PENEGASAN kembali Indonesia itu diungkapkan kembali saat pelaksanaan Asia Beach Games (ABG) 2008 yang diselenggarakan di Bali saat ini. Indonesia meminta komite olimpiade Asia (OAC) untuk memperbolehkan jilbab sebagai pakaian yang bisa dikenakan atlet ketika sedang melakukan pertandingan. Sebab dengan tidak membolehkan jilbab dikenakan saat bertanding sama saja dengan komite olimpiade telah berlaku diskriminatif karena untuk pakaian bikini justru diperbolehkan.
''Kita telah secara resmi mengungkapkan hal ini pada presiden AOC Sheikh Ahmad Al Fahad Al Sabah, dan beliau akan mempertimbangkan,'' ungkapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Adhyaksa Dault di sela-sela acara pembukaan pesta olahraga pantai Asian Beach Games I di Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK) Uluwatu.
Selama ini atlet-atlet Indonesia yang berjilbab terhambat untuk bisa berprestasi dalam olahraga terutama untuk tingkat dunia. Mereka yang sudah berprestasi akhirnya memilih tidak bertanding karena sebagian besar dari mereka enggan melepas busana jilbab yang telah menjadi identitas muslimah itu.
Salah satu contoh adalah atlet basket Raisa Aribatul Hamidah gagal mengikuti kejuaraan basket putri Asia Junior 2008 pada 2-9 November mendatang di Medan. Atlet asal Jawa Timur tersebut akhirnya harus dicoret dari tim karena sesuai ketentuan yang ditetapkan organinasi basket dunia (FIBA) bahwa pakaian yang dikenakan harus sesuai ketentuan, mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek.
Adhyaksa mengungkapkan khusus untuk Indonesia pemerintah memang sudah membolehkan alias tidak ada ketentuan di cabang apapun, apakah atlet itu mengenakan jilbab ataupun tidak. ''Asalkan jilbab yang dikenakan berbahan kaos dan tidak mengganggu ketika sedang bertanding. Dan memang kita tidak berhak melarang karena ini adalah hak mereka,'' tambahnya.
Saat ini cenderung ada diskriminatif ada lapangan. Atlet berjilbab dilarang sementara pada olahraga atletik, seringkali pelari mengenakan busana mirip bikini yang hal itu sebenarnya juga mengundang protes negara-negara Islam.
''Indonesia mempelopori diselenggarakan Olimpiade Solidarity antarnegara-negara muslim sebagai upaya untuk mengkampanyekan atlet dengan berpakaian jilbab,'' ungkap Adyaksa.
Bukan Penghalang
Prestasi atlet yang menegakan jilbab sudah bisa dilihat saat pelaksanaan Olimpiade di Beijing beberapa waktu lalu. Keberadaan mereka bukan hanya mengikis stereotipe negara-negara Barat terhadap Muslimah berjilbab tapi juga membuktikan bahwa jilbab bukan halangan untuk mencetak prestasi dalam kehidupan dan olahraga.
Salah seorang atlet berjilbab adalah atlet lari sprint asal Bahrain, Ruqaya al-Ghasara. Sebagai seorang atlet dan muslimah berjilbab, ia telah membuat sejarah dengan meraih medali emas dalam ajang pesta olahraga Asia Barat pada tahun 2006. Ditanya soal jilbabnya, Ruqaya menjawab, “Jilbab tidak pernah jadi masalah buat saya.”
Selain dia, atlet anggar asal Mesir Shaimaan El-Gammal, mengenakan jilbab untuk pertamakalinya saat bertanding di Olimpiade Beizing. Ia mengatakan sangat bangga menjadi seorang Muslimah ketika tampil bertanding anggar.
“Jilbab adalah sesuatu yang sangat simbolis di negara saya, ” kata El Gammal yang masih berusia 28 tahun.
Menurut El Gammal, jilbab memberikan kekuatan dalam dirinya. “Banyak orang melihat kami yang mengenakan jilbab dan berpikir kami sedang naik unta. Padahal seorang Muslimah biasa melakukan apa saja yang mereka inginkan, ” tukasnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Ruqaya. Ia mengatakan, kaum perempuan di kampung halamannya di Bahrain sangat bangga dengan prestasinya hingga bisa mewakili negaranya di ajang Olimpiade. Sebagian dari mereka, bahkan membantu Ruqaya mendesain dan menjahitkan jilbab yang sudah dipikirkan masalah aerodinamisnya agar Ruqaya bisa tampil maksimal saat bertanding.
“Di Bahrain, tempat saya dibesarkan, kaum perempuan banyak yang menjadi duta besar, dokter bahkan pilot. Buat saya, jilbab adalah pembebasan,” ujar Ruqaya yang selalu mengenakan jilbab warna merah putih, warna khas bendera negaranya. (inc/bbs)