Bagaimana caranya, agar perasaan marah bisa bermanfaat?
Marah yang bermanfaat adalah marah yang tepat dan sudah dikelola dengan baik. Hal ini jelas tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan hati yang lapang, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan.
Nah, langkah pertama yang perlu dilatih terus menerus adalah menyadari ketika kita merasa marah. Langkah kedua, seseorang perlu memahami dan menerima alasan kenapa ia marah. Termasuk di dalamnya, mengevaluasi penyebab kemarahannya. Tahukah Anda, sesuatu yang membuat marah terkadang justru punya alasan atau maksud yang berbeda? Banyak yang menyesal karena sudah marah untuk alasan yang tidak tepat. Misalnya, marah karena ada orang yang menunjukkan jari padanya, padahal orang tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada bahaya yang mengancam dari belakang.
Langkah yang ketiga adalah mengelola atau mengekspresikan amarah dengan tepat. Jika kita punya alasan yang tepat, misalnya bukan hanya meluapkan emosi, tetapi juga demi pembelajaran bagi orang lain, kita dapat mengungkapkan kemarahan kita. Tenangkan diri Anda dan hati-hatilah ketika berkata-kata. Tentu karena tujuan marah bukan untuk membalas atau menyakiti hati/fisik orang lain, melainkan untuk mendidik dan membangun. Kita sendiri dapat mencoba melihat sisi positif dari kejadian yang membuat kita marah. Ambil hikmah dari kejadian tersebut.
Pada waktu-waktu tertentu, kita juga dapat mengubah energi kemarahan yang kita rasakan menjadi energi yang dapat memotivasi kita melakukan hal yang bermanfaat. Misalnya, daripada marah-marah pada pengendara motor yang memotong jalan dan sudah tidak tampak lagi, lebih baik energi yang ada digunakan untuk lebih waspada, mencermati jalan, atau menyelesaikan tugas kuliah/pekerjaan kantor.
Intinya adalah jangan terjebak pada kemarahan yang dapat merusak hari dan diri kita, tetapi manfaatkanlah kemarahan dengan cara yang tepat. Sadari, pahami, dan kelola dengan tepat emosi marah yang kita rasakan karena kemampuan ini adalah bagian dari kecerdasan emosi yang kita miliki. Demikian pendapat P. Henrietta Siswadi, S. Psi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Marah yang bermanfaat adalah marah yang tepat dan sudah dikelola dengan baik. Hal ini jelas tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan hati yang lapang, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan.
Nah, langkah pertama yang perlu dilatih terus menerus adalah menyadari ketika kita merasa marah. Langkah kedua, seseorang perlu memahami dan menerima alasan kenapa ia marah. Termasuk di dalamnya, mengevaluasi penyebab kemarahannya. Tahukah Anda, sesuatu yang membuat marah terkadang justru punya alasan atau maksud yang berbeda? Banyak yang menyesal karena sudah marah untuk alasan yang tidak tepat. Misalnya, marah karena ada orang yang menunjukkan jari padanya, padahal orang tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada bahaya yang mengancam dari belakang.
Langkah yang ketiga adalah mengelola atau mengekspresikan amarah dengan tepat. Jika kita punya alasan yang tepat, misalnya bukan hanya meluapkan emosi, tetapi juga demi pembelajaran bagi orang lain, kita dapat mengungkapkan kemarahan kita. Tenangkan diri Anda dan hati-hatilah ketika berkata-kata. Tentu karena tujuan marah bukan untuk membalas atau menyakiti hati/fisik orang lain, melainkan untuk mendidik dan membangun. Kita sendiri dapat mencoba melihat sisi positif dari kejadian yang membuat kita marah. Ambil hikmah dari kejadian tersebut.
Pada waktu-waktu tertentu, kita juga dapat mengubah energi kemarahan yang kita rasakan menjadi energi yang dapat memotivasi kita melakukan hal yang bermanfaat. Misalnya, daripada marah-marah pada pengendara motor yang memotong jalan dan sudah tidak tampak lagi, lebih baik energi yang ada digunakan untuk lebih waspada, mencermati jalan, atau menyelesaikan tugas kuliah/pekerjaan kantor.
Intinya adalah jangan terjebak pada kemarahan yang dapat merusak hari dan diri kita, tetapi manfaatkanlah kemarahan dengan cara yang tepat. Sadari, pahami, dan kelola dengan tepat emosi marah yang kita rasakan karena kemampuan ini adalah bagian dari kecerdasan emosi yang kita miliki. Demikian pendapat P. Henrietta Siswadi, S. Psi dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.