Saya membatin butuh berapa lama untuk mengisengi papan peringatan di dalam bus Transjakarta menjadi “Dilarang Rok Mini”. Kalau kurang cermat, dari foto di Jalan Sutera itu orang bisa menyimpulkan kalimat lengkap “Dilarang Pakai Rok Mini”.
Saya pun ingin tahu berapa orang yang terlibat dalam persekongkolan karena tak mungkin melakukan itu sendirian (kecuali di pool Pinangranti) tanpa ketahuan orang lain.
Keisengan semata? Apa bedanya dengan vandalisme? Bukan itu yang ingin saya diskusikan. Saya ingin ngoceh tentang rok mini.
Taruh kata ada larangan betulan terhadap pemakaian rok mini, bagi saya itu berlebihan. Sepanjang rok mini tak membuat bau kurang sedap memancar, ya biar saja.
Bagi saya, justru dalam angkutan umum yang memberi kesempatan untuk berdesakan maka pemakaian mantel tebal perangkap jaket sebaiknya dikendalikan. Semata demi kenyamanan bersama, karena dua puluh orang gembrot berpakaian tebal akan menghabiskan sisa ruang. Untunglah Indonesia bukan negeri dingin.
Bagaimana jika rok mini bikin repot pemakainya, misalnya saat duduk dan naik-turun undakan?
Itu risiko. Setiap orang, tanpa harus diatur, umumnya bisa memutuskan kapan berani repot, kapan tidak.
Yah, seperti wanita pakai tanktop bertali spaghetti tapi lupa menyiangi rumput di lipatan pangkal lengan padahal dia sering berdiri di dalam bus. Dia pasti sudah mengukur risiko. Dalam hal ini adalah risiko pandangan risih dari penumpang lain.
Tentu, rok mini belum tentu mengundang pandangan risih. Bisa juga pandangan takjub dari lawan jenis, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, dari bocah ingusan yang baru disunat sampai kakek-kakek.
Namun, sekali lagi, itu risiko yang sudah diperhitungkan oleh setiap pemakai rok mini. Beda rasa antara dilirik di tempat hang out dan di dalam angkutan umum. Konon tingkat apresiasi pengintipnya memang beda — dan kayaknya sih masuk akal.
Di lingkungan yang orang-orangnya terbiasa dengan pakaian tak rapat, apa pun cuma dilihat sebagai keindahan, dan itu pun sepintas. Di tempat yang tak terbiasa dengan itu, sesuatu yang berbeda adalah kejutan — mungkin rezeki visual dadakan, mungkin pula ancaman yang mengerikan bagi pencemburu binti pendengki.
Jadi, buat apa dilarang kalau setiap orang bisa mengatur diri sendiri? Lebih penting mengurusi drainase dan pelayanan umum.
Soal pelecehan seksual, itu tak ada hubungannya cara berpakaian wanita baik rok mini maupun low-rise pants. Biar berpakaian rapat, kalau ketemu serigala, ya berkemungkinan jadi korban.
Memang sih bisa muncul sanggahan, “Berpakaian rapat saja dikurangajari, apalagi terbuka.” Untuk yang ini, para pemakai biasanya sadar risiko. Empan papan, kata orang Jawa. Lihat-lihat kapan dan di mana, dan bakal bersua serigala jinak atau buas. blg