iklan Rp 2,1 milyar. Itu jika dirata-rata. Sebab, menurut Pahala Sigiro, Executive Business Development Media Nielsen Indonesia, untuk biaya spot iklan TV 30 detik pada prime time (pukul enam petang sampai pukul 10 malam), tarifnya sekitar Rp 20 juta. Sedangkan harga di luar prime time bervariasi, Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Belum lagi biaya untuk mengadakan survei. Menurut Umar S. Bakry, untuk survei dengan sampel 784, LSN butuh biaya sekitar Rp 400 juta. Sedangkan untuk 3.000 sampel, dibutuhkan dana di atas Rp 1 milyar. Sementara itu, pimpinan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani, menyatakan bahwa biaya minimal yang dibutuhkan untuk melaksanakan survei nasional sekitar Rp 400 juta. "Waktu itu, surveinya melibatkan 1.200 responden," kata Saiful.
Untuk quick count, biayanya lain lagi. Untuk hitung cepat ini, LSI menempatkan satu personel di satu tempat pemungutan suara (TPS), sehingga otomatis biayanya berbeda. Ketika pemilu legislatif, April lalu, LSI membutuhkan biaya sekitar Rp 2,5 milyar, dengan pantauan 2.000 TPS.
GATRA (Dok. GATRA)
Mengingat komponen biaya yang besar itu, tak salah jika Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkhawatirkan adanya dana siluman yang masuk ke kantong kandidat presiden. Karena itu, Abdullah Dahlan, peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, meminta agar tim-tim kampanye di luar tim resmi yang didaftarkan ke KPU ditertibkan.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pada Pemilu 2004 terbukti, ada dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang mengalir ke pasangan capres-cawapres. "Berarti, kan ada dana negara yang masuk ke kandidat," kata Abdullah.
Direktur Riset LSI, Dodi Kuskrido Ambardi, mengakui bahwa tim bayangan seperti itu akan selalu ada dalam setiap kampanye capres. Model ini meniru model di Amerika Serikat, yang dinamakan political action committee. Namun dia ragu kelompok di Amerika itu sama dengan kelompok relawan dalam pemilu presiden di Indonesia sekarang ini.
"Jaringan itu kan bukan kelompok pengusaha. Tapi, kalau di belakangnya ada pengusaha, kita nggak tahu," kata Dody. Inilah yang rawan menimbulkan dana siluman yang besarnya tidak jelas. Cara ini, menurut Dodi, juga mengandung bahaya. "Biasa kan, no free lunch," tuturnya.
Melacak siapa pengusaha yang ada di belakang tim relawan jelas sulit. Meski begitu, Dodi mengaku pernah mewawancarai beberapa pengusaha dan pengurus partai dalam rangka penyusunan disertasinya, yang membahas seputar pendanaan partai politik.
Dari hasil wawancara itu, ia melihat, hampir semua pengusaha ingin berbisnis dengan aman. "Tidak harus mendapat proyek. Minimal tidak diganggu-lah," ujar Dodi. Dengan alasan itu, pengusaha pun menyumbang kepada semua calon dengan jumlah berbeda.
http://www.gatra.com/artikel.php?id=127739